Penelusuran Historis Orientasi Seksual dan Keberagaman Gender Dalam Masyarakat Tradisional; Implikasi Bagi Wacana Gender Kontemporer

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
14 min readJul 10, 2017

--

Gambar 1: Bissu di Bone, Sulawesi Selatan (sumber: Aljazeera)

Oleh: Anindya Joediono

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) atau orientasi seksual yang dianggap “menyimpang” tersebut akhir-akhir ini marak diperbincangkan di Indonesia. Tidak hanya diskusi yang diadakan oleh akademisi saja yang mewarnai wacana pro dan kontra terhadap orientasi seksual “liyan” ini, rentetan persekusi dan upaya-upaya kriminalisasi gencar dilakukan oleh kelompok konservatif hingga aparatus negara.

Diskriminasi tersebut juga tercermin dalam institusi pendidikan, contohnya bisa kita saksikan melalui pernyataan-pernyataan pejabat negara yang secara tidak langsung melegitimasi diskriminasi terhadap kelompok LGBT di ranah akademis. Seperti yang dilansir oleh Republika beberapa waktu yang lalu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (MenristekDikti), M. Nasir menegaskan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) tidak boleh masuk ke dalam kampus. Menurut laporan SGRC, dalam kurun waktu 2015 hingga 2017, telah terjadi setidaknya 9 kasus diksriminasi terhadap kelompok LGBT di dalam institusi pendidikan.

Banyak masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa LGBT bukanlah bagian dari budaya Indonesia. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mujahid sekaligus politikus Gerindra tersebut dengan yakin mengatakan bahwa Indonesia yang berbasis pada jutaan atau ribuan etnis budaya tidak memberikan toleransi pada perilaku seks sesama jenis. Sodik juga mengatakan bahwa LGBT datang dari budaya asing. Berlandaskan pandangan yang ahistoris inilah banyak terjadi kriminalisasi terhadap LGBT, selain digambarkan sebagai perilaku yang menyimpang kelompok LGBT juga dianggap bukan bagian dari budaya Indonesia melainkan pengaruh dari bangsa asing.

Upaya-upaya kriminalisasi tersebut pun mendapatkan kritikan yang keras oleh berbagai kalangan. Tidak sedikit wacana tandingan yang kemudian dimunculkan, salah satunya dengan menunjukkan fakta bahwa di dalam budaya Indonesia kelompok LGBT ini sudah ada sejak lama dan keberadaannya diterima oleh masyarakat setempat. Banyak masyarakat di Indonesia yang terdeteksi melalui artefak dan temuan historis memiliki konsep homoseksualitas, homoerotika, hingga gender non-biner (di luar perempuan dan laki-laki). Keragaman gender di masyarakat Bugis adalah contoh yang paling sering kita dengar.

Data sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bugis di Indonesia mengenal lebih dari dua jenis kelamin yang tentu memiliki perannya masing-masing di dalam struktur masyarakat Bugis. Namun, jika kita bertanya lebih dalam, benarkah keberadaan mereka mampu merepresentasikan kehidupan yang adil bagi LGBT di era modern ini dan sejauh mana relevansinya untuk digunakan sebagai taktik? Terlebih kita harus jeli untuk mampu menyadari bahwa kehidupan dan nasib mereka di dalam masyarakat baik hari ini maupun di masa lalu, tentunya tidak bisa lepas dari jeratan salah satu sistem dominan di dunia yang sudah berlangsung dan mengakar selama ribuan tahun yaitu, sistem patriarki.

Di Indonesia konsepsi akan gender sendiri ditanamkan melalui berbagai macam institusi dan medium seperti ideologi negara, kurikulum sekolah atau doktrin agama. Usaha-usaha untuk mengkonstruksi konsep gender inilah yang menyebabkan tekanan pada masing-masing individu untuk sesuai dengan norma atau peran gender yang dianggap normal oleh masyarakat yang mengakibatkan dieksklusikannya wacana gender atau orientasi seksual tertentu. Dampak dari globalisasi juga memberikan tantangan tersendiri bagi keberadaan kelompok LGBT pada masyarakat tradisional, khususnya tradisi mereka yang sudah ada sebelum agama Islam datang (yang kini dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia). Keberadaan lima gender di dalam masyarakat Bugis memiliki posisi yang penting sebelum Islam datang pada tahun 1600. Dinamika akan keberadaan mereka terus terjadi hingga hari ini sehingga penting untuk dapat memahami secara historis dan bagaimana peran-peran mereka mengalami pergeseran karena gesekan dan tekanan dari berbagai macam aspek.

Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita pelajari lima klasifikasi gender pada masyarakat Bugis. Bissu; adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Mereka berperan sebagai penasehat, pengabdi, dan penjaga Arajang yang merupakan benda pusaka keramat. Kata Bissu berasal dari kata Bugis “mabessi” yang berarti bersih. Oroane; artinya pria atau lelaki, biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan. Makkunrai; artinya wanita atau perempuan. Makkunrai kerap kali dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan bersedia menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami. Calalai; adalah perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki, Calalai biasa juga disebut perempuan maskulin / tomboy. Kelompok ini mengacu pada orang yang ditugaskan perempuan saat lahir tetapi mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam masyarakat Bugis. Calabai; adalah laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Calabai umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil peran seorang perempuan heteroseksual dalam masyarakat Bugis.

Dari lima klasifikasi di atas, tampak jelas bahwa heteronormativitas dan patriarki berperan dalam menentukan “fungsi” gender yang individu mainkan dalam struktur masyarakat. Laki-laki heteroseksual (baik yang terlahir secara biologis sebagai laki-laki dan memiliki penis maupun yang dibesarkan menjadi laki-laki; Calalai) atau perempuan heteroseksual (baik yang terlahir secara biologis sebagai perempuan dan memiliki vagina atau yang dibesarkan sebagai perempuan; Calabai) masih beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang berbeda. Pekerjaan domestik pun masih dimonopoli oleh kaum perempuan dan bagi siapapun yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan memiliki ekspresi gender feminin. Masyarakat Bugis sendiri sebenarnya tidak mengenal kata gender, klasifikasi di atas berperan sebagai jenis kelamin yang akan menentukan peran-peran maupun performa gender mereka nantinya. Tetapi sekalipun masyarakat Bugis sendiri tidak mengenal kata gender, bukan berarti gender adalah konsep yang tidak penting dalam masyarakat Bugis. Contohnya bisa kita lihat dari bagaimana masyarakat Bugis melihat Bissu sebagai perpaduan antara laki-laki dan perempuan, mereka menganggap bahwa Bissu dapat menjadi perantara untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau Sang Pencipta karena bagi mereka Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan. Sehingga hanya orang yang terlahir setengah laki-laki dan setengah perempuan yang dapat dirasuki oleh dewa agar mereka dapat terhubung pada Sang Pencipta.

Untuk menjadi seorang bissu bukanlah hal yang mudah, mereka harus menahan diri untuk tidak berperilaku yang condong terhadap jenis kelamin tertentu. Walaupun demikian, ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan bissu sendiri tentang apa yang menentukan seseorang agar dapat menjadi bissu. Bagi Haji Yamin, bissu harus terlahir dengan alat kelamin setengah laki-laki dan setengah perempuan (i.e interseks). Ketika bissu tumbuh dewasa ia mulai berprilaku seperti perempuan (memiliki ekspresi gender yang feminin) baginya, bissu tidak boleh memiliki penis yang berfungsi. Haji Yamin sendiri lahir dengan alat kelamin interseks yaitu variasi karakteristik kelamin yang membuat seseorang tidak dapat diidentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan. Baginya hanya orang yang lahir dengan alat kelamin interseks yang benar-benar mampu menjadi seorang bissu. Pendapat lain mengatakan bahwa bissu adalah gabungan antara laki-laki dan perempuan sehingga biasanya yang menjadi bissu adalah calabai walaupun tidak semua calabai dapat menjadi seorang bissu. Bissu tidak boleh menggunakan atribut yang identik dengan jenis kelamin tertentu, ia merepresentasikan ekspresi androgini salah satunya dengan tidak mengalami menstruasi. Beberapa orang menjadi bissu setelah menopause. Perempuan yang masih menstruasi dianggap akan membahayakan dan dapat merayu laki-laki. Mereka menganggap bahwa menstruasi adalah hal yang kotor karena itu pula bissu perempuan sangat sulit untuk ditemukan.

Bissu memiliki peranan yang sangat penting dalam adat maupun struktur masyarakat Bugis. Tercatat dalam karya sastra berbentuk teks atau kitab kuno La Galigo yang ditulis pada abad ke-13 (sebelum kedatangan Islam) yang mana adalah kitab sakral bagi masyarakat Bugis dan berbentuk epos, kitab tersebut mengisahkan betapa pentingnya peran Bissu dalam upacara adat sekaligus dalam kehidupan kerajaan. Bissu adalah penasihat keluarga raja dan bertugas untuk menjaga Arajang (pusaka keramat), sebagai penasihat perkawinan, mendoakan kesuburan pengantin perempuan, bahkan tempat untuk berobat. Contohnya pada saat upacara Mappali atau upacara turun sawah yang diadakan selama tujuh hari tujuh malam untuk memperoleh hasil panen yang melimpah, puncak dari acara tersebut adalah Ma’giri yaitu sebuah tarian ritual menusuk bagian-bagian tubuh seperti perut, pinggang atau leher menggunakan keris yang dilakukan dalam keadaan trans (sedang dirasuki oleh roh leluhur atau dewata) jika sang Bissu terbukti kebal maka dia dianggap dapat memberikan berkat bagi masyarakat.

Bissu juga sering diminta untuk membantu menyelesaikan masalah rumah tangga, jika seorang istri meninggalkan suaminya maka sang suami akan pergi menemui bissu untuk meminta pertolongan. Konon dalam tiga hari tiga malam sang istri akan kembali ke rumah. Peranan bissu dalam rumah tangga tidak hanya sebagai penasihat saja, tetapi juga sebagai pendeta untuk memberikan pemberkatan. Salah satunya dalam upacara adat untuk meminta kesuburan. Jika pasangan suami istri tidak dikaruniai keturunan maka mereka akan datang bersama keluarganya untuk meminta bissu memberikan pemberkatan. Dalam ritual tersebut bissu akan membunyikan simbal untuk membangunkan dewata kemudian menyalakan dupa untuk menuntun jalannya dewata. Dewa kesuburan tertentu kemudian merasuki bissu dan proses ini memungkinkan bissu untuk memberi kesuburan kepada pasangan, atau biasanya kepada si perempuan yang diduga tidak subur. Uniknya, tradisi ini diduga memiliki keterkaitan dengan hijra di India yang melukai penisnya sendiri, dan sama seperti bissu yang dianggap dapat memberikan karunia berupa kesuburan karena penisnya tidak berfungsi.

Dukun beranak laki-laki jarang sekali di Indonesia dan hanya dapat dijumpai di Bali dan di antara suku Lauje di Sulawesi Tengah yang mana laki-laki memiliki monopoli dalam proses persalinan, beberapa bissu juga turut membantu persalinan. Dalam kitab La Galigo dikisahkan bahwa bissu sering diminta untuk membantu proses kelahiran keluarga kerajaan dan turut serta menentukan apakah anak yang dilahirkan tersebut benar-benar keturunan kerajaan. Dahulu kala, darah bissu digunakan untuk mempercepat kelahiran. Haji Sangke, seorang bissu sekaligus dukun beranak menceritakan pengalamannya selama lima belas tahun membantu proses persalinan. Dia mengisahkan tentang kemampuannya untuk berkomunikasi dengan dewata demi kelancaran persalinan. Sebelum menjadi dukun beranak ia mengaku mempelajari teknik-teknik tertentu agar dapat membantu jalannya persalinan. Saat ini Haji Sangke membantu dokter di puskesmas jika ada kesulitan pada saat proses melahirkan.

Tak hanya membantu persalinan, bissu juga selanjutnya membantu berbagai macam ritual untuk anak-anak. Salah satunya ritual khitan untuk anak perempuan maupun anak laki-laki. Khitan perempuan ini dilakukan dengan cara mematuk klitoris anak perempuan dengan ayam betina. Khitan perempuan umumnya diterapkan pada anak yang belum akil balig. Modern ini khitan perempuan banyak ditentang oleh masyarakat karena tidak terbukti memberikan manfaat bagi perempuan dan seringkali menimbulkan cacat fisik maupun trauma psikis. Secara garis besarnya khitan perempuan dimaksudkan untuk mengontrol seksualitas perempuan karena di dalam sistem patriarkat adalah hal yang tabu bagi seorang perempuan untuk menunjukkan hasrat seksual.

Walaupun dalam struktur masyarakat Bugis keberagaman gender ini sudah ada selama ribuan tahun, bukan berarti mereka bebas dari diskriminasi dan lantas otomatis diterima oleh masyarakat ataupun oleh keluarga. Apalagi semenjak masuknya Islam pada abad ke-17 yang ajarannya bertentangan dengan budaya tradisional Bugis. Kisah Haji Mappaganti sebagai seorang calabai dapat menjadi contoh, sejak kecil ia sudah merasakan kecenderungan menjadi calabai. Ia senang mengenakan pakaian perempuan dan bermain dengan mainan anak perempuan. Ekspresi gendernya yang feminin membuat orang tuanya geram. Ia sering dipukuli dan dipaksa untuk bertingkah lebih maskulin meskipun pada akhirnya usaha tersebut tidak berhasil. Bagi Haji Mappganti ada kekuatan yang tidak dapat ia kendalikan sehingga membentuk subjektifitas gendernya.

Kisah tiap individu dalam perjalanan menentukan gendernya bisa bervariasi. Maman, seorang calalai mengaku dibesarkan sebagai anak laki-laki sejak lahir. Bagi Maman bukan hanya faktor x yang membuatnya menjadi calalai tetapi juga pola asuh orang tua yang membesarkannya sebagai laki-laki. Maman mempunyai delapan saudara perempuan dan orang tuanya sejak dulu menginginkan anak laki-laki. Senasib dengan Maman, Elli memiliki kisah serupa. Ia mempunyai enam kakak laki-laki sedangkan Ibunya sejak dulu begitu menginginkan kelahiran seorang anak perempuan. Alhasil, Elli dibesarkan sebagai perempuan, didandani dan diperlakukan seperti anak perempuan. Baik Elli, Maman dan Haji Mappaganti mengaku bahwa mereka merasakan faktor x (mereka menyebutnya demikian karena kesulitan untuk menjelaskan dengan gambling dan jelas apa yang mereka rasa) yang juga berpengaruh terhadap subjektifitas ekspresi gender mereka. Elli sendiri menegaskan bahwa faktor x dan pola asuh orang tuanya saling mempengaruhi, jika tidak ada faktor x maka tidak mungkin ia dapat menjadi calabai dan begitu juga sebaliknya.

Di dalam sistem patriarkat terdapat dua wacana dominan terkait ekspresi gender, yaitu feminin dan maskulin. Tentu wacana tersebut juga berdampak terhadap keseharian kelompok gender non-biner tradisional. Tidak seperti wacana gender kontemporer, bagi seorang calalai satu-satunya contoh ekspresi gender yang mereka ketahui adalah maskulinitas. Pandangan hitam-putih tentang ekspresi gender di Indonesia memainkan perannya di sini, perempuan yang ekspresi gendernya tidak sesuai dengan tuntutan “ideal” masyarakat dianggap seorang calalai karena tidak ada tempat untuk perempuan yang memiliki ekspresi gender maskulin. Pandangan ini menimbulkan problem tersendiri bagi calalai dan calabai yang menikahi satu sama lain.

Kisah Ance dan Wawal bisa sedikit menggambarkan bagaimana peran gender tradisional dan heteronormativitas masih mengakar dengan kuat di dalam masyarakat Bugis. Ance adalah calalai dan Wawal adalah calabai. Ance sebagai calalai diharapkan untuk berperan sebagai suami dan Wawal sebagai calabai dibebankan tugas sebagai istri. Mereka berdua menikah karena dua perempuan atau dua laki-laki tidak dapat menghasilkan keturunan. Pada awalnya pernikahan mereka baik-baik saja, Wawal mengerjakan “tugasnya” sebagai istri seperti membersihkan rumah dan memasak sedangkan Ance bekerja sebagai petani. Perlahan-lahan masalah muncul ke permukaan, Wawal menjadi malas dan tidak ingin mengerjakan perannya sebagai istri. Wawal ingin Ance mengerjakan pekerjaan domestik sekaligus mengurus anak dan bekerja untuk menafkahi keluarga, akibatnya Ance mendapatkan beban kerja ganda. Ance frustasi karena baginya calalai haruslah meninggalkan “pekerjaan feminin” dan mengerjakan pekerjaan yang maskulin. Bagi Ance, memasak adalah pekerjaan perempuan dan seharusnya seorang calalai tidak mengerjakan pekerjaan domestik. Konstruksi peran gender tradisional masih dominan dan membentuk suatu pemahaman bagaimana peran suami-istri seharusnya dijalankan. Wacana keluarga heternormatif-produktif masih mempengaruhi calalai dan calabai yang menikah, sekalipun dalam tataran ekspresi gender mereka mendobrak norma yang ada dengan bertukar peran tetapi pada akhirnya mereka masih terjebak nilai-nilai keluarga patriarkat yaitu keluarga terdiri dari perempuan dan laki-laki, bertujuan untuk pro-kreasi dan pembagian tugas dalam rumah tangga berdasarkan jenis kelamin.

Hubungan sesama jenis sendiri di kalangan gender non-biner tradisional bukanlah hal yang asing meskipun tetap tabu untuk dibicarakan. Akan tetapi, heteronormativitas masih menjadi bayang-bayang yang menghambat sekaligus mengontrol pandangan masyarakat bugis maupun di kalangan gender non-biner tradisional sendiri. Khususnya pandangan masyarakat terhadap hubungan antara calalai dan perempuan. Banyak rumor beredar tentang betapa pentingnya calalai menggunakan dildo atau vibrator untuk berhubungan seksual. Yulia, seorang calabai ketika diwawancarai mengatakan bahwa hubungan antara calalai dan perempuan adalah perbuatan yang berdosa sedangkan ia tidak mempermasalahkan hubungan antara calabai dan seorang laki-laki. Yulia mengatakan bahwa tidak mungkin calalai dapat berhubungan seksual dengan perempuan karena mereka tidak memiliki alat (penis) sedangkan sesama calabai bisa berhubungan seksual karena mereka memiliki penis. Hubungan seksual masih heteroseksis dan dianggap eksklusif milik laki-laki.

Posisi calalai dalam masyarakat Bugis memiliki problemnya tersendiri. Calalai mengalami berbagai macam diskriminasi dan stereotip yang melekat pada mereka. Sebenarnya, hubungan sesama jenis masih dianggap sebagai penyakit oleh masyarakat Bugis. Calalai yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki pasangan sesama jenis dipandang sebelah mata, karena bagi masyarakat kebahagiaan perempuan hanya bisa didapatkan melalui perkawinan heteroseksual, melahirkan anak dan membangun keluarga.

LIMA GENDER DAN KEDATANGAN ISLAM

Selain globalisasi dan modernisasi, kedatangan Islam di Sulawesi Selatan pada awal tahun 1600an membawa banyak dilema dan kontradiksi tersendiri bagi kelompok gender non-biner tradisional. Banyak adat Bugis Kuno yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, salah satunya terkait dengan keberadaan bissu. Agama Islam sering dijadikan sebagai justifikasi sentimen anti-bissu. Pada kisaran tahun 1950–1960 sentimen terhadap bissu semakin memuncak ketika gerakan Islam menguat. Pada awal 1960an Tentara Islam Indonesia menjadikan bissu sebagai target operasi mereka dan mengakibatkan banyak bissu yang terbunuh. Gerakan DII/TII (Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia) yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia menjadi salah satu dalang pembunuhan tersebut, mereka dipimpin oleh Kahar Muzakkar.

Pada tahun 1966 menjadi puncak penderitaan para bissu. Operasi Toba (Operasi Taubat) yang diprakarsai oleh kelompok konservatif yang mengusung purifikasi agama. Implikasinya mereka anti terhadap segala bentuk kebudayaan dan tradisi masyarakat. Mereka ingin menghentikan praktik-praktik adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Upacara adat diberhentikan dengan paksa dan atribut yang menyertainya dibakar dan dibuang ke laut. Bissu diburu dan dikejar, mereka lari dan sembunyi di hutan-hutan, yang tertangkap dipaksa untuk bekerja di ladang dengan maksud merubah mereka menjadi laki-laki normal (maskulin, heteroseksual). Bissu diberikan dua alternatif mati atau hidup tetapi berhenti menjadi bissu dan hidup sebagai laki-laki normal. Demi membuktikan keseriusan ancaman tersebut seorang kepala bissu, Sanro Makgangke dipenggal dan kepalanya dipertontonkan di hadapan publik. Bissu yang tersisa melarikan diri dan bersembunyi.

Puluhan tahun telah berlalu, tetapi bukan berarti dalam masyarakat Bugis modern mereka sudah tidak didiskriminasi lagi. Doktrin agama Islam yang saat ini dipeluk oleh mayoritas warga Sulawesi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bagaimana masyarakat memandang bissu. Mereka dianggap musyrik karena mengakui Tuhan selain Allah dan dianggap memeluk animisme. Banyak adat tradisional yang terlupakan sejak datangnya Islam dan banyak yang takut untuk mempelajari sesuatu yang dilarang oleh agama Islam. Andi Mankgo, seorang ahli adat mengungkapkan bagaimana dulu masyarakat terbiasa mengkonsumsi tikus sawah dan kemudian menghentikan konsumsi tersebut karena dalam pandangan Islam tikus haram untuk dikonsumsi. Jaman dahulu mereka memiliki banyak kuil-kuil kecil (tempat untuk beribadah) namun karena bertentangan dengan agama Islam maka kuil-kuil tersebut harus dihancurkan.

Petani yang dahulu kala berdoa di pohon untuk memohon hasil panen yang melimpah sekarang tidak dapat melakukannya lagi karena praktik tersebut dianggap menyembah berhala. Haji Yamin yang biasanya melakukan ritual Ma’giri juga sudah tidak mempraktikkanya lagi karena melukai diri sendiri dianggap berdosa di dalam agama Islam. Namun, adat-adat tradisional bukan berarti musnah begitu saja melainkan banyak dimodifikasi agar lebih diterima struktur masyarakat Bugis yang baru meskipun masih menuai banyak perdebatan. Perdebatan antara dua orang bissu, Haji Yamin dan Mariani tentang pelaksanaan ritual Ma’giri bisa dijadikan sebagai acuan. Bagi Mariani ritual tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena menurutnya jika Allah tidak mengizinkan ritual tersebut maka pasti ia dan bissu-bissu lain pasti sudah mati karena tertusuk oleh benda tajam.

Gambar 2: Tari Ma'giri (sumber: sulawesita.com)

Uniknya Haji Yamin mendapatkan tempat tersendiri di masyarakat Bugis dan keberadaannya diterima walau penampilannya kontras dengan pandangan Islam konservatif tentang ekspresi gender. Haji Yamin, yang berusia 70 tahun ini disegani oleh masyarakat serta pengikutnya karena ketaatannya dalam beribadah. Sehari-hari ia menggunakan peci disertai dengan eyeliner dan lipstick yang masih ia kenakan. Konon katanya ia pernah naik haji sebanyak 27 kali. Haji Yamin jelas diuntungkan oleh kondisi tersebut, ia diterima dan disegani banyak orang. Sedihnya, masyarakat Bugis yang kebanyakan adalah muslim lebih bisa menerima posisi bissu/calabai, berbeda terbalik dengan perlakuan masyarakat terhadap calalai yang masih menuntut mereka untuk tunduk pada peran-peran gender tradisional.

Berdasarkan penuturan bapak Ahmad (nama disamarkan) yang tinggal di desa Biromaru kabupaten Sigi menuturkan bahwa sudah sewajarnya keberadaan kelompok gender non-biner tradisional dihilangkan karena mereka adalah antek-antek PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bertujuan untuk mendirikan negara ateis. Miskonsepsi akan histori keberadaan mereka serta tuduhan-tuduhan tidak berdasar laris manis dikonsumsi oleh masyarakat Sulawesi. Mirisnya banyak generasi muda yang tidak mengetahui keberadaan mereka karena memang jumlahnya tinggal sedikit. Berdasarkan penuturan Umang yang seorang mahasiswa, di lingkungan Bugis sendiri banyak kelompok LGBT modern tetapi eksistensi mereka terancam karena dimarjinalkan di lingkungan sendiri. Stigma yang melekat bermacam-macam, jika sebuah keluarga mendapatkan musibah dan kebetulan mereka memiliki anak homoseksual maka anak tersebut akan dipersalahkan karena dianggap pembawa sial. Tak jarang mereka dianggap kurang pendidikan dan dipaksa untuk membantu ayahnya bekerja di sawah atau ladang agar kodratnya sebagai laki-laki sempurna. Tentu ini adalah salah satu dampak jangka panjang pengekslusian keberadaan mereka di masa lalu.

Kita dapat melihat beberapa kemiripan atas diskriminasi yang dialami oleh kelompok LGBT tradisional dan kelompok LGBT modern walaupun tidak serupa. Wacana atas keberadaan minoritas orientasi seksual dan ekspresi gender non-biner sudah dieksklusikan sejak lama. Menunjukkan fakta bahwa eksistensi mereka sudah ada selama ratusan tahun tidak memberikan banyak perubahan terhadap kondisi kelompok LGBT modern. Karena fakta-fakta tersebut tidak akan merubah pandangan kelompok tertentu yang lebih mengutamakan purifikasi agama dan nilai-nilai patriarkat, terbukti secara historis keberadaan mereka yang sudah hidup di Indonesia selama ratusan tahun tidak membuat kelompok tersebut berubah pikiran dan tidak membuat kelompok LGBT tradisional selamat dari upaya “pembersihan’. Saya yakin, para politikus yang mengatakan bahwa LGBT bukanlah bagian dari budaya Indonesia bisa jadi sudah membaca atau mengetahui eksistensi mereka dalam kerangka budaya tradisional Indonesia. Yang jadi pertanyaan, pedulikah mereka terhadap fakta tersebut? Benarkah masyarakat kita hari ini akan otomatis merubah pikiran mereka dengan hanya membaca fakta historis ini? Kalau memang demikian, mengapa berita-berita hoax tentang kelompok LGBT di media mainstream masih populer dan mendominasi wacana tentang LGBT?

Pembacaan akan keberadaan LGBT di dalam sejarah Indonesia memang diperlukan, tetapi kita tidak bisa tebang pilih dan mengabaikan fakta-fakta historis yang ada dan menutup mata atas diskriminasi yang juga dialami oleh mereka. Perbedaan antara ruang-waktu dan relasi sosial yang terjadi di masa sekarang tentu akan berdampak atas pembacaan situasi yang ada. Fakta-fakta historis ini belum tentu dapat membuka mata orang-orang yang anti terhadap LGBT dan tentu saja tidak menggambarkan kehidupan yang adil bagi kelompok LGBT hari ini. Hal ini juga tidak serta merta membebaskan LGBT dari kontrol dan kuasa patriarki sebagai biang keladi atas penindasan yang mereka hadapi.

Dalam beberapa masyarakat (adat) gender memang lebih variatif, meski keberadaannya tidak serta merta meninggalkan maupun menghapus patriarki dan hadir di tengah masyarakat Indonesia. Kemudian dalam kacamata hukum nasional di negara ini pun menjadi LGBT bukanlah sesuatu yang melanggar maupun bukan tindak kriminal. Memahami bahwa posisi hukum LGBT sendiri masih simpang siur, akan memberikan kita dua pemahaman bahwa; (1) Segala bentuk tindakan diskriminasi oleh institusi negara bersifat melanggar hukum dan bisa menjadi inkonstitusional (melanggar konstitusi negara berdasarkan UUD 1945 pasal 28 A — J Tentang HAM), maka (2) Negara dan struktur masyarakat negara-bangsa yang masih berada di selubung heteronormatif-patriarkis layaknya di Indonesia akan mengukung masyarakat LGBT melalui cara-cara pendisiplinan di luar hukum yang akan saya rangkum di tulisan berikutnya.

Anindya Joediono adalah mahasiswi fakultas hukum yang sedang berusaha untuk menyelesaikan hutang bacaan sekaligus tidak menghindari kehidupan sosial. Dia dapat dihubungi di anindyabrina@gmail.com

Daftar Pustaka:

Davies, S. G. (2011). Gender diversity in Indonesia: sexuality, Islam and queer selves. London: Routledge.

Lihat Jacobin, The Fallacy of Post-Truth, https://www.jacobinmag.com/2016/12/post-truth-fake-news-trump-clinton-election-russia diakses pada 9 July 2017

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.