Menjadi Perempuan Indonesia di Bulan April

Ann Putri
Merah Muda Memudar
Published in
17 min readApr 21, 2017

Selamat hari Kartini! Selamat hari Perempuan Indonesia! Semoga perempuan Indonesia bisa maju, sehat, sejahtera dan bisa mengayomi orang-orang di sekitarnya. Semua yang terbaik untuk perempuan-perempuan Indonesia!

Ujaran tersebut seringkali kita temui di beranda sosial media, ucapan orang-orang di sekitar kita, di TV, koran, internet, diikuti dengan pertunjukan prestasi-prestasi gemilang (segelintir) perempuan Indonesia dan seminar serta ceramah mengenai perempuan; bagaimana memberdayakan perempuan, membicarakan permasalahan perempuan, atau yang paling parah dan menjijikkan: komodifikasi Hari Kartini dengan mengadakan diskon khusus untuk perempuan seperti makeup, baju, makanan, gym membership, atau rilis penjualan produk-produk ke”perempuan”an. Hari Kartini dirayakan sebagai pengingat bagi kita bahwa pergerakan perempuan Indonesia hanyalah serpihan masa lalu yang tak perlu lagi kita perjuangkan — namun apakah itu benar? Apakah benar kita, para perempuan Indonesia, sudah benar-benar “merdeka”?

Sebelum melangkah lebih jauh ke “menjadi” perempuan Indonesia hari ini, ada baiknya kita menelaah dan mengkritisi Hari Kartini maupun Hari Perempuan Indonesia itu sendiri. Perayaan di atas seringkali dibalut dengan kedangkalan dan kerap menguatkan patriarki itu sendiri. Mulai dari mengenakan kebaya hingga ceramah tentang pentingnya menjadi perempuan yang berbakti pada suami, masyarakat, dan negara. Memperingati hari ulang tahun Kartini dianggap “memperingati perjuangan hak-hak perempuan”, “mengingat jasa Kartini yang sudah memperjuangkan pendidikan perempuan”. Jawaban ini mungkin benar, tapi seolah menafikan kenyataan hari ini. Jika memang hari Kartini merupakan hari di mana kita para perempuan merayakan kemerdekaan perempuan untuk belajar dan melakukan hal yang sama dengan laki-laki, mengapa retorika yang selalu dibawa mengenai “pembaktian perempuan terhadap orangtua, suami, masyarakat, dan negara”? Dari titik ini, kita harus bertanya, “apa betul ini yang Kartini perjuangkan semasa hidup beliau”? Atau jangan-jangan ini sebenarnya merupakan interpretasi yang sengaja dipopulerkan sebagai cara untuk mendistorsi sejarah dan membentuk “perempuan ideal”?

Menelaah pertanyaan di atas berarti menilik kembali sejarah perempuan Indonesia dan pergerakan mereka di masa kemerdekaan dulu, mulai dari Kartini hingga Gerwani. Kartini menjadi menarik dibahas karena resistensi terhadap patriarkinya berada di ruang yang cukup berbeda. Jika Maria Tiahahu dan Cut Nyak Dhien berjuang melawan kolonialisme secara nyata dan di ruang publik yang dikuasai laki-laki, Kartini memilih musuh jelas di ruang politik personalnya: feodalisme Jawa yang patriarkis. Perjuangannya melawan hal tersebut hadir dalam ide-ide tertulis yang memantik semangat intelektualitas perempuan setelahnya untuk merumuskan perjuangan anti-patriarki. Semangat ini bisa kita temukan pada Gerwani, si perempuan jalang pembunuh jenderal versi Orde Baru

Kartini: Bibit Perlawanan Intelektual

Kenapa banyak dari organisasi perempuan jarang dan hampir tidak pernah disebutkan di buku-buku sejarah sekolah untuk dibahas secara serius? Hilang ditelan sejarah atau dipaksakan untuk hilang (khususnya oleh Orde Baru)? Kalau memang dipaksakan untuk hilang dari peredaran publik, mengapa? Tentunya ada hubungannya dengan bagaimana negara kita melihat perempuan serta relasinya dengan subyek-subyek di sekitarnya: orangtua, suami, masyarakat, negara. Menghilangnya pengetahuan publik akan adanya pergerakan perempuan progresif, digantikan dengan gambaran buruk dan mengada-ada tanpa basis historis yang jelas merupakan suatu hal yang membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah dan/atau sedang ditutup-tutupi.

Masalah-masalah yang dilawan oleh banyak organisasi perempuan seperti poligami, pelacuran, dan perburuhan, khususnya mengentaskan buta huruf pada perempuan sebenarnya bukan barang baru. Kartini telah menjadi bukti awal yang nyata bagaimana patriarki telah menjadi benalu selama ribuan tahun dalam masyarakat yang menghambat pendidikan dan perkembangan, hingga membatasi pilihan hidup perempuan (termasuk di Indonesia!). Walaupun lahir sebagai priyayi Jawa di Jepara (saat ini Jawa Tengah), keluarga Kartini cukup berpikiran progresif dibandingkan dengan keluarga-keluarga priyayi semasanya hingga mengizinkan Kartini kecil untuk bersekolah di Europeesche Lagere School (setara dengan SD). Selama bersekolah di ESL Kartini belajar bahasa Belanda, suatu kemampuan yang jarang dimiliki oleh perempuan-perempuan priyayi Jawa pada saat itu. Karena kemampuannya berbahasa Belanda inilah Kartini bisa berkorespondensi dengan beberapa orang Belanda.

Kartini sangat menentang poligami, sesuatu yang marak dilakukan oleh priyayi-priyayi Jawa pada kala itu (hingga sekarang?). Penolakan Kartini terhadap poligami sayangnya tidak banyak dibahas, namun nampaknya memiliki hubungan dengan bagaimana ia melihat pernikahan orangtuanya. Ibu Kartini, Ngasirah, merupakan seorang perempuan yang terlahir dari keluarga non-priyayi dan istri pertama dari ayahnya, Raden Adipati Sosroningrat. Saat menikahi ibunya, jabatan ayah Kartini masih merupakan wakil camat namun karena peraturan pemimpin kolonial yang mewajibkan camat untuk menikahi perempuan dari kalangan priyayi, maka pada tahun sebelum 1877 ia menikahi istri bosnya sendiri, Woerjan agar ia bisa naik pangkat menjadi camat Jepara.

Pernikahan Jawa pada saat itu memang mewajibkan laki-laki, terutama yang priyayi, untuk menikahi banyak perempuan untuk menunjukkan status sosial dan ekonomi sang laki-laki. Meskipun memiliki banyak istri, hanya salah satu dari istri-istri tersebut yang bisa menduduki posisi sebagai garwo padmi alias istri utama. Istri utama ini, menurut Kartini, hanyalah seorang “glorified servant” yang tugasnya menjalankan rumah tangga, menemani suami di acara-acara sosial, dan menerima tamu-tamu Belanda di rumah. Kartini mengomentari praktek poligami dan ketiadaan pilihan perempuan untuk menikahi laki-laki pilihannya sendiri sebagai sesuatu yang kejam dan oleh karenanya bersumpah untuk tidak akan pernah menikah. Hal ini dibuktikan oleh Kartini: ketika gadis-gadis berumur 16 tahun yang telah selesai dipingit menikah, Kartini di usia yang sama masih melajang dan lebih memilih untuk melanjutkan edukasinya. Namun, meski didesak oleh perempuan-perempuan Belanda, Ayah Kartini enggan untuk memperbolehkan Kartini untuk melanjutkan pendidikannya karena aneh bagi perempuan priyayi untuk mengenyam pendidikan tinggi seperti laki-laki priyayi. Kartini pun terpaksa dipingit dari tahun 1891–1895.

Dipingit tidak meredupkan semangat belajar Kartini. Justru pada masa dipingit inilah Kartini mulai mencari cara untuk tetap belajar, salah satunya dengan cara berkorespondensi dengan orang-orang Belanda. Tak hanya surat menyurat, mereka mengirimi Kartini buku, koran, dan majalah berbahasa Belanda. Salah satu teman pena yang getol memberi informasi dan bacaan mengenai pergerakan perempuan sosialis di Belanda adalah Estelle Zeehandelaar atau Stella yang sering membagikan banyak buku, koran, dan informasi mengenai gerakan feminisme dan sosialis Barat. Kartini pun juga sangat mengagumi Stella karena ia seorang perempuan yang meskipun sudah menginjak umur 25 tahun, masih melajang dan bisa bekerja di luar rumah untuk menopang biaya hidupnya sendiri. Pertemanan Kartini dengan Stella merupakan pertemanan terpenting karena dengan Stella-lah Kartini bisa bebas dan merasa setara, tanpa terjebak dengan tata krama Jawa dan peraturan kolonial yang menempatkan orang kulit putih di posisi superior dan orang Jawa di posisi inferior.

Pada tahun 1900, Kartini untuk pertama kalinya bertemu dengan J.H. Abendanon, menteri kebudayaan dan kesenian Hindia Belanda yang sekaligus mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat Kartini setelah beliau meninggal. Di pertemuan pertama mereka, Kartini membicarakan tentang rencananya membangun sekolah putri priyayi yang akan diisi staf-staf pengajar Eropa. Abendanon menyetujui rencana Kartini, namun karena ide sekolah co-op laki-laki dan perempuan tidak mungkin, maka Abendanon mengubah bentuk sekolahnya menjadi sekolah asrama khusus putri. Setelah pertemuan pertama tersebut, pada September 1900, Abendanon membawa Kartini ke Batavia dan memperkenalkannya ke direktur sekolah khusus putri yang berminat untuk memasukkan Kartini menjadi salah satu muridnya. Sayang pada tahun 1901 Kartini mendapati dua kabar buruk: pemerintah menolak ide sekolah khusus perempuan priyayi Kartini karena dianggap belum saatnya perempuan priyayi mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki priyayi dan adiknya, Kardinah, dilamar dan akan segera dinikahkan. Menanggapi hal ini, Kartini dan adiknya Roekmini malah bergerak untuk mendirikan sekolah khusus perempuan sendiri yang ditargetkan untuk anak-anak perempuan pegawai kecamatan. Dus, pada Juli 1903, berdirilah sekolah putri pertama di Indonesia.

Sebulan setelah berdirinya sekolah putri tersebut, Raden Adipati Djojo Adiningrat, bupati Rembang melamar Kartini untuk menjadi istri keempatnya. Kartini syok. Ia tidak ingin menikah, namun di sisi lain keluarga dan teman-temannya menekan dirinya untuk segera menikah. Dengan berat hati Kartini menerima lamaran sang bupati namun dengan satu syarat: Kartini boleh terus melanjutkan sekolah putrinya. Raden Adipati Djojo Adiningrat yang berpikiran progresif dan paham akan jalan pikir dan keyakinan Kartini akhirnya mengiyakan permintaan tersebut. Kartini menikahi Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. Setelah pindah ke Rembang, Kartini memulai kembali sekolah putrinya; mengajari para gadis-gadis di pagi hari dan bekerja dengan para gadis yang menunggu untuk dipinang di siang hari. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih; ketika Stella di umur 25 tahun dapat melajang dan bekerja, Kartini harus menghembuskan nafas terakhirnya. Feudalisme Jawa pun masih terus bertahan, tapi entah disadarinya atau tidak, Kartini telah meletakkan bibit-bibit perlawanan terhadap patriarki dalam segala rupanya, termasuk kelas dan feodalisme.

Lembar Baru Perjuangan Perempuan

Bibit-bibit tersebut kemudian berkembang dan tumbuh menjadi banyak sekolah putri dan bahkan organisasi perempuan. Termasuk Gerwani. Siapa Gerwani? Bagi kita para pemuda-pemudi generasi Indonesia paska kemerdekaan dan tidak sempat mencicipi masa pemerintahan Orde Baru secara langsung, nama Gerwani memang asing. Tidak banyak — atau malah tidak ada — buku pelajaran sejarah sekolah-sekolah Indonesia yang memuat nama Gerwani. Namun ia tidak sendiri; Aisyah dari Muhammadiyah, Wanoedya Oetomo (Wanita Utama) yang kemudian berfusi ke Serikat Putri Islam, Wanita Katolik yang mengajari buruh rokok perempuan baca-tulis dan pelajaran agama, Wanita Taman Siswa sebagai cabang perempuan dari Taman Siswa, Dames Afdeling Jong Islamieten Bond (JIBDA; Bagian Keputrian Perhimpunan Pemuda Muslim) salah satu bagian keputrian dari organisasi pemuda yang menggerakkan “sekolah liar”, serta Madjoe Kemuliaan dan Hati Soetji yang melawan pelacuran dan perdagangan perempuan sayangnya juga jarang disebutkan di buku-buku sejarah sekolah.

Meninggalnya Kartini bukan berarti berhentinya perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapatkan kesetaraan hak. Segera setelah Kartini meninggal, adik-adik Kartini dibantu Tuan dan Nyonya Abendanon dan orang-orang yang merasa simpatik dengan perjuangan Kartini membentuk Yayasan Kartini yang berfungsi untuk membangun sekolah-sekolah khusus putri dan membiayai sekolah-sekolah lainnya. Di tahun yang sama dengan kematian Kartini, Dewi Sartika membangun sekolah khusus perempuan pertamanya di Bandung. Pada tahun 1908 didirikan gerakan Putri Mardika. Putri Mardika memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan, menentang perkawinan anak dan mendukung pendidikan untuk perempuan.

Pada tahun 1917, muncul pergerakan perempuan pertama berbasis agama Islam, yaitu Aisyah yang didirikan oleh Nyai Ahmad Dahlan, istri dari Ahmad Dahland pendiri Muhammadiyah. Sepak terjang Aisyah antara lain mendirikan taman kanak-kanak, sekolah perempuan muslim, dan menyerahkan sekitar 2000 “mubalig-mubalig” perempuan untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Sarekat Islam mengikuti langkah Muhammadiyah dengan mendirikan bagian kewanitaan Serikat Islam yang dirintis oleh Siti Fatimah di Garut. Pada tahun 1920, berdiri Wanoedya Oetomo di Yogyakarta, namun pada tahun 1925, organisasi Wanoedya Oetomo bergabung ke dalam Sarekat Putri Islam. Selain pergerakan perempuan muslim, ada juga gerakan Wanita Katolik yang membuka kursus baca-tulis dan pengajaran agama dan perjuangan hak-hak perempuan untuk para buruh perempuan pabrik tembakau di Yogyakarta.

Partai dan organisasi berhaluan kiri seperti PKI dan Sarekat Rakyat juga mempunyai anggota-anggota perempuan yang cukup banyak. Dari ribuan anggota perempuan Sarekat Rakyat (versi kiri dari Sarekat Islam yang nasionalis dan islamis), beberapa yang menonjol adalah Raden Sukaesih dan Munapsiah yang sempat berbicara di kongres PKI pada Juni 1924. Di kongres ini, Raden Sukaesih dan Munapsiah berbicara tentang pentingnya perempuan berjuang untuk hak-haknya atau “pasti mereka akan disisihkan oleh laki-laki dan kapitalis”. Atas [dugaan] keterlibatan Sukaesih dan Munapsiah dalam pemberontakan PKI pada tahun 1926–1927 dan diasingkan ke Digul.

Gerwani adalah salah satu organisasi gerakan perempuan terbesar pada 1950an. Gerwani merupakan gerakan peranakan (genealogis) dari Gerakan Wanita Isteri Sedar (Gerwis) — yang dari segi ideologi merupakan kelanjutan dari organisasi Isteri Sedar — yang didirikan pada tahun 1950 dengan anggota hanya 500 orang perempuan. Para anggota ini pada umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Gerwis berubah menjadi Gerwani pada tahun 1954.

Sementara itu pada tahun 1961 anggota Gerwani mencapai lebih dari satu juta orang. Mengapa bisa? Mungkin dengan melihat program-program Gerwani kita bisa mengerti asal dari peningkatan anggota yang menurut penelitian Saskia Wieringa (2010) adalah organisasi perempuan yang paling pesat perkembangannya saat itu sekaligus paling berpengaruh dan paling kontroversial. Program gerwani pada saat itu adalah

1. Pembangunan koperasi dan koperasi simpan-pinjam

2. Penyokongan terhadap perempuan tani dan buruh dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja

3. Penyelenggaraan taman kanak-kanak di pasar-pasar, perkebunan-perkebunan, kampung-kampung. Disini perempuan dididik untuk menjadi guru pada sekolah-sekolah ini.

4. Pembukaan badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan yang menghadapi masalah perkawinan.

5. Pembukaan kursus-kursus kader pada berbagai tingkat organisasi yang menggunakan buku-buku tulisan Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Soekarno. Pada kursus ini perempuan juga diajarkan keterampilan teknis seperti tata buku dan manajemen.

6. Pengajaran sejarah gerakan perempuan Indonesia (sesuatu yang sayangnya tidak diajarkan di bangku sekolah kita saat ini).

Selain itu, Gerwani juga menerbitkan dua majalah:

1. Api Kartini yang target pembacanya adalah lapisan tengah. Konten dari Api Kartini meliputi tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode sampai ke soal soal yang lebih feminis dan kiri seperti pentingnya taman kanak-kanak dan kejahatan imperialisme. Api Kartini juga merupakan majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Amerika yang bermutu rendah yang banyak beredar pada saat itu.

2. Berita Gerwani yang target pembacanya adalah internal organisasi. Konten dari Berita Gerwani lebih radikal meliputi berita-berita tentang kegiatan organisasi (konferensi, laporan kunjungan ke organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis, dll). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan kepada kader-kader daerah dan membantu mereka dalam mengahadapi tugas-tugas mereka.

Gerwani dan (Kerenggangan) Hubungannya dengan Gerakan Perempuan Lain

Dengan program sebaik itu, masa iya ada yang kontra terhadapnya? #retoris

Sayangnya ada, teman-teman. Gerwani mempunyai hubungan yang kurang baik dengan organisasi perempuan nasionalis terbesar yaitu Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Ada dua masalah pokok penyebab kerenggangan hubungan ini yaitu

1. Perbedaan dalam keanggotaan.

Perwari mempunyai anggota yang berasal dari isteri-isteri intelektual dan birokrat yang merupakan inti pengikut Presiden Soekarno (kalangan borjuasi) dan bersuasana borjuasi tradisonal Barat. Sedangkan anggota Gerwani dengan lebih banyak berasal dari perempuan miskin; lapisan menengah bawah dan kelas buruh.

2. Pendapat mengenai poligini (poligami).

Hal ini mencuat pada saat perkawinan Presiden Soekarno yang kedua dimana Perwari menentang keras poligami Presiden Soekarno sementara Gerwani tidak terlalu keras menentang Presiden Soekarno. Hal ini membuat Perwari banyak kehilangan fasilitas. Sementara Gerwani menjadi organisasi perempuan paling dekat dengan Presiden.

Dengan adanya hubungan yang renggang ini, bisa kita bayangkan berat tugas KWI (Kongres Wanita Indonesia) yang tugasnya adalah menjadi badan koordinasi bagi semua organisasi perempuan. Pada tahun 1958, Anggota-anggota Gerwani mendekatkan diri pada KWI dengan maksud agar KWI menjadi lebih peka dan aktif dalam masalah-masalah yang relevan bagi kaum perempuan miskin.

Pendekatan (PDKT) Gerwani pada KWI membuahkan hasil berupa pembentukan Gerakan Massa di dalam KWI. Gerakan Massa mempunyai tujuan memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret dengan menegaskan hubungan antara emansipasi perempuan dengan gerakan sosialisme. PDKT ini berhasil hanya untuk sesaat karna selanjutnya beberapa pengurus KWI menyebut PDKT ini sebagai usaha penyusupan dari Gerwani. Namun pada tahun 1961 diputuskan bahwa KWI adalah alat revolusi sehingga kegiatan-kegiatan demi kaum perempuan miskin lebih banyak diselenggarakan.

Hal ini menimbulkan pengkubuan dalam organisasi. Golongan kanan, terutama golongan Islam, menolak gerakan kiri ini. Pada tahun 1962 KWI menjadi anggota Front Nasional yang membolehkan anggota-anggotanya terutama dari Gerwani untuk mengikuti latihan sukarelawan untuk perjuangan nasional yang lebih besar yaitu pembebasan Irian Barat dan menentang pembentukan Federasi Malaysia. Pada tahun 1964 KWI berubah ke namanya yang lama yaitu Kowani dan diketuai oleh Nyonya Subandrio seorang tokoh perempuan nasionalis kiri. Kowani terus bergeser ke kiri dan Gerwani dapat merayakan kemenangannya ketika Kowani merayakan tanggal 8 Maret 1965 sebagai peristiwa nasional. Namun, kita semua tahu kemenangan ini tak berlangsung lama. Perebutan kekuasaan Oktober 1965 mengakhiri cerita manis Gerwani.

Kami bukan lagi

Sekadar melahirkan calon prajurit.

Tapi kami sendiri adalah prajurit.

Bukan sekadar istri pahlawan bangsa,

Karena kami sendiri pahlawan bangsa

Dan ketika benteng-benteng jaman dihancurkan

Dan kaum pekerja bangkit berdiri di tanah air

Tak lagi kita sekadar menengok ke kubur

Membaca doa dan meratap bagi yang gugur

Kita pun bagian barisan terdepan

Petikan dari “Kemerdekaan”,

Sugiarti, Lekra 1962:66

Gerwani dan PKI

Gerwani telah memasuki kawasan laki-laki hingga oleh karenanya merusak ide-ide tradisional tentang perempuan. Dari 1954 sampai 1965 Gerwani menyatakan diri sebagai organisasi yang tidak berpolitik kepartaian tetapi memang berpandangan politik. Gerwani terpaksa memilih menggandul pada PKI sesudah pemerintah menginstruksikan agar semua golongan memilih gandulan politiknya pada Nasakom pada tahun 1965.

Sepanjang sejarah, Gerwani membedakan jelas antara dunia politik partai dan bermasyarakat “yang bersifat laki-laki” dengan bidang kepentingan gender perempuan “yang bersifat perempuan”. Hal ini terlihat jelas pada saat dalam persiapan Gerwani menghadapi Pemilihan umum 1955 di mana ribuan sukarelawan Gerwani dikirim untuk menjelaskan hak pilih kepada semua perempuan calon pemilih dan mengkampanyekan program PKI. Kampanye mereka selalu memberikan gambaran “ingin memberi pendidikan politik pada kaum perempuan”.

Hal ini lah yang membuat pandangan Gerwani mengenai ideologi dan politik sosialnya terhadap “masalah perempuan” tetap agak kabur walaupun ketidakpedulian Aidit dan PKI memberi keleluasaan luas baginya. Ironisnya, kekaburan pandangan inilah yang memberikan keuntungan bagi Gerwani karena memungkinkan Gerwani bermain dengan sejumlah konsep dan semboyan sosialis serta populis sambil mencari sandaran. Dengan demikian kekurangan Gerwani akan kekaburan teorinya harus dilihat dari sudut hubungannya dengan populisme Sukarno.

Ketika PKI dan Gerwani bergabung, Gerwani didorong untuk menjadi ormas perempun sesuai dengan keinginannya. Namun, semua itu tidak terwujud dan justru dalam berbagai pidato PKI, Aidit terlihat kurang peka terhadap “masalah perempuan” dan sering menyebut-nyebut tentang “keterbelakangan” perempuan; isi pokok alasan mereka adalah sosialisme yang akan memberi jaminan hak sama pada perempuan dan oleh karena itu kaum perempuan harus membantu satu-satunya partai yang berjuang untuk (bro)sosialisme.

Namun pandangan PKI mengenai “hak sama” untuk perempuan agak kabur. Dua permasalahan “feminis” yang didukung PKI hanyalah tentang undang-undang perkawinan yang demokratis dan penghapusan IGO/B. Gerwani tidak pernah mempersoalkan manfaat sosialisme secara terbuka tetapi mengakui bahwa “keluarga sosialis idaman” tak selalu meliputi kerja bersama kaum laki-laki dalam tugas kerumahtanggaan.

Kita bisa melihat sisa-sisa feodal jelas dalam partai. Dimana ada pandangan seksis mengenai hierarki perempuan terhadap laki-laki. Namun Gerwani tetap bertahan demi peranan revolusioner mereka: “perempuan tidak mau ketinggalan”.

Tawar Menawar Panglima Besar Revolusi

Pada 1955 Harian Rakyat memuat pidato Sukarno yang menggolongkan gerakan perempuan dalam tiga fase. Fase pertama memusatkan pada usaha menarik kaum laki-laki dengan jalan bersolek, kepandaian memasak, dsb. Fase kedua kaum perempuan menuntut hak sama seperti menjadi anggota parlemen. Fase ketiga kaum perempuan berjuang bersama kaum laki-laki melawan imperialisme. Harian Rakyat menggambarkan antusiasme hadirin terhadap semboyan “biar wanita tetap wanita dan laki-laki terus sebagai laki-laki”. Menurut presiden Perwari berhenti di fase kedua sedangkan Gerwani telah memasuki fase yang ketiga. Hal ini bukan sesuatu yang mengagetkan mengingat adanya pemboikotan Perwari — yang menentang poligini — berhubungan dengan perkawinan kedua Soekarno dengan Hartini.

Setelah melewati berbagai dampak protes tergadap perkawinannya, sekarang Sukarno ingin membawa seluruh gerakan perempuan kembali sejalan dengan kebijakannya yaitu dengan mengingatkan “memeriksa diri sendiri dan mengikis habis segala kecenderungan yang tidak sehat”. Sementara itu ditekankan agar gerakan perempuan “menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman”; dan dengan alasan bahwa karna gerakan perempuan Indonesia tidak sekedar gerakan ndoro ndoroan maka hentikanlah perjuangan melawan laki-laki.

Dari diatas dapat disimpulkan mengenai teori dan strategi, Gerwani melakukan tawaran politis pada kepemimpinan PKI yang didominasi laki-laki dan Presiden Soekarno. Mereka lebih suka sebagai istri setia yang meringankan ketimbang berjuang membela kepentingan mereka sendiri. Dapat kita lihat semangat gerakan perempuan Gerwani di tengah keluarga komunis menjadi terasing saat mereka berperan dalam politik nasional. Keterasingan ini ditutupi oleh selimut populis retorika Sukarno –yaitu bahwa seluruh perempuan Indonesia diharuskan bersatu di sekitar Manipol.

Gerwani dipandang penting oleh PKI karena mereka perlu dukungan massa kaum perempuan. Namun para pemimpin partai itu tidak tertarik pada “masalah wanita”. Dengan begitu PKI mengingkari Gerwani. Gerwani mendukung PKI dalam kata-kata namun pada kenyataannya Gerwani mengangkat permasalahan yang berbeda dengan PKI.

SAAT DAN SETELAH ORBA

Gerwani dan G-30-S

Salah satu edisi harian Angkatan Bersendjata milik militer. Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930162353-20-162458/melacak-misteri-di-balik-imajinasi-kengerian-gerwani/

Fiksi

Gerwani beserta PR menari sambil menyanyikan lagu “Ganyang Kabir”, “Ganyang Tiga Setan Kota” buatan seniman Lekra Soebroto K Atmodjo, dan “Genjer-genjer”, sebuah lagu pop yang terkenal pada masa itu. Mereka menamai “pesta” pembunuhan para enam jendral dan satu letnan ini “pesta harum bunga” di mana para anggota Gerwani dan PR menari dan menyanyi sambil telanjang, memukuli, menusuk, dan memotong alat kelamin ketujuh anggota tentara yang diculik di Lubang Buaya.

Fakta

Berikut rekonstruksi kejadian G-30-S menurut Saskia Wieringa:

Pada 30 September 1965 sekitar 70 perempuan yang terdiri dari:

1. Perempuan muda dari organisasi pemuda komunis.

2. Perempuan dari serikat buruh dan tani.

3. Sejumlah kecil anggota Gerwani termasuk istri-istri para tentara.

Dikumpulkan di Lubang Buaya untuk kampanye anti-Malaysia. Lalu sejumlah dari mereka ditugaskan untuk menjahit strip pada seragam-seragam tanpa tahu mengapa mereka harus melakukan hal tersebut. Para perencana G-30-S menggunakan Lubang Buaya karena daerah ini ada dibawah kendali Angkatan Udara yang merupakan lawan dari Angkatan Darat dan membawa korban-korbannya ke tempat ini.

Mereka dikumpulkan. Mereka ditugaskan tanpa tahu tujuannya. Mungkinkah mereka terlibat dalam perencanaan G-30-S?

Keesokan harinya para perempuan dibangunkan oleh teriakan-teriakan. Pada saat mereka berlari keluar mereka sudah melihat sekelompok tentara menyeret perwira yang diculik bahkan beberapa sudah dibunuh. Mereka ketakutan dan kembali ke Jakarta; sebagian besar ke rumah masing-masing, lainnya ke markas Gerwani tempat dimana sekretaris organisasi yaitu Sudjinah dan Sulami biasa tidur. Itulah pertama kali ketua Gerwani mendengar adanya penculikan jenderal dan kudeta karena seperti rekonstruksi awal tadi hanya sejumlah kecil anggota Gerwani yang dikumpulkan di Lubang Buaya. Tidak ada dari mereka yang hadir di Lubang Buaya pada malam itu.

Lalu dari mana datangnya cerita keji tentang pembunuhan jenderal-jenderal itu oleh perempuan-perempuan muda komunis yang “mendapat latihan khusus”?

Fitnah yang menyudutkan kelompok Gerwani merupakan kombinasi propaganda media dan Angkatan Darat yang paling berhasil dalam sejarah dunia modern.

Pada tahun 1966, Gerwani secara resmi dinyatakan terlarang. Dalam orde baru, secara berangsur-angsur hampir semua program sosial dan ekonomi organisasi perempuan yang mengabdi kepentingan perempuan miskin harus dihapuskan.

Gerwani dan Orde Baru

Untuk menghapus ingatan kita akan Orde Lama secara khususnya Gerwani, Soeharto mengerahkan dukungan pada kaum-kaum yang kontra dan anti terhadap Gerwani seperti Kawi (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia). Dalam tahun paska kudeta, organisasi perempuan telah dibersihkan dari “unsur-unsur kiri”. Misalnya banyak isteri pejabat tinggi tokoh nasional kiri dicabut kedudukannya dari organisasi Perwari. Demikian juga Perwari harus menghilangkan kegiatannya yang berhubungan dengan kepentingan kaum perempuan miskin.

Gerakan perempuan di orde baru sedikit demi sedikit kecewa dengan orde baru. Hal ini dikarenakan pada saat itu gerakan memperoleh tekanan politik dari pemerintah seperti pada organisasi Islam contohnya, mereka boleh menyelenggarakan kegiatan amal untuk perempuan miskin tapi tidak boleh mengungkapkan hal-hal yang tidak adil yang terjadi di masa peemerintahan orde baru.

Pemerintah kemudian menciptakan organisasi-organisasi perempuan yang baru seperti Dharma Wanita (bagi isteri pegawai negeri sipil) dan Dharma Pertiwi (bagi isteri yang suaminya bekerja di salah satu cabang angkatan bersenjata). Satu organisasi lagi adalah untuk kesejahteraan keluarga yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).

PKK telah berdiri sejak tahun 1957 sebagai program pendidikan untuk kesejahteraan keluarga. Pada pertengahan 1960an PKK juga dibuat sebagai bagian dari usaha pembangunan daerah. Namun prakteknya, kegiatan anggota PKK adalah membuat karangan bunga, jahit menjahit, masak memasak, mengikuti penataran-penataran indoktrinasi ideologi negara. Disinilah ditanamkan bahwa PKK tidak perlu banyak melakukan kegiatan yang revolusioner seperti yang dilakukan Gerwani berbicara tentang penindasan perempuan berikut kritik dan segala pertanyaan kritis polisis. Hal ini berarti mempertanyakan politik pemerintah adalah perbuatan tabu yang menyebaban orang dituduh berbuat subversif (memberontak).

Bisa diambil benang merah bahwa gerakan perempuan Indonesia paska lahirnya orde baru dan kudeta 1965 pelan tapi pasti mengalami tekanan politik yang luar biasa dari rezim Soeharto. Di rentang waktu kehadiran rezim Soeharto menjadi titik balik dimana kritisisme dan gerakan kiri diberangus kehadirannya. Jangan coba-coba berkeluh kesah mengenai situasi sosial ekonomi yang sulit karena akan dicap terlarang bagi Orde baru.

— — —

Bagi yang tertarik, berikut beberapa video karya anak bangsa mengenai fakta jujur mengenai Gerwani:

  1. Indonesia: Perempuan Yang Tertuduh oleh Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran : http://kkpk.org/works/indonesia-perempuan-yang-tertuduh/
  2. Pengenalan Gerwani oleh Komunitas Ingat 65 :https://www.youtube.com/watch?v=WM1CxUScKY0
  3. Gerwani, yang Musnah Diterpa Badai Fitnah oleh CNN Indonesia :http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160929193004-30-162217/gerwani-yang-musnah-diterpa-badai-fitnah/

Atau buat kalian yang suka nonton film bisa cek film yang satu ini:

A documentary which challenges former Indonesian death-squad leaders to reenact their mass-killings in whichever cinematic genres they wish, including classic Hollywood crime scenarios and lavish musical numbers. sumber :http://www.imdb.com/title/tt2375605/

Lalu apakah keterlibatan Gerwani dalam G/30S/PKI merupakan fiksi atau fakta? Sukarno memiliki pendapatnya sendiri:

“Adakah rakyatku sudah begitu bodohnya dan percaya tentang kabar omong-kosong yang menyatakan beberapa ratus wanita telah memotong buah zakar para jenderal dengan sebuah pisau silet?” — Presiden Sukarno

Terimakasih banyak kami layangkan ke mbak Pepe atas saran yang telah diberikan dan kesudian untuk mengedit tulisan kami dan mbak Lidya yang sudah memberikan TKA dan beberapa jurnal sebagai referensi tulisan kami.

Ester Arinamy Haloho adalah salah satu remaja tua yang merasa beruntung bisa pergi gereja bersama dengan seorang mantan anggota gerwani dan buka bersama (bukber) bersama penyintas 65 lainnya. Sedangkan Ann Putri adalah mahasiswa Antropologi yang tidak tidur 2 hari demi berjibaku dengan artikel-artikel mengenai Kartini dan Gerwani untuk bahan menulis artikel ini. Pertanyaan, kritik, dan saran bisa kalian kirimkan ke anisadewintap@gmail.com dan ester.arinamy@gmail.com.

Sumber bacaan:

Apriliani, Lidya. 2017. Konstruksi Perempuan Jalang terhadap Gerwani dalam Koran Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata pasca G30-S sebagai Kekerasan Berbasis Gender. Tugas karya akhir. Jakarta: UI.

Martha, Raras Christian. 2009. Mitos Gerwani: Sebuah Analisa Filosofis Melalui Perspektif Mitologi Roland Barthes. Skripsi. Jakarta: UI.

Stanley. 2005. Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan (Fitnah dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka). http://www.geocities.ws/simpang_kiri/G30S/stanley.pdf

Taylor, Jean Stewart. 1976. Raden Ajeng Kartini. Signs, Vol. 1, №3 (Spring, 1976), pp. 639–661. Published by: The University of Chicago Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3173146

Wieringa, Saskia Eleonora. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia. Ed: Stanley, pen: Hersri Setiawan. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra.

Bahan bacaan lanjutan*:

Blackburn, Susan. 2004. Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Martyn, Elizabeth. 2005. The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia: Gender and notion in a new democracy. Oxon: RoutledgeCurzon.

Polhman, Anne. 2004. A Fragment of a Story: Gerwani and Tapol Experiences. Intersections: Gender, History and Culture in the Asian Context, issue 10, August 2004.

*Bila tertarik bisa menghubungi editor.

--

--

Ann Putri
Merah Muda Memudar

Another writer in the sea of talented authors. Open for freelance work.