Mempertanyakan Kembali Arti Seksualitas yang Normal
Beberapa waktu lalu saya sempat terlibat perang komentar dengan salah satu seleb medsos. Nggak penting kalau membahas siapa orangnya. Namun topik yang dibahas masih berkenaan seputar LGBT. Tak sulit menebak, si seleb menyebut keberadaan medsos membuat perilaku LBGT dinormalisasi dan menurutnya itu membahayakan. Pernyataan yang cukup ironis memang, dari seseorang yang terkenal, dapat uang, bisa jalan-jalan, beli skincare, dan jualan buku, justru karena adanya medsos (saya tahu karena nonton beberapa videonya di Youtube, hehe).
Beberapa minggu kemudian, saya berhadapan lagi dengan topik yang sama. Kali ini bersama seorang kenalan yang berprofesi sebagai komika atau pegiat stand up comedy. Baik si seleb medsos dan teman baru ini, sama-sama berpandangan jika LGBT adalah sesuatu yang nggak normal. Bahkan salah satu dari mereka menyebut LGBT itu menjijikan. Saya sudah bisa menangkap arahnya, dan sama sekali nggak tertarik dengan pendapat soal ‘menjijikkan’ itu.
Bahasan tentang ‘normal’ dan ‘nggak normal’ yang mengiringi wacana LGBT lebih membuat saya penasaran. Memangnya apa, sih, seksualitas yang normal?
Katrin Bandel, Indonesianis asal Jerman pernah menulis tentang ini rupanya. Adanya ketidaksaamaan pemahaman mengenai orientasi seksual, membuat ada yang berpikir jika LGBT adalah sesuatu yang abnormal dan dosa. Nah, sebetulnya dari mana dan sejak kapan konstruksi sumbang mengenai homosekualitas terbentuk?
Kedokteran Modern Barat Abad 19
Katrin mengawali pencariannya dari hasil penelitian pemikir Perancis, Michel Foucault dalam bukunya berjudul The Will to Knowledge yang terbit tahun 1976. Di sana Foucault bilang homoseksualitas adalah ciptaan wacana Kedokteran Barat abad ke-19. Yang dimaksud Foucault di sini adalah homoseksualitas sebagai sebuah konsep (ide), yang kini sering kita gunakan tanpa pernah menyadari bahwa konsep tersebut bukan satu-satunya cara memahami dan membicarakan seksualitas manusia.
Di awal abad ke-19, para dokter-dokter modern ini mendefinisikan sebagian hasrat seksual manusia sebagai normal, dan sebagian yang lain sebagai perversi (alias dikategorikan abnormal/distorsi). Nah, perversi ini diklasifikasikan lagi dengan lebih rinci, di mana di dalamnya terdapat homoseksualitas atau hasrat kepada sesama.
Definisi kedokteran tersebut tak sama dengan nilai institusi gereja Katolik yang menyebut bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan adalah dosa. Sementara dalam definisi kedokteran, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan, adalah hal yang normal. Dengan demikian, definisi kedokteran abad-19 dengan gereja Katolik, berlawanan secara norma agama.
Namun, baik Gereja Katolik dan Kedokteran Barat Modern abad-19 sama-sama memandang jika hubungan seksual sejenis adalah hal yang tak ‘alami’, abnormal, bahkan sebuah penyakit.
Konsep perversi itulah yang mengubah persepsi tentang seksualitas manusia. Ia dianggap sebagai suatu cacat yang menjadi bagian dari identitas seseorang. Dalam imajinasi para dokter-dokter itu, yang juga diamini oleh masyarakat luas, homoseksual menjadi sebuah jenis manusia yang berbeda, yang tidak sama dengan manusia ‘normal’ atau kaum heteroseksual. Warisan wacana kedokteran Barat inilah, yang menjadi mainstream dan membentuk pemikiran kita semua. Bagi masyarakat kebanyakan, homo atau hetero adalah sebuah identitas permanen yang kerap disebut orientasi seksual.
Dari penelusuran The Will to Knowledge, Katrin beralih ke buku lain yang masih ditulis Foucault berjudul The Use of Pleasure yang keluar di tahun 1984. Di buku ini, Foucault meneliti konsep orang Yunani Kuno tentang seksualitas. Mengapa Yunani Kuno? Menurut Foucault, Yunani Kuno memiliki pemahaman dan aturan tersendiri mengenai seksualitas, yang sangat berbeda dengan aturan dan pemahaman yang kita miliki sekarang. Budaya dan sejarah Yunani Kuno mencatat jika wajar bagi seorang laki-laki terhormat Yunani memiliki istri dan juga melakukan hubungan seks dengan laki-laki, khususnya laki-laki yang lebih muda.
Hal yang diatur dari budaya tersebut adalah, laki-laki terhormat ini nggak boleh melakukan tindakan seks atau ‘didominasi’ secara seksual oleh laki-laki yang statusnya lebih rendah darinya. Ini menarik, sebab Yunani Kuno tak mengenal konsep homoseksualitas sebagai sebuah orientasi seksual permanen.
Dari sana, Foucault memberi pemahaman mengenai apa yang kita kenal sebagai ‘kebenaran’ tentang seksualitas. Definisi apa yang benar mengenai seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial dan punya sejarahnya sendiri di tiap ruang waktu yang berbeda. Pemahaman kita soal seksualitas, termasuk apa yang kita anggap normal atau nggak normal, bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan lahir dalam konteks historis dan budaya tertentu.
Homoseksualitas dan Islam
Georg Klauda, sosiolog Jerman, juga pernah melakukan penelitian berjudul ‘Heteronormalisasi Dunia Islam’ di tahun 2008. Ia mengaitkan penemuan Foucault di Yunani Kuno itu, dengan wacana seputar homoseksualitas di dan tentang dunia Islam. Kalau tadi Foucault bilang konsep homoseksualitas lahir di abad ke-19, maka dunia Islam sebelumnya tidak mengenal konsep homoseksual tersebut dalam sekian abad. Yang kita tahu, Islam melarang melakukan seks anal, tetapi anggapan bahwa hasrat seksual tertentu bersifat ‘abnormal’ tak pernah disebutkan dalam khazanah Islam klasik sebelumnya.
Menariknya, Klauda menemukan bahwa konsep homoseksualitas dan homofobia, justru diperkenalkan oleh orang Eropa di masa kolonial. Di masa itu, pengamat-pengamat Eropa mengekspresikan rasa jijik terhadap dunia Islam (dan budaya non-Barat lainnya), yang mereka pikir kelewat permisif dengan homoerotisme dalam pergaulan antar laki-laki. Menurut Klauda, di dunia Islam, homoerotisme antar laki-laki merupakan hal yang biasa. Penggambaran tersebut bisa ditemukan dalam puisi Abu Nawas (756–814).
Secara garis besar, homoerotisme diartikan sebagai sebuah ketertarikan seksual sesama jenis, baik itu kepada sesama perempuan maupun sesama laki-laki. Namun, homoerotisme nggak ada hubungannya sama sekali dengan homoseksual. Homoerotisme lebih menekankan pada ‘hasrat’ yang sifatnya sementara.
Sedangkan homoseksual adalah bagian identitas diri yang sifatnya ‘permanen’. Sebagai contoh, dalam kebudayaan Yunani, hubungan intim antara dua laki-laki bisa saja terjadi, namun itu hanya berupa tindakan dan hanya sementara. Laki-laki tersebut kemudian bisa menikah dan berhubungan seksual dengan perempuan. Homoerotisme sudah berlangsung lama dalam peradaban manusia. Sementara konsep homoseksual baru muncul di abad — 19, seperti yang diutarakan Foucault.
Budaya homoerotisme perlahan berubah sejak penjajah Eropa datang dan membawa homofobia ke dunia Islam. Hubungan akrab antar laki-laki dalam konteks non-romantik, yang sebelumnya dianggap wajar, dipandang menjijikan oleh orang Eropa. Kaum pribumi dan elit lokal terpelajar atau dalam arti ‘terdidik secara Eropa’, kemudian mengadopsi homofobia dari penjajah.
Sejak itulah, jika ada sepasang sahabat laki-laki berpegangan tangan, keduanya langsung dicap menjijikan dan memalukan. Padahal tradisi Islam sebelumnya memungkinkan sepasang laki-laki memiliki ikatan persahabatan yang erat bahkan tak jarang saling mempertaruhkan nyawa. Sikap ‘jijik’ dan homofobik penjajah Eropa itu, akhirnya disebarkan, dipertahankan, dan direproduksi hingga saat ini melalui elit lokal dan pribumi terdidik di negara Timur Tengah dan mengubah adab pergaulan sesama lelaki.
Lucunya, setelah mengadopsi ‘kejijikan’ Barat, orang Islam saat ini diasumsikan Barat sebagai kelompok tertutup dan tidak toleran terhadap gay/lesbian. Asumsi ini bahkan digunakan pemerintah Baden — Wurttemberg, Jerman untuk mewawancarai imigran Muslim yang hendak menetap di Jerman di tahun 2005–2006. Tujuan pertanyaan itu adalah untuk memastikan para Muslim tersebut memiliki pandangan yang ‘sesuai dengan nilai Barat’. Pertanyaannya berbunyi, “Bayangkan anak Anda datang kepada Anda dan menyampaikan dirinya homoseksual. Bagaimana reaksi Anda?”. Pertanyaan tersebut anehnya tidak dikenakan pada imigran non-Muslim. Sungguh ironis, padahal menurut survey TNS Emid tahun 2001, 80% laki-laki Jerman saat itu akan bereaksi negatif jika mengetahui anaknya menjadi gay/lesbian.
Keanehan tak berhenti di sana, Klauda juga menunjukan bagaimana konsep yang tertanam pada orang Barat dan non-Barat, menciptakan implikasi yang menyesatkan pula. Di Iran, banyak sekali contoh kasus remaja lelaki yang dihukum gantung karena melakukan seks anal. Melihat tragedi itu, berbagai institusi internasional HAM dan lembaga LGBT Barat mengecam pemerintah Iran.
Namun, ketika dua remaja itu ditanya apakah meraka gay, mereka mengaku hubungan yang dilakukan itu ternyata lazim terjadi di lingkungan mereka. Mereka sama sekali tak memposisikan diri sebagai bagian dari kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan orang. Bisa dikatakan mereka tak mengenal konsep homoseksualitas. Pembelaan yang datang dari lembaga HAM dan LGBT internasional Barat, akhirnya tak mampu menangkap dengan tepat apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa itu. Hingga akhirnya, remaja tersebut menemui ajal di tiang gantungan dengan delik kekerasan seksual.
Di Indoensia sendiri, “mendisiplinkan” seksualitas masyarakat kolonial juga terjadi di era perjanjian Belanda. Penelitian Blackwood (dalam Rahman. 2014) menunjukan bahwa wacana anti-LGBT di masa pra-kemerdekaan Indonesia juga dibawa oleh kolonial Belanda, yang membawa peraturan heteronormatif (hanya ada hubungan laki-laki dan perempuan yang berada dalam hubungan lawan jenis). Peraturan ini terus dibawa dan berkembang di bawah institusi-institusi lain, seperti institusi agama di Indonesia hingga hari ini. Tidak hanya anti-homoseksualitas, “kenormalan” pribumi dalam hubungan heteronormatif, tetap diukur dalam stigma perkawinan antar-ras (Stoelr, 2002). Jadi, peraturan-peraturan ketat untuk melanggengkan konsep heteronormatif dan seksualitas di Indonesia juga membawa semangat kolonial juga.
Kita juga perlu memahami bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang nggak bisa berubah. Ruang, waktu, dan kekuasaan pastilah berganti-ganti seiring sejarah. Sehingga memberi label “kolonial” pada orang-orang anti-LGBT juga nggak tepat sebab mereka hadir dalam konteks dan ruang yang berbeda. Yang perlu kita amati justru bagaimana kebudayaan (Seperti konsep “Timur” dan “Barat”, atau yang “Normal” dan “Tak Normal”) bukanlah sesuatu yang kaku dan benar-benar terpisah, tapi terus berinteraksi hingga menerbitkan sejarah yang kita ketahui hari ini.
Jadi Harus Bagaimana?
Ketika kembali pada sikap si seleb medsos dan teman komika serta sikap pribadi saya, kami memang punya pandangan yang sangat berbeda. Walau begitu, kita sama-sama resah oleh hal yang sama, yaitu konsolidasi identitas, khususnya identitas LGBT. Keresahan si seleb medsos dan komika itu mungkin saja lahir dari ketidakpuasan dominasi konsep homoseksualitas yang diwariskan Kedokteran Barat abad 19. Namun di saat yang sama, mereka sulit, bahkan tak bisa berjauhan dari konsep tersebut. Usaha melegalisasi homoseksualitas, dipandang bermasalah karena bertabrakan dengan ajaran Islam. Tapi mereka cenderung tak mempertanyakan konstruksi identitas gay/lesbian secara lebih substansial.
Keresahan si seleb medsos dan komika itu mungkin saja lahir dari ketidakpuasan dominasi konsep homoseksualitas yang diwariskan Kedokteran Barat abad 19. Namun di saat yang sama, mereka sulit, bahkan tak bisa berjauhan dari konsep tersebut. Usaha melegalisasi homoseksualitas, dipandang bermasalah karena bertabrakan dengan ajaran Islam. Tapi mereka sama sekali nggak mempertanyakan konstruksi identitas gay/lesbian secara lebih substansial dan bagaimana sikap Islam terhadap homoseksualitas sepanjang sejarahnya yang begitu lama.
Sementara menurut perspektif saya, seirama dengan Katrin, betapa kompleksitas permasalahan identitas seksual dan gender terlalu disederhanakan. Bukankah di zaman Rasulullah SAW belum ada wacana yang mengkonstruksi identitas seksual dengan kaku seperti saat ini? Bagaimana agama harus menyikapi manusia yang identitasnya sudah terlanjur dibentuk oleh wacana ‘mainstream’ tersebut? Konsep alternatif seputar identitas seksualitas dan gender, seperti yang terjadi pada anak remaja Iran dan kebudayaan Yunani Kuno itu, hanya bisa dirasakan samar-samar dan diamati oleh masyarakat non-Barat, tanpa bisa dipaparkan lebih tegas.
Pemahaman manusia mengenai seksualitas beragam. Seperti yang sudah dicontohkan tadi, masyarakat Yunani Kuno, seperti yang diangkat Foucault, serta tradisi Islam yang ditemukan Klauda, hingga ketidakpahaman kita soal orientasi seksual sebagai identitas permanen, adalah bentuk pemahaman seksualitas yang beragam. Dari banyaknya pemahaman yang ada, pemahaman awal dari dunia kedokteran Barat abad ke-19, menjadi wacana dominan yang dipercaya masyarakat.
Kita tak lagi mampu membicarakan seksualitas dengan cara yang berbeda, membayangkannya pun tak bisa. Dominasi tersebut tentu tak dapat dilepaskan dari adanya relasi kekuasaan global yang merupakan bentuk warisan kolonialisme. Konsep-konsep Barat modern inilah yang menggeser konsep-konsep lain dan menjadikan kita sulit mencari alternatif.
Pencarian konsep atau ide alternatif mengenai LGBT yang sulit merupakan bagian dari kompleksitas realitas hidup yang menurut Katrin penting adanya untuk disadari. Permasalahan LGBT ternyata sama sekali tak mudah dipetakan dan memiliki konsep yang plural. Konsep mengenai seksualitas dan gender serta relasi kekuasaan pengetahuan global yang meminggirkan atau mengaburkan keragaman tersebut, adalah hal-hal yang jauh lebih penting untuk kita sadari, pahami, dan tentunya terus pelajari.
Ditulis oleh Amalia Nur Fitri. A breathing meat, sells herself to a media company.
Sumber bacaan:
Bandel, Katrin. 2016. Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Rahman, Momin. 2014. Homosexualities, Muslim Cultures, and Modernity. Palgrave Macmillan
Stoler, Ann Laura. 2002. Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and The Intimate Power in Colonial Rule. University of California Press: Los Angeles
http://www.petertatchell.net/international/iran/ayatollahsaremurderers.htm
http://islamlib.com/gagasan/homoseksualitas-dalam-pandangan-kristen-dan-islam/
https://thisisgender.com/sejarah-homoseksual-penyimpangan-yang-melintas-zaman/