Yang Patut Dibahas dalam Masalah Pelecehan Seksual Terhadap Jojo

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
7 min readSep 5, 2018
Jonatan Christie (mungkin) sedang melihat ketubiran netizen akan dirinya yang tidak selesai-selesai. Sumber: www.badmintonindonesia.org.

Lini masa media sosial akhir-akhir ini dipenuhi oleh argumen (dan juga sindiran) terhadap “fenomena Jojo”. Fenomena Jonathan “Jojo” Christie ini tak hanya meliputi medali emas yang ia raih, tapi juga karena sorakan dan komentar dari penonton perempuan yang bernada seksual. Komentar-komentar “aduh, rahimku hangat nih”, “ovariku meledak”, atau yang lebih seksual “hamili aku Jojo!” ramai melintang di media sosial — baik di laman pribadi atau di laman Jojo.

Berbagai analisa dan opini bermunculan di sini, menghasilkan pembicaraan paling luas mengenai pelecehan seksual di Indonesia. Ada beberapa jenis argumen yang muncul dari fenomena ini. Argumen pertama menganggap bahwa apa yang dialami Jojo adalah pelecehan seksual; argumen kedua menganggap kejadian ini merupakan objektifikasi yang salah tapi bukan pelecehan seksual; dan yang ketiga menganggap sorakan dan komentar seksual yang dilemparkan ke Jojo bukan bentuk pelecehan seksual maupun objektifikasi yang salah.

Pemegang tipe argumen kedua dan ketiga umumnya menggunakan argumen relasi kuasa untuk menunjukkan bahwa Jojo tidak mengalami pelecehan seksual. Artikel dari Vice, JakPost, dan Magdalene jatuh ke tipe argumen kedua dan ketiga. Mereka berargumen bahwa sebagai laki-laki, Jojo memiliki posisi sosial yang lebih tinggi dari perempuan yang menyorakinya. Status sosial ini membuat Jojo tidak dapat mengalami pelecehan seksual karena dia tidak mendapatkan ancaman yang sama seperti didapatkan korban perempuan pelecehan seksual.

Kami memiliki beberapa masalah dengan argumen ini. Pertama, argumen mengenai relasi kuasa akan membuat pelecehan seksual menjadi perilaku yang identifikasinya selalu memerlukan pengukuran “jumlah kuasa” yang sebetulnya abstrak. Kami merasa konsepsi ini akan membuat pelecehan seksual menjadi istilah yang sangat sulit digunakan. Pasalnya, kita harus mengukur status ekonomi-sosial pelaku dan korban, untuk kemudian menentukan apakah itu termasuk dalam pelecehan seksual atau bukan.

Kedua, jika kita menggunakan argumen relasi kuasa sekalipun, penonton dan pengguna media sosial bisa dibilang memiliki kuasa yang lebih besar dibanding Jojo. Penonton bisa mengucapkan apapun tentang Jojo, tapi Jojo tidak bisa menyaring atau menghentikan komentar-komentar tersebut. Kalaupun Jojo ingin menyatakan protesnya, dia juga tidak bisa meminta pertanggungjawaban dari penonton dan pengguna media sosial yang melakukan pelecehan seksual ke dirinya, karena jumlah mereka yang besar dan kesulitan untuk mengidentifikasi para pelaku. Ya, Jojo adalah seorang laki-laki dengan kekuatan fisik yang besar, secara ekonomi pun dia mumpuni, tapi di Istora Senayan ketika dia memiliki peran sebagai performer sekaligus atlet, dia memiliki kuasa yang lebih rendah dibandingkan para penonton dan pengguna media sosial.

Ketiga, kami merasa bahwa relasi kuasa adalah sebuah argumen yang dapat menjelaskan mengapa pelecehan seksual dapat terjadi, tapi bukan sebagai prasyarat terjadinya pelecehan seksual. Dalam kasus pelecehan seksual antara profesor perempuan dan mahasiswa misalnya, sang profesor dapat menjadi korban pelecehan seksual dari mahasiswa yang misoginis dan menganggap perempuan tidak pantas berada di akademia. Di sisi lain, kita juga dapat melihat kasus di mana profesor perempuan menggunakan kuasanya untuk menjalin relasi seksual dengan mahasiswa bimbingannya. Sehingga analisa relasi kuasa hendaknya digunakan untuk mempertanyakan kenapa pelecehan seksual bisa terjadi, bukannya menyangkal suatu tindakan sebagai pelecehan seksual ketika kita tak menemukan relasi kuasa yang timpang di situ.

Keempat, meskipun perempuan mengalami opresi struktural dari patriarki, kita juga harus mengakui bahwa bukan berarti perempuan, sebagai individu, selamanya tidak memiliki kuasa. Kuasa bukanlah hal yang konstan dimiliki oleh laki-laki (terutama mereka yang mampu secara fisik dan ekonomi), tapi hal yang cair dan bisa berpindah kepemilikan tergantung konteks . Dalam konteks umum, kami sangat setuju dengan analisa bahwa perempuan memiliki kuasa yang lebih rendah daripada laki-laki. Namun apabila kita mengakui bahwa perempuan memiliki agensi, kita juga harus mengakui bahwa perempuan juga dapat memilih untuk menjadi seorang pelaku opresi alih-alih melawan opresi yang dia alami ketika ia memiliki pilihan untuk melakukannya.

Kelima, kasus Jojo menunjukkan bahwa permasalahan komodifikasi tubuh juga dialami oleh laki-laki. Jojo banyak digandrungi dan di-catcall oleh perempuan (dan laki-laki gay) karena imaji tubuhnya yang memenuhi konsepsi patriarkis akan tubuh laki-laki maskulin yang ideal: tinggi, kuat, kekar, dengan alat kelamin menggantung strategis.Tubuhnya adalah sebuah standar produksi patriarki yang dikomodifikasikan dan menjadi sumber insekuritas bagi laki-laki. Sehingga logika objektifikasi tubuh yang kerap digunakan feminis untuk mengecam industri kecantikan juga seharusnya diterapkan ke laki-laki. Layaknya keinginan kita untuk menghancurkan kungkungan standar kecantikan patriarkis, kita juga harus menginginkan hal yang serupa ke standar tubuh ideal laki-laki.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, pendefinisian pelecehan seksual seharusnya hanya mengandung dua elemen utama, yaitu relasi seksual yang tidak diinginkan dan/atau sebuah ekspresi dan perilaku yang merendahkan martabat seseorang. Dari sini, kita baru dapat menganalisa latar belakang yang menciptakan pelecehan tersebut. Di sinilah Dworkin melihat adanya ketimpangan gender yang dialami lelaki dan perempuan. Di sini juga MacKinnon menemukan diskriminasi seksual yang kemudian dia konsepsikan sebagai hukum anti pelecehan seksual dan Title IX. Ketika perempuan melakukan pelecehan seksual, seharusnya kita menganalisa mengapa hal tersebut dapat terjadi, bukan menolak mengklasifikasikan perilaku tersebut sebagai pelecehan seksual. Tanpa melakukan ini, kita tidak dapat menganalisa institusi patriarki yang dinamis — bisa-bisa kita malah membiarkan patriarki mengooptasi gerakan feminisme itu sendiri.

Kami beranggapan bahwa apa yang terjadi terhadap Jojo adalah sebuah pelecehan seksual, atau paling tidak, tidak dapat dibenarkan. Apa yang dialami Jojo adalah perilaku seksual yang persetujuannya tidak didapatkan,bahkan sama sekali tidak diusahakan untuk didapatkan dari Jojo. Jojo memang kemudian mengatakan bahwa dia tidak memiliki masalah dengan sorakan yang dia dapatkan, tapi hal ini tidak menafikan kenyataan bahwa penonton tidak mendapatkan persetujuan Jojo, dan bahkan tidak berusaha mendapat persetujuan, ketika mereka menyoraki dan memposting komentar mereka di media sosial. Kami melihat ekspresi seksual di ruang publik yang dilakukan tanpa persetujuan dan jelas-jelas mengobjektifikasi sebagai perilaku yang merendahkan martabat dan dapat diklasifikasikan sebagai pelecehan seksual. Ekspresi objektifikasi adalah perilaku yang secara inheren merendahkan martabat seseorang, karena kita melihat orang lain hanya sebagai objek untuk hasrat seksual kita tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ada beberapa suara feminis yang menekankankan perbedaan objektifikasi dan pelecehan seksual yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Kami setuju bahwa objektifikasi dan pelecehan seksual terhadap perempuan cenderung jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan laki-laki karena ancamannya lebih nyata dan efeknya dialami oleh semua perempuan. Walaupun demikian, analisa makro ini tidak berarti efek pelecehan seksual di ranah individual pasti lebih berat untuk perempuan, apalagi hanya dapat terjadi pada perempuan. Menolak adanya korban laki-laki menafikan salah satu prinsip dan posisi etis feminisme yang mengecam victim blaming dan simpatik terhadap korban.

Pelecehan — apapun macamnya dan siapapun korbannya — adalah tindakan yang buruk karena telah melanggar hak serta martabat manusia. Pelecehan adalah keburukan yang melanggar nilai moral feminisme yang melihat bahwa manusia perlu diperlakukan dengan memandang kemanusiaannya secara penuh. Sehingga sebagai feminis sudah seharusnya kita secara konsisten mengutuk serta melawan hal tersebut — bukannya menyangkal atau mencari pembenaran.

Berangkat dari hal tersebut, mengidentifikasi perilaku yang didapatkan oleh Jojo sebagai pelecehan seksual merupakan langkah penting. Laki-laki juga mengalami pelecehan seksual dan banyak dari mereka berdiam diri selayaknya korban perempuan lainnya. Usaha melawan pelecehan seksual tidak akan optimal tanpa adanya pengakuan dan ruang aman bagi korban perempuan maupun laki-laki untuk maju dan pulih dari traumanya.

Lebih jauh lagi, kami merasa bahwa pembicaraan mengenai pelecehan seksual seharusnya bisa berbuat lebih dari sekedar mengidentifikasi mengenai apa yang tidak kita inginkan dalam relasi seksual, tapi juga apa yang kita inginkan dalam relasi seksual. Sebuah relasi seksual seharusnya dilakukan dengan rasa hormat yang mengakui kemanusiaan satu sama lain. Kita mengakui bahwa sebagai manusia kita memiliki kompleksitas, keinginan, dan harapan yang harus kita cari tahu dengan komunikasi yang sungguh-sungguh untuk mengerti satu sama lain. Itulah mengapa kita tidak menginginkan adanya ekspresi dan perilaku seksual yang tidak kita inginkan karena hal tersebut tidak memperlakukan kita sebagai manusia, tapi sebagai sub-human — sebuah obyek seks yang eksis hanya untuk kepuasan orang lain.

Diskusi tentang pelecehan seksual patutnya juga membicarakan tentang relasi seksual yang ideal. Apa yang kita inginkan dan dapatkan dari relasi seksual yang ideal? Dalam membayangkan hal ini, kita perlu mengakui bahwa consent adalah tingkat paling minimum dalam hubungan seksual. Walaupun secara subjektif seseorang setuju untuk menjalin suatu hubungan seksual, hubungan seksual tersebut tidak lantas menjadi sesuatu yang ideal. Sebagai feminis kita seharusnya turut menjunjung hubungan seksual yang ideal ini, hubungan di mana dua belah pihak berada di posisi setara dan memperlakukan satu sama lain dengan mengakui kemanusiaan yang dimiliki secara penuh. Sebuah hubungan di mana dominasi dan subordinasi menjadi tidak relevan, karena kita memandang dunia bersama-sama, bukan hanya tenggelam pada subyektifitas dan hasrat diri sendiri.

Di masa mendatang, perempuan mungkin akan dapat lebih bebas mengekspresikan dirinya, termasuk secara seksual, sebagai hasil dari kebebasan yang kita berhasil perjuangkan. Di saat itu jugalah kita juga harus dengan tegas mengkritik ekspresi yang kita lihat justru mereproduksi nilai patriarkis dan kontraproduktif dengan idealisme feminis kita (yang sebetulnya masih diperdebatkan sampai sekarang). Untuk melakukan hal ini, kami rasa langkah yang perlu kita lakukan saat ini adalah mengakui bahwa perempuan — meskipun secara struktural mengalami ketimpangan gender — dapat melakukan pelecehan seksual dan tindakan lain yang kita tolak sebagai feminis.

Charlie Sanjaya, dulu mahasiswa tua, sekarang sudah sarjana. Komplain dan saran dapat dikirim ke emailnya di charliesanjayalie@gmail.com

Ann Putri, mahasiswi tua Antropologi Budaya UGM. Melihat hidupnya lewat kacamata rupiah: kritis, krisis, dan pesimistis tapi mencoba optimis. Ikuti shitpostingnya di Twitter dan IG. Kritik dan saran bisa dikirimkan ke Twitter dan IG juga karena anaknya males main e-mail #EmailisforOldPipo #becanda.

Referensi:

Baidou, Alan dan Truong, Nicolas. 2012. In Praise of Love. New York: New Press. → tolong dibaca ini kitab sucinya Charlie.

Papadaki, Evangelia (Lina). 2018. Feminist Perspectives on Objectification dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2018 Edition), Edward N. Zalta (ed.).

Siegel, Reva B. 2003. A Short History of Sexual Harassment dalam Directions in Sexual Harassment Law, Catharine A. MacKinnon dan Reva B. Siegel (eds). Yale Press: Connecticut.

Yovia, Priscila dan Sijabat, Anastasia. 2018. Sikap Feminis terhadap Kasus Jojo: Sebuah Respon. Magdalene.com, 4 September 2018 → artikel buatan teman-teman kami, bagus untuk menambah pengetahuan.

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.