Grooming Gap: Ketika Kecantikan

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
6 min readJan 29, 2020
Ilustrasi oleh Erwan, bisa ditemukan di akun Instagramnya: @erwanski

Apakah make up adalah alat opresi atau alat pemberdayaan perempuan?

Jika kita bertanya kepada 10 feminis, kita akan mendapat jawaban yang berbeda-beda. Ada feminis yang akan menyatakan bahwa make-up adalah alat opresi perempuan, ada juga yang akan bilang bahwa make-up adalah alat pemberdayaan. Bisa juga ada yang menjawab “tergantung”, “bukan keduanya”, atau “ini adalah persoalan dialektis”.

Feminis memang sering tidak sepakat di berbagai macam topik, jadi beragamnya jawaban untuk satu isu sebetulnya bukanlah hal spesial.

Yang spesial adalah bagaimana isu make up di diskursus feminisme seringkali berakhir buntu. Sangat sulit menemukan titik temu di topik ini. Lebih jauh lagi, pembicaraan ini sering tidak menghasilkan apa-apa kecuali tuduhan-tuduhan yang berakhir dengan perseteruan.

Mungkin ini menunjukan bagaimana make-up adalah sebuah topik serius yang sangat dekat dengan kehidupan pribadi perempuan. Make-up adalah komponen penting di kehidupan modern perempuan. Wajar bila banyak feminis memiliki opini kuat untuk masalah ini, make-up juga adalah bagian dari kehidupan pribadi mereka juga.

Kebuntuan ini tentu saja tidak ideal. Perlu ada sudut pandang baru untuk memecah kebuntuan ini sehingga kita bisa menganalisa relasi make up untuk kemudian menentukan langkah yang perlu kita ambil sebagai gerakan feminis.

Di artikel terbaru Mindy Isser yang berjudul The Grooming Gap: What “Looking the Part” Costs Women”, kami melihat sebuah usaha untuk menganalisa relasi make up dan gender yang berpotensi menghasilkan solusi yang berguna. Alih-alih melihat isu make-up dari kacamata benar-salah, konsep grooming gap menganalisa fenomena make up dari konsekuensi materiil terhadap peempuan.

Apa itu Grooming Gap?

Grooming gap di sini adalah norma sosial yang menciptakan ketimpangan ekspektasi terhadap penampilan lelaki dan perempuan. Perbedaan ekspektasi ini bisa dilihat secara kasat mata. Contohnya: bagi lelaki, potongan rambut pendek, deodoran, dan pakaian business casual sudah cukup memenuhi standar. Bagi perempuan, ini berarti berjam-jam setiap minggu untuk make up, hair styling, skincare, dan mengikuti tren penampilan “professional” perempuan yang terus menerus berubah.

Akibatnya, perempuan menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya untuk bisa memenuhi standar “penampilan professional”. Riset menunjukan bahwa rata-rata perempuan menghabiskan waktu sekitar 29–55 menit per hari untuk memakai make up. Sedangkan menurut riset terakhir dari Zap Beauty Index, perempuan menghabiskan paling tidak 20% pendapatan mereka untuk membeli produk kecantikan dan pakaian. Setiap bulan, perempuan yang sudah bekerja dapat menghabiskan 400 ribu rupiah-1 juta rupiah per bulan.

Tidak heran apabila industri kecantikan dunia memiliki valuasi 532 Milyar US Dollar.

Ekspektasi ini juga bukan masalah kepercayaan diri atau kekhawatiran pribadi saja. Kenyataannya, penampilan dan perawatan diri berpengaruh kepada kondisi ekonomi kita. Sebagai landasan saintifiknya, Mindy mensitasi jurnal dari Jaclyn S Wong dan Andrew M Penner. Di jurnal itu, mereka menemukan bahwa ornag yang berpenampilan menarik memiliki pendapatan lebih tinggi. Walaupun begitu, perbedaan ini mengecil ketika kita memasukan faktor perawatan diri. Hal ini menunjukan bahwa ketertarikan penampilan dan perawatan diri yang kita lakukan berpengaruh ke tingkat pendapatan.

Pengaruh dari perawatan diri juga menjadi berbeda ketika kita memasukan faktor gender. Untuk lelaki, perawatan diri tidak berpengaruh banyak kepada perbedaan tingkat pendapatan di antara orang-orang dengan tingkat keatraktifan berbeda. Sedangkan untuk perempuan, ketika perawatan diri dimasukan sebagai faktor, perbedaan antara pendapatan jadi nyaris tidak ada di antara tingkat keatraktifan tersebut. Ini berarti keberhasilan perempuan untuk terlihat cukup merawat diri berpengaruh lebih besar kepada tingkat pendapatan mereka daripada laki-laki.

Di Indonesia, sebetulnya contoh fenomena ini dapat kita lihat dengan jelas di iklan lowongan pekerjaan. Kita bisa melihat dengan jelas tulisan “berpenampilan menarik” sebagai persyaratan calon karyawan. Persyaratan ini hampir selalu ada di pekerjaan yang mencari karyawan perempuan atau didominasi perempuan, seperti sales promotion, resepsionis, kasir, pramugari/pramugara, pelayan, dan lain-lain. Kita tidak tahu bagaimana hasilnya jika penelitian ini direplikasi di Indonesia, tapi secara kasat mata kita bisa melihat sendiri kalau penampilan berpengaruh besar kepada semua calon pekerja, terutama perempuan.

Mindy Isser juga menambahkan bahwa pengalaman perempuan dengan masalah seputar perawatan diri bisa berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Standar kecantikan yang berlandaskan oleh orang kulit putih membuat perempuan yang berada di luar kategori ini semakin sulit untuk memenuhi standar penampilan mereka.

Di sini kita bisa melihat parallel antara pengalaman komunitas Afro-Amerika dan Papua. Untuk bisa memenuhi standar penampilan professional, mereka harus melakukan usaha ekstra. Entah itu dengan mencatok rambut mereka atau mencoba mencerahkan kulit. Tidak hanya memiliki kesulitan yang lebih banyak untuk merawat penampilan, mereka juga mengalami prasangka dan diskriminasi yang menyulitkan mereka mencari kerja.

Hal yang mirip juga terjadi kepada transpuan. Walaupun begitu, terdapat perbedaan besar di Amerika Serikat dan Indonesia. Di Amerika Serikat, transpuan mengalami tekanan untuk menampilkan feminitas tanpa ambiguitas dari unsur-unsur maskulin. Mereka juga mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi standar kecantikan dengan perawatan diri. Di Indonesia, transpuan menghadapi diskriminasi yang bahkan menghalangi mereka untuk bisa berpartisipasi di pasar tenaga kerja. Apabila mereka berhasil mendapat pekerjaan, mereka juga menjadi korban yang paling sering mendapat diskriminasi dan pelecehan. Transphobia

Apa yang bisa kita lakukan?

Kita telah melihat bahwa Grooming Gap telah memberikan hambatan finansial yang riil untuk perempuan bisa maju di ranah professional, terlebih kepada perempuan minoritas. Menghadapi ini, perempuan menghadapi keputusan yang sulit, mereka bisa menerima ini semua lalu membeli paket kecantikan baru dengan kenaikan gaji mereka, atau membuang semua skincare mereka dan menghadapi kemandekan karir.

Kedua pilihan ini tentu saja bukan pilihan yang masuk akal. Meminta perempuan untuk mengabaikan perawatan diri sama saja dengan meminta mereka untuk tidak berusaha meningkatkan taraf hidup mereka. Di sisi lain, membiarkan standar ini begitu saja berarti melanggengkan norma yang menciptakan sebuah pagar besar bagi perempuan minortitas dan perempuan miskin untuk bisa meniti tangga karir. Jelas, kondisi ini tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Di sinilah Mindy Isser menunjukan bagian terbaik dari artikelnya. Dia tidak hanya menjabarkan permasalahan dari grooming gap, tapi juga memberikan solusi dari permasalahan ini. Pendekatan yang dia gunakan mungkin bisa dirangkum di satu kalimat yang ada di artikel itu “Serikat ada untuk menyelesaikan masalah sosial yang berpengaruh kepada kondisi ekonomi pekerja.”

Dengan serikat, pekerja dapat menegosiasikan standar penampilan yang lebih lenggang. Pramugari yang bergabung AFA-CWL misalnya, telah berhasil mengendurkan dress code mereka. Lebih jauh lagi, mereka juga berhasil menghapus “make up day” di mana mereka harus mengikuti pelatihan cara menggunakan make up sementara pramugara mendapat hari libur. Maskapai yang dulu mewajibkan pramugari untuk membeli dan memakai make up juga kini telah menghapus kebijakan itu.

Di beberapa kasus, pemakaian make up mungkin tidak bisa dihindari. Di kondisi seperti itu, salah satu proposal yang diberikan di artikel ini adalah advokasi untuk memberikan tunjangan terhadap kebutuhan make-up kepada perempuan. Hal ini mungkin bisa dituntut di pekerjaan yang menuntut pemakaian make up seperti di industri hospitality seperti resepsionis, pramugari, pelayan, dan sebagainya.

Logika untuk pemberian tunjangan ini cukup jelas menurut saya. Seperti halnya masuk akal bagi pekerja kantoran untuk disediakan laptop kantor untuk menunjang performa mereka, adalah hal yang wajar untuk memberikan tunjangan yang esensial bagi pekerja. Yang tidak masuk akal adalah mengharapkan perempuan untuk selalu tampil dengan make up tapi menyuruh mereka untuk membeli make up sendiri.

Meskipun ini adalah hal yang masuk akal secara teori, tentu saja ini bukanlah hal mudah. Untuk mendorong terjadinya perubahan yang sedemikian besar, keberadaan serikat pekerja menjadi hal yang sangat penting. Apabila ada pekerja menuntut perusahaan memberikan tunjangan untuk make up sendirian, perusahaan tidak akan mengangap serius tuntutan itu. Beda ceritanya apabila yang memberikan tuntutan adalah ratusan buruh yang siap mogok kerja.

Selain itu, keberadaan serikat buruh juga penting untuk menegosiasikan kebijakan yang jelas dan obyektif mengenai insentif, promosi, dan parameter evaluasi performa. Keberadaan parameter yang jelas untuk menilai performa membuat manajer tidak bisa seenaknya memberikan promosi atau bahkan hukuman kepada buruh. Dengan menjadikan standar obyektif sebagai dasar penilaian kerja, penilaian subyektif seperti kecantikan atau penampilan dari manajer akan semakin tidak relevan.

Walaupun serikat dapat memberikan banyak kontribusi dalam perlawanan terhadap grooming gap, tentu saja ini tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Masalah grooming gap adalah masalah kecantikan yang merupakan masalah sistemik yang lebih luas. Walaupun kita berhasil menciptakan perubahan-perubahan yang telah kita jelaskan di atas, masalah dari standar kecantikan akan tetap ada. Mindy Isser juga mengakui itu.

Walaupun begitu, perubahan yang dapat diberikan oleh buruh yang berserikat adalah sebuah komponen penting dalam perlawanan terhadap kekangan standar kecantikan. Pendapatan yang lebih tinggi menciptakan sebuah alasan kuat untuk mengikuti standar kecantikan. Ketika kita membuat penampilan menjadi faktor yang tidak penting untuk mencapai pendapatan yang lebih tinggi, kita telah melemahkan cengkraman standar kecantikan dalam hidup kita.

Mindy Isser menunjukan bagaimana kita bisa mengadvokasikan politik serikat untuk mengahadapi masalah gender di tempat kerja. Artikel ini pantas mendapatkan pujian untuk itu.

Daftar Bacaan:

http://inthesetimes.com/article/22197/grooming-gap-women-economics-wage-gender-sexism-make-up-styling-dress-code

https://www.nytimes.com/2019/02/22/business/sara-nelson-flight-attendant-union.html

https://tirto.id/berapa-rupiah-pengeluaran-bulanan-kita-agar-tampil-cantik-c186

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0276562416300518

Charlie Sanjaya dulu adalah pekerja di suatu lembaga penelitian. Sekarang sedang gundah karena tim dota favoritnya kalah di babak final. Apabila kalian ada kritik atau saran atas tulisannya, silakan email ke charliesanjayalie@gmail.com

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.