Mayday! Mayday! Kampus Darurat Kekerasan Seksual!

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
10 min readDec 11, 2018
Agni Tak Akan Padam oleh Erwanski

Pada tanggal 5 November 2018, BalairungPress (yang selanjutnya disebut sebagai Balairung) menerbitkan artikel berjudul “Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan”. Artikel ini secara tajam mengupas kasus pemerkosaan yang terjadi di KKN antar-semester periode 2017 di Maluku. Penyintas adalah Agni (nama samaran), mahasiswi Fisipol 2014 dan pelakunya berinisial HS, mahasiswa Fakultas Teknik 2014. Artikel ini secara cepat viral. Sehari setelahnya, UGM di media sosialnya merilis siaran pers yang menyatakan bahwa UGM berempati kepada penyintas dan serius menangani kasus serta melindungi dan memberikan keadilan untuk penyintas lewat penerapan rekomendasi tim investigasi. Rilis ini segera dibantah oleh advokasi mahasiswa yang menolak siaran pers tersebut. UGM, klaim mereka, tidak menerapkan semua rekomendasi tim investigasi dan justru membuat korban merasa terancam karena pihak humas UGM malah merilis inisial penyintas ke media arus utama.

Huru-hara kasus Agni merupakan awal dari diskusi yang panjang dan melelahkan tentang kekerasan seksual di kampus. Perlu dicatat bahwa kasus Agni bukanlah kasus kekerasan seksual pertama yang terjadi di kampus. Kasusnya hanyalah puncak gunung es kasus kekerasan seksual di kampus. Perlu ditekankan bahwa kasus pelecehan/kekerasan seksual di kampus bukan milik UGM saja, tapi menjangkiti sistem pendidikan global.

Setidaknya di Indonesia sendiri, selain kasus Agni ada kasus dosen Fisipol UGM EH yang melecehkan 5 mahasiswi bimbingannya di tahun 2016, buayawan Sitok Srengenge yang memperkosa mahasiswi UI berkali-kali hingga hamil, lalu di April 2018 seorang mahasiswi UNUD dipaksa oleh dosen untuk berhubungan seks dengannya apabila foto telanjang yang diambil diam-diam tidak mau disebar. Tiga kasus tersebut hanyalah selenting kecil dari pucuk teratas puncak gunung es kasus kekerasan seksual di kampus; kasus-kasus beruntung yang bisa keluar dari jeruji sensor kampus dan menyeruak ke kesadaran publik.

Meskipun viral, penyelesaian kasus biasanya menggantung, tanpa ada sanksi legal dan sosial yang jelas bagi para pelaku. Baik Sitok dan EH masih bebas berkarya tanpa mendekam dibalik jeruji — Sitok bisa menyelenggarakan pameran tunggal dan EH masih tercatat aktif sebagai dosen. Sedangkan para korbannya dibiarkan menggantung tanpa arah, putus asa karena hukum tidak berada di sisi mereka. Kenapa kampus begitu ngotot menolak untuk mengadili para pelaku pelecehan/kekerasan seksual?

Sulitnya Mencari Keadilan di Menara Gading

Sayangnya di Indonesia hukum mengenai pelecehan/kekerasan seksual masih terbatas dan penerapannya lemah. Hukum yang mengatur kekerasan seksual masih sebatas pasal 284 dan 285 KUHP yang mengatur pencabulan dan pemerkosaan. Sedangkan UU PDKRT hanya mengatur kekerasan seksual dalam ranah domestik. Tidak ada payung hukum yang secara komprehensif mengatur tentang pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di luar ranah domestik dan tempat-tempat khusus seperti tempat kerja dan sekolah membuat penyelesaian kasus-kasus ini sangat sulit untuk dilakukan. Hal ini diperparah dengan bagaimana masyarakat, polisi, dan pihak otoritatif lainnya mengambil pendekatan moral yang seringkali meremehkan kasus serta menyalahkan korban dalam memandang dan menyelesaikan kasus-kasus ini.

Pendekatan moral yang tidak berpihak kepada korban tercermin dalam bagaimana UGM menyelesaikan kasus EH dan Agni. Penyelesaian kasus mandek di birokrasi kampus yang lebih menghormati “nama baik kampus” alih-alih martabat dan harga diri korban. Cara penyelesaian a la kampus ini pun menyakitkan dan rawan reviktimisasi (membuat penyintas menjadi korban lagi). Salah satu cara yang paling sering dilakukan adalah memaksa penyintas untuk bertemu dengan pelaku dan menyelesaikan kasus ini secara “kekeluargaan” demi “moralitas” dan “nama baik kampus”. Dalam proses ini, korban turut dipersalahkan, dituduh ikut memainkan andil dalam kekerasan yang menimpa dirinya, dicap/dinilai buruk, atau bahkan diancam dan ditakut-takuti apabila melibatkan pihak luar kampus seperti polisi atau LSM. Sementara itu, pelaku biasanya hanya diberi hukuman ringan yang sebatas menepuk pelan tangan pelaku atau bahkan membiarkan pelaku bebas melenggang tanpa konsekuensi yang berarti.

Permasalahan-permasalahan tersebut sebetulnya berakar dari sistem pendidikan dan cara pandang pendidikan Indonesia yang seksis. Sistem pendidikan kita — terutama universitasnya — meskipun mendaku diri sebagai menara gading yang menopang segala nilai luhur bangsa dan pembangunan negara, toh buta sekali dalam menangani kasus kekerasan seksual. Disebut “buta” karena kampus masih menggunakan kacamata seksis dan patriarkis dalam melihat kasus kekerasan seksual. Kebutaan ini sudah berawal dari ketiadaan kurikulum serta edukasi tentang kesadaran dan perlawanan terhadap kekerasan seksual, seksisme, dan patriarki. Kalaupun ada edukasi — dan saya rasa tidak pantas disebut sebagai edukasi — baru sebatas menitikberatkan peran perempuan dalam mencegah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.

Contohnya adalah presentasi pembekalan KKN UGM 2018 yang menghimbau mahasiswi untuk menjaga sikap serta pakaian yang dikenakan, tidak boleh keluar malam, tidak boleh bepergian sendirian, tidak boleh berduaan dengan mahasiswa, tidak boleh menginap di pondokan mahasiswa, dan yang terpenting mahasiswi harus mewaspadai adanya tindakan pelecehan/kekerasan seksual. Peran mahasiswa untuk mencegah dan tidak melakukan pelecehan/kekerasan seksual absen dari pembekalan, padahal pelecehan seksual tidak mungkin terjadi apabila pelaku (yang seringkali berjenis kelamin laki-laki) bisa menahan nafsu dan memandang korban sebagai manusia alih-alih objek seksual.

Kebutaan kedua adalah ketidaktahuan (atau malah ketidak-mau-tahuan?) kampus dalam menghadapi kasus kekerasan seksual. Tidak ada sosialisasi ke mana mahasiswa harus melapor ketika mengalami pelecehan/kekerasan seksual dan bagaimana mekanisme pelaporannya. Hal ini diperparah dengan birokrasi kampus yang rumit dan bertele-tele, yang seolah sengaja didesain seperti itu agar penyintas keburu patah semangat untuk melapor. Hal ini juga diperparah dengan sikap dan pandangan sinis para birokrat kampus terhadap kekerasan seksual. Ini tercermin dari bagaimana mereka memperlakukan Agni dan penyintas lainnya: dipingpong dari satu pejabat ke pejabat lainnya, disandingkan dengan ikan asin, diberi nilai jelek, diancam, ditakut-takuti, atau bahkan ikut dipersalahkan oleh sesama perempuan (!).

Kebutaaan ketiga adalah ketiadaan inisiatif kampus untuk melindungi dan menghormati keinginan penyintas. Alih-alih membantu penyintas mencari keadilan, kampus justru berusaha sekeras mungkin untuk tidak melibatkan pihak-pihak luar, terutama kepolisian. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh staf atau mahasiswanya dianggap sebagai permasalahan kampus sehingga harus diselesaikan dengan aturan kampus pula. Hal ini tidak akan bermasalah apabila kampus adil menghukum pelaku, tapi sayangnya bukan itu yang terjadi — kampus malah melindungi pelaku dengan tidak memecat/mengeluarkan pelaku. Dengan tidak menindak adil dan tegas pelaku kekerasan seksual, kampus tidak hanya melecehkan keinginan dan martabat penyintas, tapi juga membuat mahasiswa-mahasiswi lainnya beresiko untuk menjadi korban selanjutnya. Selama pelaku tidak diadili, semakin banyak korban-korban lainnya yang berjatuhan.

Membentuk Kampus Anti Diskriminasi dan Kekerasan Seksual

Untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman tanpa diskriminasi berbasis gender serta kekerasan seksual diperlukan kerjasama yang erat antar pihak otoritas, staf, dan mahasiswa. Dalam hal ini, saya percaya bahwa tindakan preventif demi mencegah adanya pelecehan/kekerasan seksual jauh lebih baik dan efektif daripada menghukum pelaku.

Untuk mewujudkan hal ini, kampus harus mengubah pandangan paternalistik a la Orde Baru yang memposisikan dirinya sebagai orangtua dan mahasiswa sebagai anaknya. Kampus hanyalah institusi pendidikan yang berfungsi untuk memberikan edukasi; ia tidak berada di atas institusi hukum dan ia bukan institusi keluarga yang (merasa harus) menutup-nutupi borok staf dan mahasiswanya demi nama baik “keluarga”. Keadilan untuk penyintas harus ditegakkan dan berada di atas nama baik kampus. Merupakan kewajiban moral bagi kampus sebagai institusi negara untuk melaporkan staf dan mahasiswanya yang melanggar undang-undang untuk diadili dengan hukum.

Langkah kedua adalah memasukkan pendidikan seksual yang ilmiah, komprehensif, serta bebas dari stigma dan pandangan negatif ke dalam kurikulum. Memang idealnya pendidikan seks sudah dimulai sejak dini, tapi karena masyarakat kita masih memandang seks sebagai hal yang tabu, pendidikan ini mandek.

Ketiadaan pendidikan seks ini justru malah memproduksi mitos tentang seks, pemerkosaan, victim blaming, dan parahnya orang-orang yang buta akan batasan, etika, dan moral yang menyelimuti seks serta trauma yang mendalam bagi korbannya. Pengikisan stigma buruk ini seharusnya mulai dilakukan oleh institusi pendidikan lewat kurikulum pendidikan seks yang komprehensif serta ilmiah. Pendidikan seks ini nantinya tidak hanya meliputi kesehatan reproduksi dan kontrol kehamilan, tapi juga pendidikan etika dan moral dibalik seks, consent (persetujuan untuk melakukan hubungan seks antar dua pihak), seksualitas, gender, relasi kuasa, dan juga feminisme.

Hal yang paling krusial dalam pendidikan seks dan yang paling sering diabaikan adalah pelajaran serta diskusi mengenai gender, relasi kuasa, dan seksualitas. Padahal tiga hal tersebut sangat penting karena masih banyak mahasiswa dan dosen (!) yang buta tentang hal-hal tersebut, mengakibatkan maraknya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dan seksualitas di wilayah kampus.

Pandangan, ucapan, dan tindakan diskriminatif dan melecehkan menginfeksi dosen dan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu, bahkan di mereka yang membranding diri sebagai ‘progresif’. Tak jarang para predator ini dilindungi oleh pihak-pihak intelektual yang dihormati, seperti ketika Slavoj Žižek dan Judith Butler melindungi Avital Ronell dari tuduhan pelecehan seksual (Butler akhirnya mencabut dukungannya terhadap Ronnell). Kultur predator seperti ini, di mana para staf, pengajar, dan mahasiswa saling melindungi pelaku demi solidaritas semu, berkontribusi banyak dalam kultur pemerkosaan (rape culture) kampus.

Langkah ketiga, kampus harus lebih aktif dalam menghilangkan rape culture dan menyebarkan kesadaran tentang pelecehan/kekerasan seksual. Langkah preventif untuk mencegah munculnya Agni-Agni lainnya lebih penting daripada menghukum pelaku. Sayangnya, sejauh observasi saya menjadi mahasiswa selama 3 tahun lebih, kampanye kesadaran dan anti pelecehan/kekerasan seksual di kampus lebih sering diinisiasikan oleh mahasiswa dan seringkali terbatas ke satu-dua fakultas. Tidak ada sinergi untuk membuat kampanye, workshop, diskusi, pameran kesenian, seminar yang meliputi satu universitas. Ini yang sangat disayangkan karena seharusnya usaha seperti ini melibatkan seluruh mahasiswa dan staf dari berbagai fakultas.

Oleh karena itu, kampus sebagai institusi seharusnya berperan lebih dalam melakukan tindakan preventif. Tindakan preventif ini dengan membuat peraturan, pedoman, dan badan konseling dan pelaporan. Peraturan dan pedoman ini memuat definisi pelecehan dan kekerasan seksual, hal dan tindakan yang termasuk dalam pelecehan, kekerasan, serta diskriminasi gender dan seks, relasi kuasa yang timpang antar gender, dan consent secara detail, jelas, dan menyeluruh.

Pedoman ini juga harus memuat mekanisme, tata cara, dan tindakan yang bisa diambil oleh mahasiswa-mahasiswi maupun staf kampus untuk mencegah dan melaporkan pelecehan/kekerasan seksual yang melibatkan staf/mahasiswa, baik di area kampus maupun di luar kampus. Sanksi dan hukuman berjenjang terhadap pelecehan/kekerasan seksual yang jelas dan tegas juga harus dimasukkan ke dalam pedoman ini. Dengan adanya pedoman ini, penyintas bisa dengan lebih mudah melaporkan kejadian yang dialami dan diharapkan pelaku akan berpikir dua kali sebelum melecehkan/memperkosa seseorang.

Agar lebih efektif, kampus juga harus membuat biro/badan khusus konseling psikologi dan kesehatan reproduksi seksual serta pelaporan pelecehan/kekerasan seksual di kampus. Tugas-tugasnya meliputi pendampingan dan pemulihan psikologi oleh penyintas, pemberian opsi-opsi yang bisa diambil oleh penyintas untuk mendapatkan keadilan, dan penerimaan pelaporan pelecehan/kekerasan seksual. Dalam proses pendampingan dan pelaporan, staf yang mengurus harus mempercayai kesaksian penyintas sekaligus menghormati keputusan penyintas. Tidak boleh ada reviktimisasi dalam proses ini.

Lalu apa yang harus dilakukan kampus ketika ada laporan kekerasan seksual? Dari segi hukum, persoalan kekerasan seksual sudah diatur dalam KUHP tapi definisinya masih sangat sempit dan tidak memenuhi jenis-jenis diskriminasi dan pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan setiap hari. Hal ini turut diperburuk dengan fakta hukum negara tidak bisa diharapkan untuk mengadili kasus kekerasan seksual.

Berdasarkan laporan Komnas Perempuan di tahun 2016, 40% laporan kekerasan seksual berhenti di polisi. Hanya 10% kasus yang bisa masuk ke pengadilan. Di tingkat pengadilan pun, pelapor dibungkam dengan cara dilaporkan balik oleh pelaku seperti yang terjadi ke Baiq Nuril. Melihat kondisi seperti ini, mencari keadilan di ranah hukum justru bisa merugikan bagi penyintas. Yang bisa dilakukan oleh kampus untuk penyintas yang menolak membawa kasusnya ke jalur hukum adalah adalah dengan memberikan rasa nyaman ke penyintas serta melakukan investigasi mandiri dengan konsekuensi ke pelaku yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

Contoh peraturan yang mengatur penanganan kampus terhadap kasus kekerasan seksual adalah Title IX. Title IX adalah hukum federal Amerika Serikat yang melarang institusi pendidikan yang menerima bantuan dana federal untuk melakukan diskriminasi seks atau membiarkan diskriminasi seks terjadi. Peraturan ini mewajibkan kampus untuk membuat pedoman yang berisi informasi tentang prevensi pelecehan/kekerasan seksual, fasilitas yang bisa diakses oleh penyintas seperti konseling kesehatan mental, dan memberikan penjelasan prosedur spesifik yang digunakan kampus untuk menginvestigasi dan menilai kasus pelecehan/kekerasan seksual di kampus. Kampus beserta staf kampus didorong untuk melaporkan setiap kejadian kejahatan seksual yang terjadi antara mahasiswa dan staf, baik di maupun diluar kampus.

Soal perlindungan kekerasan seksual di kampus, kita bisa melihat Amerika Serikat. Penanganan kasus kekerasan seksual di kampus di AS tidak bisa dibilang tidak memiliki kontroversinya sendiri. Sejak tahun 2011, kampus menggunakan beban pembuktian preponderance of evidence dalam penanganan kasus, alih-alih beyond reasonable doubt. Perubahan ini menyebabkan kekhawatiran tersangka kasus kekerasan seksual tidak mendapatkan proses hukum yang semestinya. Dengan beban pembuktian preponderance of evidence, tertuduh dapat dinyatakan bersalah apabila bukti yang ada bisa menunjukan bahwa yang dituduhkan memiliki lebih dari 50% kemungkinan untuk terjadi. Sedangkan beyond reasonable doubt adalah pembuktian yang menunjukan bahwa tertuduh bersalah melampaui semua keraguan bahwa dia tidak bersalah.

Hal ini menjadi kontroversi karena berarti kampus menggunakan beban pembuktian yang lebih rendah daripada pengadilan hukum pidana, karena itu beberapa pihak mengatakan bahwa beban pembuktian ini tidak adil kepada pihak tertuduh. Sementara itu, pendukung penggunaan preponderance of evidence berargumen bahwa beban pembuktian ini penting untuk merubah lingkungan yang menciptakan kekerasan seksual dan melindungi korban yang seringkali memiliki bukti terbatas. Ilustrasi ini menunjukan betapa kompleksnya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus, sehingga bisa dijadikan pembelajaran untuk melakukan perlindungan korban kekerasan seksual.

Terakhir dan paling penting, kampus perlu lebih banyak membuka diskusi tentang pelecehan dan kekerasan seksual. Ketika kasus Agni meledak, saya banyak melihat komentar-komentar yang alih-alih memberikan dukungan ke Agni, malah mempertanyakan kenapa kasus ini di-blow up karena dianggap mengancam masa depan pelaku. Tidak sedikit pula yang menyalahkan Agni karena telah melanggar peraturan KKN yang melarang mahasiswi untuk menginap di pondokan mahasiswa. Bahkan sampai ada yang mengkritik pemberitaan kronologi kasus yang dianggap ‘tidak holistik’ karena tidak memuat kesaksian pelaku.

Ucapan-ucapan tersebut tidak hanya melindungi pelaku dan mereviktimisasi korban, tapi juga menunjukkan betapa butanya kita terhadap kekerasan seksual. Pertama, kejadian pemerkosaan berada di luar keinginan maupun kuasa penyintas. Kedua, seharusnya kita memberikan ruang untuk penyintas kekerasan seksual untuk menceritakan ceritanya, apalagi ketika sistem yang ada tidak memberikan keadilan baginya. Ketiga, kita perlu ingat bahwa persepsi yang melindungi pelaku ini datang dari lingkungan perguruan tinggi, tempat yang secara historis menjadi inkubator pemikiran progresif. Sebab itu, universitas harus berperan lebih untuk mewujudkan manusia-manusia dan lingkungan yang inklusif, tidak timpang, dan tidak diskriminatif.

Akhir kata, keberanian Agni untuk maju ke depan dan menunjukkan buruknya penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus merupakan hal yang patut diapresiasi sebesar-besarnya. Kasusnya berhasil menciptakan diskusi yang panjang dan konstruktif mengenai kekerasan seksual, sekaligus menyebarkan kesadaran tentang apa itu kekerasan seksual. Kasus Agni merupakan pengingat keras untuk kita agar lebih baik dalam memandang dan mendampingi penyintas kekerasan seksual. Sehingga penyintas yang trauma tidak perlu lagi mengumpulkan keberanian dan mengusahakan keadilannya sendiri.

Momentum kasus Agni tidak boleh hanya berhenti sebagai sensasi berita yang akhirnya dilupakan juntrungannya oleh netizen. Kita harus terus mendampingi dan memperjuangkan penyelesaian kasusnya sekaligus menciptakan perubahan struktural dan sistematis dalam bagaimana kita memandang dan mengadili kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Semua orang — terutama perempuan dan kelompok minoritas — berhak untuk hidup aman tanpa rasa takut harga diri dan martabatnya dicoreng oleh pihak tak bertanggungjawab.

Ditulis oleh Ann Putri, mahasiswi semester akhir Antropologi Budaya UGM. Sedang berjibaku dengan ultimate boss bernama Skripsi. Semuanya diundang untuk ikut wisudanya yang entah kapan akan terjadi. Kritik dan saran bisa dilayangkan ke anisadewintap@gmail.com.

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.