Membayar Harga Seorang Perempuan Liyan Secara Pantas

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
12 min readOct 10, 2019
Ilustrator: Tara Adhyama Putri ( https://www.instagram.com/sekar_joget/)

Saya tidak masuk kategori eksotis di Indonesia. Kulit saya lebih terang bila dibandingkan teman-teman Indonesia lainnya. Perlu digaris bawahi, dalam konteks Indonesia, standar kecantikan berpatokan pada warna kulit yang cerah. Kulit gelap dan berwarna kusam dikategorikan sebagai jelek. Di Eropa, kulit terang saya menjelma menjadi cokelat gelap dibandingkan kulit orang-orang Eropa. Perbedaan ini membuat saya menempati ruang eksotis di Eropa; sebuah ruang asing yang terpaksa saya masuki.

Bila kulit cerah menempati peringkat tinggi untuk meraih standar kecantikan, maka tidak begitu di Eropa. Eksotisme merupakan hal yang dicari karena kelangkaannya. Patokan eksotis Eropa terlihat dari warna kulit seseorang; semakin gelap, semakin eksotis. Kendati warna kulit gelap dikategorikan sebagai fitur yang dicari, ironisnya orang-orang berkulit gelap tidak dapat menempati ruang dan definisi kecantikan yang sama dengan orang-orang berkulit putih.

Di Eropa, saya sadar betul posisi dan ‘harga’ yang saya usung. Saya terus dibuat sadar bahwa saya adalah perempuan Asia berkulit gelap, pendek, bermata kecil, dan berambut hitam lurus. Tak hanya penampilan saya saja, tapi saya juga dibuat sadar betapa tidak signifikannya etnis dan negara saya di tanah Eropa.

Teman-teman sekelas pernah melihat saya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan pandangan meremehkan ketika saya mengatakan saya dari Indonesia. Padahal kenyataannya, negaranya jauh lebih menderita dan miskin daripada Indonesia. Mereka juga memandang saya sebagai orang bodoh beraksen terlampau kental. Mereka sering menggunjingkan saya dalam bahasa mereka.

Bagaimana saya bisa tahu? Saya diam-diam belajar bahasa mereka. Celakanya, saya merasa tidak punya hak untuk membalas mereka dengan bahasa mereka. Saya terlalu sadar diri akan aksen saya.

Di kesempatan lainnya, seorang profesor mengomentari presentasi tentang minoritas saya. Katanya, seharusnya saya lebih banyak menerangkan Indonesia karena ia merupakan negara ‘yang tidak signifikan’ dan ‘tidak banyak diketahui oleh banyak orang’.

Hal-hal seperti ini terus-terusan mengingatkan saya akan mentalitas inferior a la inlander. Saya paham saya tidak akan memiliki ‘harga’ yang sepantar dengan orang-orang Eropa. Perempuan-perempuan yang serupa dengan saya biasanya bukan sebuah karakter utuh dengan kompleksitas, melainkan hanya dekorasi agar tampak semarak.

Kerendahan diri saya diperparah dengan fakta bahwa saya satu-satunya mahasiswi non-Eropa di jurusan saya. Pengetahuan yang saya dapatkan di Indonesia tentang minoritas dan kelompok etnik ironisnya tidak selalu sejalan dengan kurikulum atau pengetahuan dasar tentang minoritas di Eropa. Oleh karenanya saya dikenal sebagai mahasiswi berargumen liar, menyajikan pandangan kontras dari pandangan Eurosentris yang kental hadir di kurikulum dan ruang kelas. Sebuah hal yang ironis mengingat konsentrasi ilmu saya adalah Kebijakan Minoritas.

Di kelas, para pengajar dan mahasiswa Eropa memiliki pandangan bahwa LGBT merupakan hal yang baru di luar Eropa, yang kemudian saya buktikan dengan sebuah presentasi bahwa mereka telah lama ada bahkan sebelum era penjajahan. Penerimaan isu LGBT juga mereka percayai telah diprakarsai oleh Eropa, tanpa pernah mengerti sejarah homofobik penjajah Eropa di dunia belahan selatan. Mereka tidak begitu paham akan konsekuensi dari penjajahan Eropa di dunia belahan Selatan.

Tak hanya itu, menurut mereka gagasan saya aneh. Bagi mereka, minoritas adalah masalah negara; bagi saya, minoritas adalah saya. Saya berasal dari negara paska-kolonial yang bahasanya dibuat baru menjelang akhir periode penjajahan, yang perundang-undangannya bersumber pada ide-ide penjajah, dengan birokrasi ruwet ala tuan penjajah pula. Sebuah hal yang amat tidak Eropa, namun sebuah fenomena yang terjadi karena kuasa Eropa.

Di dalam kelas, saya biasa mengkritisi konsep keberagaman Eurosentris yang kerap hanya berkutat di masalah pemberian kuota untuk minoritas. Padahal seharusnya etnik minoritas di negara-negara pascakolonial perlu pengkajian khusus. Sayangnya hal ini tidak terjadi. Di kelas, saat mengkaji pembunuhan massal di Rwanda tahun 1994, dosen dan peserta kelas luput membahas peran penjajah Eropa dalam pengkategorisasian orang-orang di Rwanda dan dampaknya setelah mereka merdeka.

Padahal hal ini penting untuk dibahas, tapi anehnya ia absen dari kesadaran mahasiswa dan kurikulum. Sebuah hal yang lucu, mengingat Eropa adalah tujuan utama para pengungsi dan pencari suaka yang mayoritas berasal dari negara-negara pascakolonial. Tanpa adanya kajian serius soal ini, bagaimana bisa Eropa mengakomodasi dan mengkaji para pengungsi dan pencari suaka?

Menjadi “Model Minoritas” dalam Tokenisme Media

Selain menjadi mahasiswa, saya juga bekerja sebagai model dan aktris figuran lepas. Budapest, tempat saya belajar, kerap digunakan sebagai lokasi syuting film-film Hollywood karena biaya produksinya terbilang murah. Kru film akan memoles penjuru kota hingga serupa dengan New York, Paris, Brussel, atau kota metropolis lainnya.

Meski terhitung ‘murah’, Budapest merupakan kota yang teramat ‘putih’ karena populasi minoritasnya teramat minim. Mengingat kota-kota metropolis diisi oleh populasi yang beragam, tak mengherankan apabila permintaan model-model minoritas di sini sangatlah tinggi. Bayaran untuk model/aktris minoritas pun tinggi – dua kali lipat dari bayaran aktor/model Eropa. Saya pun sering dikontrak; tak terhitung berapa jumlah iklan, serial, maupun film yang saya ikuti walaupun saya hanya numpang mejeng saja.

Teman-teman kulit putih saya berpikir bahwa merupakan sebuah kebanggaan untuk dipekerjakan sebagai model maupun aktris figuran, terutama ketika dibayar lebih karena berasal dari etnik non-putih, seperti dapat jackpot untuk menjadi ‘eksotik’ .

Padahal realitanya tidak begitu. Saya sendiri tidak suka mengapa bisnis seperti ini harus ada. Meskipun bekerja di agensi model ternama, saya tidak diperlakukan secara layak. Tapi mungkin ini agak bias juga; mungkin memang industri film secara umum memperlakukan figuran layaknya sampah.

Saya merasa bahwa inklusivitas dan keragaman yang diusung oleh agensi-agensi model minoritas ini hanya untuk kepentingan publicity stunt semata. Menurut saya, ini adalah ‘tokenisme’ untuk menonjolkan sejumlah kecil kelompok-kelompok marjinal demi menunjukkan kesetaraan antara kelompok minoritas dan mayoritas. Tokenisme ini bermasalah karena biarpun agensi model mempekerjakan model kulit berwarna, model kulit putih tetaplah diutamakan. Sama dalam serial-serial yang saya bintangi, jalan cerita tetaplah dipegang oleh aktor dan aktris kulit putih.

Ruth Thibodeau, penulis artikel From Racism to Tokenism: The Changing Face of Blacks in New Yorker Cartoons (1989), meneliti tentang tokoh-tokoh berkulit hitam dalam komik strip di The New Yorker pasca Perang Dunia II (1946-1987). Ia menemukan bahwa karakter-karakter berkulit hitam selalu ditampilkan dengan stereotip yang kental. Dari 42 tahun penerbitan majalah mingguan ini (total ada 2.193 terbitan), hanya ada satu karakter berkulit hitam yang ditampilkan tidak memiliki kaitan apapun dengan muatan konten rasial.

Di sisi lain, kelompok Asia Amerika amat diminati dan digunakan untuk memenuhi target keragaman dalam iklan-iklan Amerika Serikat. Biar begitu, mereka selalu ditempatkan menjadi dekorasi latar belakang saja (Taylor & Stern, 1997).

Fenomena tokenisme ini menunjukkan bahwa presentasi rasial hanya berfungsi untuk membuat sebuah acara terlihat beragam, tanpa pernah bermaksud untuk menampilkan orang non-putih sebagai pemain utama. Fenomena tokenisme ini berbahaya karena menampilkan orang-orang kulit putih sebagai pusat dari sebuah pertunjukan, sementara orang-orang kulit berwarna hanya berfungsi sebagai properti dekorasi.

Orientalisme dan Seksisme dalam Tubuh Liyan

Tak hanya tokenisme, kami model dan aktor dari negara-negara di Asia dan Afrika harus menyesuaikan diri dengan pengkotakan orientalisme yang kental. Sebagai konsep, orientalisme merupakan cara pandang Eropa terhadap dunia Timur (Said, 1978). Lebih lanjut, ia meliyankan orang-orang non-Barat yang tidak menjunjung ‘nilai-nilai barat’.

Said menolak pendefinisian identitas Timur yang dibuat pemikir-pemikir Barat karena kental akan bias kolonialisme. Ia menggugat objektifikasi dunia Timur yang kerap digambarkan sebagai sebuah dunia yang ‘irasional, terbelakang, mistis, dan berbeda’. Objektifikasi ini melahirkan stigma dan stereotip negatif yang harus dipikul orang-orang Timur hingga kini. Sebaliknya, dunia Barat merupakan tempat dimana rasionalitas dijunjung. Pada intinya, Orientalisme meliyankan orang-orang non-Barat yang tidak menjunjung ‘nilai-nilai’ Barat.

Konsep liyan dan meliyankan ini juga berkelindan dengan pemikiran Simone de Beauvoir. Biarpun de Beauvoir tidak secara spesifik menulis tentang dunia Barat dan Timur dalam bukunya The Second Sex, de Beauvoir menulis sebuah gagasan yang jelas tentang fenomena peliyanan perempuan. Perempuan, menurutnya, selalu digambarkan untuk meniru laki-laki. Laki-laki, sama seperti Barat dalam konsep orientalisme, dinormalisasikan menjadi penjaga nilai yang harus diikuti oleh sang liyan. Sehingga perempuan merupakan sosok liyan yang selalu berupaya untuk menjadi sepantas laki-laki.

Lantas, bagaimana rasanya menjadi perempuan Timur di tanah Barat?

Saya akan menceritakan pengalaman saya menjadi perempuan liyan di dunia modeling Budapest. Permintaan model maupun figuran dari etnik minoritas di sini memang tinggi. Bila senggang, saya bisa ‘berpentas’ setidaknya empat kali dalam sebulan, dengan bayaran 50 Euro untuk sekali berlaga (cukup besar untuk ukuran Budapest). Pernah saya mendapat 100 Euro dalam enam jam saja.

Ilustrator: Tara Adhyatma Putri (https://www.instagram.com/sekar_joget)

Namun dengan harga segitu, apakah kami benar-benar diinginkan, selain untuk mengisi keberagaman dalam sebuah adegan? Apakah kami dipajang dalam sebuah gambar karena kami memang layak, ataukah hanya sebatas mengisi celah yang bisa dikritisi oleh para pengamat?

Jawabannya tentu saja tidak. Kami dipekerjakan sebagai model untuk mengisi stereotip tertentu, sesuatu yang kami coba lawan untuk waktu yang lama. Perempuan Asia dengan takeaway box a la Tiongkok, laki-laki Timur Tengah yang bercambang dan merokok, dan masih banyak lagi stereotip problematis yang dihadirkan dalam industri film ini. Tak peduli kami ini dari mana, pokoknya Asia itu ya budayanya satu dan monolitik.

Contohnya dalam iklan sebuah bank Kanada, saya dan figuran dari Vietnam harus duduk di sebuah kafetaria. Salah satu kru kemudian menaruh takeaway box a la Tiongkok di meja. Kami berdua juga tidak dirias, sehingga kami mesti merias diri kami sendiri dengan kosmetik yang kami bawa.

Saya rasa para kru perias tidak mendandani kami karena mereka tidak mengerti bagaimana merias wajah Asia karena perbedaan struktur muka dan warna kulit. Atau mungkin juga para kru merasa tidak perlu merias kami karena gagasan ‘perempuan Asia telah cantik tanpa make up’. Keeksotisan kami – gagasan yang orientalis sekali – di rasa sudah cukup. Lagipula, aktor dan aktris Asia hanya dibutuhkan untuk mengisi kesunyian demografik semata (Taylor & Stern, 1997).

Kalaupun kami dirias, alih-alih merasa cantik, kami terlihat dan merasa jelek. Tidak bermaksud melebih-lebihkan, tapi teman-teman aktor dan model dari Vietnam, Laos, dan Mongolia juga mengeluhkan hal yang sama. Para perias tidak paham bagaimana perempuan Asia berdandan; mereka mendandani kami dengan pensil alis berwarna hitam, shading hidung yang terlampau sempit, serta terkadang mempertegas bentuk rahang kami yang sudah kotak dari sananya.

Belum lagi terkadang warna bedak dan alas bedak yang tidak begitu sesuai. Menurut penata rias, kami terlihat cantik demikian. Mengapa kemudian pendapat kami tidak mereka libatkan? Bukankah akan jadi lebih autentik bila sudut pandang kami digunakan, untuk menjadikan kami ‘Asia’ sungguhan?

Masih dalam persoalan yang sama, baru-baru ini saya terlibat dalam sebuah serial dari Kanada. Lokasi adegan berada di Korea Utara, sehingga agensi saya mengerahkan model-modelnya yang memiliki rupa Asia Timur tradisional untuk ‘berkarya’ disitu. Hampir keseluruhan model yang dipekerjakan berasal dari Mongolia, serta beberapa dari Vietnam dan Laos. Hanya saya saja yang berasal dari Indonesia.

Karena kulit saya dianggap gelap, penata rias mengecat muka, leher, serta tangan saya dengan krim yang lebih putih – setidaknya tiga blok dari warna asli kulit saya. Ia bilang, warna kulit saya tidak cocok untuk lokasi pengambilan film yang mesti memperlihatkan Korea Utara.

Tentu saya paham – saya pun tidak mempersoalkan warna krim dan warna kulit saya. Namun yang saya persoalkan adalah mengapa saya? Mengapa saya diharuskan ikut syuting yang tidak cocok dengan warna kulit saya? Memang saya bisa menolak atau menerima tawaran syuting, tetapi bila harus berakhir dengan pendempulan kulit, saya tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi saya telah menandatangani kontrak dan kostum yang khusus didesain untuk saya telah saya pakai.

Persoalan lainnya, sebagai pelajar internasional dengan kemampuan bahasa Hongaria terbatas, kami kesusahan untuk memahami instruksi dari para kru. Dengan bahasa Inggris pun, kadang kami mesti bertanya untuk mengkonfirmasi isi dan instruksi yang diberikan. Tak jarang kami diteriaki karena kami tidak paham-paham juga.

Suatu saat, saya sedang tidak mood (empat jam mengenakan sepatu hak tinggi, sedang butuh mengganti pembalut, dan risih dengan riasan muka yang tebal) dan iseng membalas kemarahan kru yang hobi teriak-teriak pada kami dalam bahasa Hongaria. Dia terdiam. Saat itu, saya sudah bodo amat apakah kemudian mereka akan memberikan upah ke agensi untuk saya. Saya tak lagi peduli akan harga saya. Saya rasa tidak pantas untuk berteriak pada kami dalam bahasa yang tidak kami mengerti.

Paradoks Imigran: Diinginkan untuk ‘Representasi Semu’ Semata

Terlepas dari layar, saya yakin kami, para mahasiswa asing, sebenarnya tidak begitu diinginkan. Kami diperlukan untuk menggenjot peringkat universitas, tapi ironisnya negara ini tidak ramah untuk kami. Fenomena ini saya rasa terjadi di hampir seluruh negara di Eropa – pun demikian karena sayap kanan sedang berkembang pesat di benua ini. Banyak aksi massa di Budapest dilakukan oleh para imigran yang menentang undang-undang ketenagakerjaan yang mengikat mereka seperti budak. Tunjangan lembur mereka baru dibayarkan setelah bekerja tiga tahun dan setelah lembur selama setidaknya 400 jam (Kondor, 2019).

Di tahun 2018, sayap kanan berkuasa di hampir semua negara-negara di Uni Eropa. Di Hongaria, dua partai berhaluan kanan nasionalis, Fidesz dan Jobbik, merupakan partai populer. Kaum nasionalis di berbagai negara di Eropa berbondong-bondong menyuarakan anti-imigrasi dan anti-Islam, seperti yang terjadi di Jerman. Masyarakat Eropa kini terpecah-pecah menjadi beberapa bagian. Banyak yang mengusung ide identitas Eropa yang ‘putih’ dan ‘tradisional’, sementara mereka yang mendaku sebagai progresif semakin tertekan dan berdiri dengan jumlah yang tak banyak.

Politik identitas terus menguat, utamanya identitas Eropa yang ‘putih’. Ini diperburuk dengan merosotnya nilai-nilai anti-fasisme di Uni Eropa (Mammone, 2019). Ada sebuah tantangan besar dalam mempertahankan demokrasi di Eropa seiring meningkatnya sayap kanan yang berhaluan nasionalisme dan otoritarianisme. Gejolak anti-imigrasi meradang di berbagai penjuru Eropa dengan perangai spesifik: mempertahankan negara masing-masing dari serbuan dan ancaman pendatang.

Kami para imigran disepelekan, diliyankan, dan diberi label yang tidak-tidak di negara yang tidak begitu ingin mengakomodasi kami. Pada kampanye pemilu 2018 Hongaria, lumrah saja bagi kami untuk berjalan melewati poster-poster kampanye yang memuat gambar orang-orang berwarna dengan tulisan “dilarang” dalam huruf kapital.

Lumrah bagi saya untuk diteriaki ‘Cina’ di jalanan. Diteriaki pelacur. Dikuntit oleh laki-laki di jalan. Dilempar pakaian di dalam toko busana. Melihat orang menyipitkan mata di hadapan kami sebagai bahan ejekan. Mendapatkan sapaan ‘ni hao’ maupun ‘konnichiwa’. Disentuh-sentuh laki-laki tak dikenal di ruang umum tanpa izin saya.

Fenomena ini mungkin terasa liar dan mengejutkan bagi teman-teman yang sebelumnya menyepakati bahwa Eropa adalah tanah mulainya ‘peradaban’. Tapi memang kenyataannya seperih dan sepedih ini; tanah ‘peradaban’ ini tidak pernah benar-benar lepas dari perangai kolonialismenya.

Mental ‘inlander’ saya terasa ‘bangkit’ setiap mengalami pelecehan-pelecehan ini, padahal hanya kakek-nenek saya saja yang merasakan rasanya dijajah betulan. Mentalitas ini adalah sebuah warisan tak-benda; mentalitas yang aktif memaksa memandang rendah diri saya sendiri. Betapapun saya mencoba melawannya, saya tetap saja merasa tidak memiliki harga yang pantas untuk bahkan meninggikan suara dan memperlihatkan betapa tidak nyamannya saya.

Kami terus-terusan dibuat sadar kalau kami tidak sepantar dengan orang kulit putih. Para kulit putih ini adalah ‘standar emas’, sementara kami adalah liyan yang hanya sekadar aksesoris dan juga dekorasi semata. Kami ada untuk memperindah dunia orang-orang kulit putih. Kami diajak bersenang-senang di layar karena kami menampilkan sesuatu yang berbeda, dan tentu saja, karena ada tuntutan keragaman[AP35] [AF36] [AF37] .

Hal ini dilematis, karena penampilan kemajemukan budaya merupakan salah satu nilai fundamental Uni Eropa dalam media (Irion & Valcke, 2014). Catwalk dan iklan-iklan di Eropa kerap menampilkan model dengan kulit berwarna. Setidaknya, sekitar 45% model yang berjalan di catwalk di beberapa pagelaran fashion ternama di Eropa tahun ini merupakan model kulit berwarna (Adegeest, 2019).

Tapi apa pengaruhnya data seperti itu bagi inklusivitas? Penerimaan model dengan kulit berwarna dan pelibatan mereka dalam proyek semata untuk membesarkan nama desainer, penanggungjawab proyek, maupun merek-merek ternama. Kita tidak pernah tahu kisah model-model dengan kulit berwarna tersebut. Tak tahu namanya, hanya warna kulitnya. Hanya mengenali mereka dari data kuantitas.

Kemajemukan warna kulit pada dunia fashion maupun perfilman seharusnya tidak semata-mata diukur dari seberapa banyak aktor maupun model dengan kulit berwarna. Kita perlu juga melihat berapa dari mereka yang dilibatkan dalam pembuatan proyek, desainer, maupun penulis cerita. Bila tidak, kuantitas model kulit berwarna ini hanyalah sebuah tokenisme untuk mempermanis dunia orang kulit putih.

Sebagai penonton dan juga penggembira, kita seharusnya kritis melihat bagaimana dunia fesyen dan perfilman menentukan nasib kita sebagai orang kulit berwarna. Ukuran kemajemukan warna kulit dalam sebuah pagelaran busana semestinya tidak hanya bersandar pada jumlah model kulit berwarna yang turut serta. Standar kemajemukan kita haruslah lebih tinggi dari demikian.

Apakah kemudian upah model lepas saya yang dua kali lipat dari upah yang seharusnya menjadi sebuah bayaran yang fenomenal? Saya belum mengkalkulasi nominal pengeluaran untuk bertahan sebagai perempuan liyan dalam suasana sosiopolitik seperti ini, tapi saya rasa bayaran seperti ini tidak akan dapat menukar keresahan yang kami alami untuk bertahan sebagai manusia yang liyan dan diliyankan.

Saya merasa dibayar lebih semata untuk mengisi sebuah ruang yang tak kunjung terisi; sebuah ruang yang terus didominasi model kulit putih. Saya dibayar lebih tidak untuk menjadi terkenal. Saya dibayar lebih hanya untuk memanjakan mata penonton yang woke dan menginginkan kemajemukan warna pada layar kaca mereka. Penonton-penonton yang ironisnya tidak memikirkan panjang dan dalam nasib belakang layar para aktor dan model kulit berwarna yang mewarnai layar mereka.

Afina Nurul Faizah baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di sebuah perguruan tinggi di Budapest. Ia dapat dihubungi di Medium, Facebook, Instagram maupun Twitter. Masukan, kritikan, maupun perkenalan dapat dikirimkan ke kotak masuk surelnya: afinochka@outlook.com

Referensi

Adegeest, D.-A. (2019, Sept 4). Will casting diversity rule the SS20 fashion weeks? Retrieved Oct 5, 2019, from Fashion United: https://fashionunited.uk/news/fashion/will-casting-diversity-rule-the-ss20-fashion-weeks/2019090445093

BBC. (2019, May 24). Europe and right-wing nationalism: A country-by-country guide. Retrieved Oct 5, 2019, from BBC: https://www.bbc.com/news/world-europe-36130006

Irion, K., & Valcke, P. (2014). Cultural diversity in the digital age: EU competences, policies and regulations for diverse audiovisual and online content. In E. Psychogiopoulou (Ed.), Cultural Governance and the European Union (pp. 1-15). New York: Palgrave Macmillan.

Kondor, K. (2019, Jan 30). The Hungarian paradigm shift: how right-wing are Fidesz supporters? Retrieved Oct 5, 2019, from Open Democracy: https://www.opendemocracy.net/en/can-europe-make-it/hungarian-paradigm-shift-how-right-wing-are-fidesz-supporters/

Mammone, A. (2019, April 7). Right-wing nationalists are on the rise in Europe — and there’s no progressive coalition to stop them. Retrieved Oct 5, 2019, from The Washington Post: https://www.washingtonpost.com/outlook/2019/04/07/right-wing-nationalists-are-rise-europe-theres-no-progressive-coalition-stop-them/

Said, E. (1978). Orientalism. New York: Pantheon.

Taylor, C. R., & Stern, B. (1997). Asian-Americans: Television Advertising and the“Model Minority” Stereotype. Journal of Advertising, 26(2), 47-61.

Thibodeau, R. (1989). From Racism to Tokenism: The Changing Face of Blacks in New Yorker Cartoons. Public Opinion Quarterly, 482-494. doi:10.1086/269168

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.