Kami Menolak dan Mengecam Upaya Kriminalisasi Terhadap Anindya Shabrina

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
3 min readSep 8, 2018

Aparat keamanan, entah Satpol PP maupun pihak Kepolisian, sering kali membingkai masyarakat yang menjalankan hak untuk menyuarakan pendapatnya — dijaga oleh konstitusi Indonesia Raya ini — dengan pembuat onar tak tahu etika. Namun bagaimana jika para aparat penegak hukum ini tidak melakukan apa yang ia dakwahkan kepada rakyat? Atau dengan lebih gamblang lagi: bagaimana jika oknum kepolisian melakukan pelecehan kepada perempuan, menertawakan protes dan kemarahan perempuan tersebut, dan melanggar peraturannya sendiri dalam hal penangkapan saksi/tersangka?

Ini bukan cerita baru di Indonesia. Tetapi yang “biasa” bukan berarti patut dibiarkan apalagi dibenarkan. Salah satu anggota kolektif Merah Muda Memudar, Anindya Shabrina, mendapatkan surat pemanggilan penyidikan atas dugaan pelanggaran pasal 45 ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) Undang-undang RI No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang RI No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atas laporan seorang anggota Satpol PP bernama Pieter Frans Rumasek.

Tuduhan si pelapor tersebut berdasarkan pernyataan sikap mereka di media karena didasari atas tindakan Anindya yang mengunggah kronologis upaya pemberangusan diskusi oleh aparat yang disertai dengan pelecehan seksual di asrama mahasiswa Papua. Anindya mengalami pelecehan seksual dan mendapat perlakuan rendahan dari aparat ketika hadir di diskusi dan nonton bareng (nobar) acara teman-teman Papua mengenai pelanggaran HAM di bumi cenderawasih tersebut. Acara ini diinisiasi oleh IPMAPA (Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua) dan didukung oleh FMN (Front Mahasiswa Nasional) Surabaya, acara tersebut diadakan untuk memperingati dua puluh dua puluh tahun Biak Berdarah pada tanggal 6 Juli 2018 lalu.

Pieter Frans Rumasek, pelapor yang tersakiti hatinya atas kejujuran dan penderitaan Anindya yang dilecehkan secara seksual, tidak ada di lokasi ketika peristiwa terjadi.

Polisi dan Satpol PP yang diiringi camat Tambaksari, bersenjata lengkap dengan dalih operasi yustisi (yang kabarnya –entah benar entah tidak — juga diinisiasi atas laporan warga sekitar yang resah karena mahasiswa asrama jarang bergaul dengan warga sekitar) berupaya membubarkan diskusi. Baik camat, Polisi, dan Satpol PP tidak bisa memberikan surat perintah resmi yang dibutuhkan untuk melegalkan operasi tersebut, terlebih jika memang ada laporan warga.

Perwakilan acara masih berusaha bernegosiasi dengan baik bersama aparat untuk menghindari keributan yang tak perlu. Namun, yang terjadi adalah Anindya diseret paksa untuk keluar asrama. Kericuhan pun tidak bisa dihindari, dan di saat tersebut dada Anindya diremas oleh salah satu anggota kepolisian yang kemudian lantas kabur, dan teriakan Anindya tidak digubris dan justru ditertawakan oleh anggota lainnya. Justru, Anindya mendapat perlakuan tanpa etika dari para anggota dengan panggilan-panggilan seksis seperti “perempuan cantik kok ada di sini”; “kamu itu perempuan ngapain ikut diskusi-diskusi” dan sejenisnya.

Atas segala hipokrisi hukum, laporan janggal tak berdasar dari pelapor yang namanya ditebalkan di atas (dan patut kawan-kawan pembaca ingat sampai kapan pun), Merah Muda Memudar menolak, mengecam, dan menuntut agar upaya kriminalisasi terhadap Anindya dihentikan sesegera mungkin. Layaknya organisasi lain yang bersimpati dan bersolidaritas bersama Anindya, kami juga meneriakkan agar:

1. Proses hukum segera dijalankan terhadap oknum polisi yang melakukan pelecehan terhadap Anindya Shabrina Prasetiyo. Apa yang adil dari laporan Pieter Rumasek, yang TIDAK BERADA di lokasi peristiwa, segera ditanggapi sementara laporan pelecehan seksual yang dibuat Anindya hanya dianggap angin lalu, ditertawakan, dan mengalami upaya di-peti es-kan oleh aparat?

2. Seluruh komponen masyarakat termasuk aparatus negara menegakkan keadilan bagi rakyat Papua dan lindungi kebebasan berpendapat semua warga negara Indonesia, tanpa terkecuali terlebih dengan sentimen rasisme yang kerap dialami oleh teman-teman Papua.

Kami tidak melanggar hukum. Kami mengikuti prosedur yang diembankan kepada kami sebagai konstituen. Apakah aparat keamanan yang membuat rekan kami babak belur, dilecehkan, dan menyiksa teman-teman Papua sudah menaati hukum? Atar lebih tepatnya: kami muak atas standar ganda hukum. Dan kami bosan berpesta di atas beceng yang pura-pura buta padahal dengan jelas memiliki mata untuk memilih target kuasa patriakhnya.

Tautan berisi petisi dan rilis tambahan biar gak kemakan propaganda patriot kemarin sore

· Rilis kronologis pembubaran diskusi 6 Juli 2018

· Klik petisi untuk tunjukkan solidaritas kamu

· Ya Tuhan, Asrama Mahasiswa Papua Diserang Lagi Sama Ormas Gak Jelas???

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.