Review Artikel: Bagaimana Determinisme Biologis Melanggengkan Seksisme menggunakan ‘Sains’

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
3 min readJul 22, 2018

“Cowok emang udah dari sononya lebih unggul dari cewek.” Masa sih?

Determinisme biologis adalah pandangan yang meyakini bahwa perilaku manusia merupakan bawaan lahir, ditentukan oleh gen, ukuran otak, dan atribut-atribut biologis lainnya. Yang juga merupakan ciri utama pandangan ini adalah penolakan terhadap konsep kehendak bebas; bahwa manusia tidak memiliki kontrol atas kecenderungan dan perilakunya, sehingga tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.

Bagaimana hal ini berpengaruh terhadap status gender? Yang sangat mencolok adalah pemisahan peran yang kaku, antara peran privat/domestik dan publik. Laki-laki dianggap lebih unggul secara biologis: lebih kuat, lebih pandai, maka sudah sepantasnya mendapat peran di ranah publik dan layak untuk memimpin. Sebaliknya, perempuan, yang dinilai inferior secara biologis hanya pantas mendapat peran domestik.

Determinisme biologis telah dapat dilihat pada era klasik. Aristoteles dalam Politics menyebutkan bahwa perbedaan spesies yang dapat diamati karakteristiknya sejak lahir menentukan siapa yang diprogram untuk memerintah dan siapa yang akan diperintah. Pandangan serupa mencapai puncaknya pada abad ke-19 melalui karya-karya Samuel Morton dan Joseph-Arthur de Gobineau.

Source: Rowland Writes and Draw

Tidak hanya menyangkut seksisme, kepercayaan tersebut juga telah mendasari rasisme. Telah ada upaya yang menunjukkan bahwa orang kulit hitam memiliki kapasitas intelektual lebih rendah dan kecenderungan lebih tinggi untuk bertindak kriminal. Inilah salah satu alasan utama mengapa orang kulit hitam diperlakukan secara diskriminatif secara berkelanjutan.

Pembedaan peran tidak hanya berhenti pada perbedaan ‘objektif’. Anggapan bahwa ciri-ciri fisik laki-laki menjadikannya petualang dan keras menjadikan masyarakat toleran terhadap (bahkan memuja) berbagai bentuk keburukan pada laki-laki, seperti maskulinitas toksik, kekerasan fisik, karena ‘memang sudah semestinya’. Laki-laki dipercaya tidak bisa mengontrol perilakunya, dan hal ini melahirkan kecenderungan kriminal seperti pemerkosaan. Buktinya, sudah berapa kali kita dengar bahwa laki-laki memperkosa karena tidak tahan melihat perempuan berpakaian sedemikian rupa atau karena berjalan sendirian di tengah malam?

Perempuan, di sisi lain, seolah diberi ‘hadiah’ berupa kompensasi atas intelektualitas dan fisiknya yang lebih lemah: moralitas yang superior. Walaupun keluhuran adalah sesuatu yang baik untuk dimiliki, mereduksi perempuan sebagai sesuatu yang sakral (dengan definisinya yang sempit dan mengekang) justru lagi-lagi menempatkan perempuan pada situasi yang merugikan. Misalnya, laki-laki bisa melenggang bebas atau mendapat hukuman sosial yang ringan dengan kebiasaan berganti pasangan perempuan, sementara perempuan yang berperilaku serupa memperoleh hukuman yang lebih berat. Pada beberapa kasus ekstrem, perempuan harus kehilangan nyawa melalui pembunuhan kehormatan (honor killing) karena dianggap melakukan sesuatu yang mencoreng kehormatan keluarganya. Beberapa kasus bahkan terjadi hanya karena sang perempuan mengenakan make-up dan berpacaran!

Penulis menyambung argumen feminisme gelombang kedua yang menekankan bahwa jenis kelamin (seks) tidak sama dengan gender. Jenis kelamin merujuk pada apa yang terlihat secara fisik: vagina/penis. Gender muncul sebagai konstruksi sosial yang berangkat dari jenis kelamin. Ia mengutip Simone de Beauvoir yang memandang bahwa pembedaan tersebut memberikan efek moral dan intelektual yang sangat dalam sehingga seolah-olah terlihat disebabkan ‘alam’.

Determinisme biologis melanggengkan konstruksi gender karena dianggap cocok dengan kondisi yang telah ada, sehingga pembagian peran yang secara tidak proporsional menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan menjadi terbenarkan. Kondisi sosial yang ada pada gilirannya digunakan sebagai dasar determinisme biologis itu sendiri. Lingkaran setan ini pun menyulitkan banyak orang untuk melihat bahwa perempuan tidak secara natural subordinat, berada di bawah laki-laki, dan bahwa itu terjadi sebab perempuan disosialisasikan untuk demikian. Bahwa sifat ‘feminin’ tidak esensial dan tidak ajeg semata-mata karena struktur biologis.

Perlu digarisbahawi kritik terhadap determinisme biologis tidak secara otomatis menyiratkan sikap anti-sains. Hal tersebut hanya mencoba menyadarkan kita bahwa sains tidak kebal akan bias sosiopolitik; bahwasanya bahasan di atas menunjukkan bagaimana orang menyalahgunakan ilmu alam dengan secara subjektif mengambil hasil-hasil riset yang membenarkan praktik eksploitatif di masyarakat. Pada gilirannya, sudah banyak temuan tentang hormon, gen, dan karakteristik biologis manusia lainnya yang mematahkan determinisme biologis.

Disadur dari: https://feminisminindia.com/2018/06/18/biological-determinism-science-sexism/

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.