Seminggu Ngobrolin Patriarki dan Masa Depan Kolektif Independen

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
5 min readOct 26, 2018

Di bulan ini, pada tanggal 8 dan 13 Oktober 2018, Merah Muda Memudar (diwakilkan oleh Ann Putri dan Annisa Amadea) diundang sebagai pembicara di dua acara. Acara pertama yang kami hadiri adalah Nusasonic, sebuah festival musik yang merayakan keberagaman budaya music eksperimental Asia Tenggara. Festival musik yang diadakan oleh Goethe Institute Asia Tenggara ini mengadakan berbagai macam acara, salah satunya acara diskusi yang bertajuk “Building and Amplifying Female Networks” pada tanggal 8 Oktober 2018 bertempat di Kedai Kebun Forum Yogyakarta.

Acara diskusi “Building and Amplifying Female Networks”

Diskusi ini dihadiri oleh berbagai perempuan dari latar belakang yang berbeda-beda. Mayoritas pembicaranya memiliki latar belakang seni, seperti AGF (Finlandia/Jerman), Joee & I (Filipina), Kok Siew-Wai (Malaysia), dan Cheryl Ong (Singapura). Riska Farasonalia (Indonesia) dari Kolektif Betina juga ikut meramaikan acara diskusi siang itu. Acara dibuka dengan kutipan menarik dari moderator diskusi Brigitta Isabella (KUNCI) yang menekankan bahwa berjejaring selama ini dipahami sebagai sesuatu yang neoliberal dan dilakukan untuk mengakumulasi keuntungan pribadi. Diharapkan dengan adanya diskusi ini bisa membuka bagaimana berjejaring dapat memberdayakan perempuan alih-alih untuk kepentingan pribadi.

Selama diskusi, kami saling berbagi cerita tentang latar belakang kami; siapa kami, mengapa kami melakukan hal-hal ini, serta masalah-masalah apa saja yang kami hadapi dalam aktivitas-aktivitas kami. Salah satu poin yang kami anggap menarik datang dari Cheryl, drummer sekaligus penyelenggara festival musik No Man’s Land Singapura. Sesuai dengan namanya, semua musisi yang berpartisipasi di No Man’s Land adalah perempuan. Ia diselenggarakan sebagai platform untuk merayakan musisi-musisi perempuan yang seringkali mengalami diskriminasi di industri musik. Meski begitu, mereka tidak mempromosikan No Man’s Land sebagai festival khusus musisi perempuan karena mereka tidak ingin menunjukkan seolah musisi-musisi yang tampil dipilih karena mereka perempuan alih-alih kemampuan musik yang mereka miliki. Ini tidak hanya menghindari narasi yang justru merendahkan musisi perempuan, tapi juga merupakan taktik yang lebih menarik untuk para musisi perempuan itu sendiri. Di sisi lain, Cheryl juga merasa bahwa membicarakan mengenai identitas musisi sebagai perempuan justru malah mengaburkan tujuan mereka untuk menunjukkan bahwa musisi perempuan juga mampu membuat musik yang bagus.

Arahan diskusi ini menarik karena ini menjadi bahasan strategi yang lebih dalam. Kita semua tahu bahwa representasi perempuan di skena musik itu sangat kurang. Namun, bagaimana caranya untuk memberikan platform untuk musisi perempuan yang lebih efektif? Narasi seperti apa yang perlu kita bentuk agar pesan pemberdayaan perempuan dan perayaan untuk karya dari perempuan ini tersampaikan ke khalayak ramai? Dalam beberapa kasus, acara yang secara eksplisit menunjukkan eksklusivitasnya untuk perempuan saja mungkin dapat lebih efektif untuk mencapai tujuan tertentu, seperti menciptakan ruang yang aman untuk perempuan misalnya. Namun kasus Festival No Man’s Land di Singapura juga menunjukkan bahwa taktik tersebut malah akan kontraproduktif ketika tujuan yang ingin dicapai adalah perayaan dan pertunjukan dari potensi kemampuan perempuan dalam bermusik.

Topik lainnya yang juga ikut dibicarakan berputar di topik diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan berbasis gender. Kasus kekerasan berbasis gender dialami oleh Kolektif Betina ketika menyelenggarakan acara Lady Fast di Bantul, Yogyakarta pada tahun 2016. Salah satu peserta acara diserang dan acara mereka terpaksa dibubarkan karena dianggap membawa simbolisme komunis dan berpakaian tidak pantas. Meski dihantam dengan diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan berbasis gender, kami tetap optimis untuk terus berjuang dan saling memberdayakan satu sama lain.

Di hari Sabtu, tanggal 13 Oktober 2018, kami diundang sebagai pembicara di Ber-Zine-ah, sebuah acara rilis zine pertama Stanggam. Stanggam alias Serikat Tukang Gambar adalah kolektif seniman hore-hore berbasis di Yogyakarta yang ikut berkontribusi dalam kolom “Siapa Tahu Kamu Mau Melawan Patriarki” di zine ke-2 kami. Di acara rilis ini kami bersama Stanggam membicarakan tentang lika-liku penerbitan zine, alasan kami menerbitkan zine, dan hal-hal lain terkait perZineahan lainnya. Sebagai sesama kolektif kecil yang masih berumur jagung, kami memiliki banyak kesamaan; dari susahnya mengumpulkan anggota, kesibukan masing-masing para anggotanya, sulitnya menelurkan karya secara konsisten, hingga keterbatasan dana.

Wahai kolektif-kolektif miskin di dunia bersatulah!

Dalam hal zine, Stanggam melihat zine sebagai sebuah karya yang menjadi pembuktian esksistensi mereka, bahwa Stanggam itu ada dan memiliki karya sebagai buktinya. Zine Stanggam sendiri memang bisa dibilang sangat menunjukkan identitas Stanggam. Seluruh halaman zine mereka diisi oleh gambar yang dibuat para kontributor dengan satu halaman yang disediakan untuk para penggambar untuk menuliskan deskripsi atau pesan yang ingin mereka berikan sebagai pelengkap gambar mereka. Sedangka kami membuat zine karena kami ingin menyebarkan ide tentang feminisme dengan cara yang lebih pop. Pendekatan pop ini kami gunakan karena banyak yang menganggap tulisan-tulisan kami di Medium terlalu serius. Ini ditunjukkan lewat nama zine kami, Fememenisme, sebagai gabungan nyeleneh dari kata feminisme+meme. Kami ingin menunjukkan feminisme bukanlah sebuah aliran pengetahuan dan pergerakan yang menakutkan, tapi sesuatu yang seharusnya dirangkul oleh semua orang.

Salah satu bagian menarik dari diskusi ini datang dari pertanyaan Yasir, penulis cerpen untuk zine kedua kami. Dia bertanya, seperti apa rencana kami berdua untuk dapat membuat zine kami dapat terjangkau oleh konsumen kelas menengah ke bawah. Ini pertanyaan menarik karena sejujurnya kami sendiri pun tidak memiliki jawaban yang cukup memuaskan untuk ini. Kami memang telah memberikan kopi zine kami kepada beberapa kelompok perempuan yang berada di luar segmentasi pasar alami zine kami, salah satunya Marsinah FM. Zine kami juga memiliki label creative commons yang berarti semua orang bebas memperbanyak zine kami dan menyebarkannya asalkan tidak mengambil keuntungan.

Meskipun begitu, kami sadar bahwa memungkinkan kelas menengah ke bawah untuk membaca zine kami berbeda dengan menjangkau mereka dalam arti seseungguhnya. Tulisan kami pun mengandung referensi yang ditujukan dengan anak muda kelas menengah yang mungkin tidak dimengerti orang-orang yang berada di kelas menengah ke bawah. Substansi kami mungkin dapat tersampaikan bila zine kami dibaca, tapi kami belum membuat konten yang mampu menarik orang-orang di kelas menengah ke bawah secara spesifik. Kami rasa menjangkau kelas menengah ke bawah minimal hanya bisa dilakukan setelah kita secara sadar melihat mereka sebagai sasaran dari karya kita. Harus diakui kami memang perlu berusaha lebih di bagian itu.

Dua acara tadi memberikan bukti bahwa berkolektif adalah hal yang penting. Perempuan-perempuan yang mengikuti diskusi di Nusasonic tidak akan membuat festival musik dan acara-acara lain yang membuka kesempatan bagi musisi perempuan bila mereka tidak bekerja bersama-sama. Stanggam pun tidak akan menerbitkan zine mereka jika mereka hanya berhenti sebagai individu yang senang menggambar, bukan sekelompok orang yang memutuskan untuk menggambar dan belajar menggambar bersama. Dengan membangun jaringan, kita juga mendorong batasan yang kita miliki, sehingga yang sebelumnya tidak bisa dicapai, jadi bisa dicapai.

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.