Review Artikel: Melampaui Relativisme Budaya dan Universalisme
Dua bulan yang lalu, politisi Australia Pauline Hanson dari Partai One Nation memasuki ruang senat memakai burqa. Ketika giliran dia berbicara, dengan dramatis dia melepaskan burqa yang dia pakai dan berkata “Ini (burqa) bukanlah apa yang seharusnya ada di Parlemen.”
Kejadian ini memantik kembali perdebatan di antara feminis mengenai bagaimana seharusnya feminis bersikap terhadap kontroversi pelarangan pemakaian burqa. Di satu sisi kita memahami bahwa burqa adalah praktek yang berakar pada nilai-nilai yang patriarkis, namun kita juga tidak dapat melupakan bahwa pihak yang mendorong pelarangan ini memiliki intensi yang rasis dan Islamofobik.
Dalam kondisi ini, feminis seakan terjebak di antara relativisme budaya yang mendefinisikan semua hal yang dipilih untuk dilakukan perempuan sebagai hal yang positif dan feminisme “universalisme” yang tidak memedulikan efek argumen ini kepada minoritas yang termarjinalisasi di Barat.
Relativisme budaya adalah sebuah ide bahwa kepercayaan, adat, dan moralitas tidaklah absolut, naun bergantung pada budaya tertentu tempat seseorang berasal. Sehingga nilai dari suatu praktek budaya seharusnya hanya dapat dinilai dari orang yang berada dari luar budaya tersebut. Walaupun asalnya teori ini adalah teori yang menantang pandangan yang eurosentris, teori ini pada akhirnya membuat kita menjadi tidak bisa memberikan pandangan kritis kepada praktek patriarkis yang berasal dari luar budaya kita. Ketika kritik terhadap praktik patriarkis diberikan, penganut pandang relativisme budaya akan mengatakan bahwa bias budaya yang kita miliki membuat kita tidak kompeten dalam memberikan kritik sehingga pilihan yang dilakukan perempuan yang memilih budaya tersebut adalah kebebasan memilih yang tidak dapat dikritik.
Di sisi lain, argumen unversalis juga menjadi cara paham-paham misoginis dan rasis mengkooptasi feminisme untuk mengopresi komunitas yang telah termarjinalisasi. Di Perancis narasi pelarangan hijab atau niqab menjadi legitimasi untuk normalisasi dan legitimasi kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan fisik dan verbal, diskriminasi saat mencari kerja, pelarangan untuk mengakses ruang publik, bahkan penolakan untuk bergabung di beberapa grup feminis menjadi pengalaman yang harus dirasakan pemakai niqb dan burqa.
Belum lagi ini juga menjadi narasi yang menguntungkan lelaki, terutama lelaki di Dunia Barat, dalam dua aspek. Pertama, diskursus mengenai pelarangan burqa membuat praktik patriarkis seolah cuma terjadi di kalangan Muslim dan tidak terjadi di Dunia Barat. Lelaki di Dunia Barat seolah bebas dari kritik karena perempuan di Dunia Barat sudah terbebaskan dan tak perlu berjuang untuk hak mereka. Kedua, diskursus ini melayani kepentingan lelaki untuk mengakses tubuh perempuan. Penutup kepala dan wajah mejadi hal yang tidak dapat ditoleransi karena itu seolah mengomunikasikan bahwa perempuan yang memakainya tidak aksesibel untuk lelaki kulit putih karena mereka adalah properti lelaki kulit cokelat. Pada akhirnya, isu ini secara fundamental adalah isu di mana lelaki memperebutkan akses seksual terhadap perempuan.
Menghadapi hal ini, konteks menjadi hal penting. Melawan pemakaian hijab di Australia atau Perancis tidaklah sama dengan melawan pemakaian hijab di Arab Saudi atau Iran. Agenda perlawanan pemakaian hijab di negara di mana Muslim adalah mayoritas dapat memberi efek sangat berbeda ketika dilakukan di negara di mana Muslim adalah minoritas. Ketika di Perancis seluruh spektrum politik — yang didominasi lelaki dan misoginis — bersatu untuk memaksa pelarangan pemakaian hijab, kemungkinan besar ini memang bukanlah agenda yang membebaskan perempuan. Relativisme budaya adalah perangkap bagi perempuan, namun begitu pula universalisme ala Perancis.