Yang Tersembunyi di Balik Konsepsi Marx: Untuk konsepsi kapitalisme yang diperluas

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
26 min readAug 12, 2018

Oleh Nancy Fraser

Diterjemahkan oleh Purnomo dari “Behind Marx’s Hidden Abode: For an expanded conception of capitalism” yang dimuat di New Left Review, 86, Mar Apr 2014, pp: 55–72

Ilustrasi Nancy Fraser dan Karl Marx oleh Amalia Nur Fitri

Kapitalisme menyerang kembali! Setelah berdekade-dekade dimana kita jarang menemukan terminologi itu di luar karya para pemikir Marxian, para komentator dari berbagai aliran sekarang secara terbuka mengkhawatirkan keberlanjutan kapitalisme, para sarjana dari macam-macam mazhab berebut untuk mensistematisasi kritisisme terhadap kapitalisme, dan para aktivis di berbagai belahan dunia melakukan mobilisasi untuk melawan praktik-praktik kapitalisme. Sangat jelas, kembalinya kapitalisme adalah sebuah proses pembentukan yang sedang menjadi, penanda yang sangat terang, kalau ada yang terlewat dalam analisa krisis yang sedang berlangsung, ia adalah kelangkaan analisis sistematis yang meresap. Semua percakapan tentang kapitalisme memperlihatkan gejala yang secara intuitif menunjukkan adanya masalah-masalah — finansial, ekonomi, ekologi, politik, sosial — di sekeliling kita yang dapat dilacak pada satu akar permasalahan yang sama; dan perubahan-perubahan yang gagal bertaut dengan fondasi dari krisis ini tampaknya memang sudah dikutuk untuk gagal. Sejalan dengan itu, terminologi pencerahan (dalam kapitalisme) menandakan keinginan di banyak kalangan untuk analisis yang dapat menjelaskan hubungan-hubungan di antara perjuangan-perjuangan sosial yang berbeda di zaman kita, sebuah analisis yang dapat menumbuhkan kerjasama yang lebih baik, kalau bukan persatuan penuh dari arus blok-blok perlawanan sistemik yang paling canggih dan progresif. Firasat bahwa kapitalisme mampu menyediakan kategori sentral untuk analisis seperti itu sudah terlihat.

Namun, ledakan yang terjadi tentang pembahasan kapitalisme masihlah retoris — lebih pada gejala keinginan akan kritik yang sistematis daripada kontribusi yang substantif. Hal ini tak lepas dari peran dekade-dekade amnesia yang telah menjadikan generasi para aktivis dan sarjana muda sebagai praktisi mumpuni dalam bidang analisis wacana, tetapi tidak terlibat dalam tradisi-tardisi Kapitalkritik. Hanya sekaranglah mereka mulai mempertanyakan bagaimana caranya kritik itu bisa dipraktikkan pada zaman ini untuk menjelaskan konjungtur yang ada. Para pendahulu mereka, para veteran era sebelumnya pada demam anti-kapitalisme yang mungkin saja telah menyiapkan beberapa panduan, terbebani dengan kebutaan mereka sendiri. Secara umum mereka telah gagal, terlepas dari adanya niat baik untuk menggabungkan sudut pandang dari feminisme, poskolonialisme, dan pemikiran ekologi secara sistematis dalam pemahaman mereka terhadap kapitalisme.

Hasilnya adalah, kita hidup dalam krisis kapitalisme dengan dampak yang amat sangat tanpa teori kritis yang sanggup secara cukup untuk menjelaskannya. Jelas, krisis hari ini tidaklah pas dengan model-model standar yang kita miliki: krisis ini multi-dimensi, melingkupi bukan hanya ekonomi formal, termasuk di dalamnya finansial, namun juga masalah ‘non-ekonomi’ seperti pemanasan global, ‘ketidakpekaan’ dan kekosongan kekuatan publik dalam semua skala. Namun, model-model krisis yang kita miliki cenderung pumpun pada aspek ekonomi, dengan bentuknya yang terisolasi dan dengan keistimewaan terhadap berbagai faktor lain. Tak kalah penting, krisis zaman ini menciptakan konfigurasi politik yang baru dan nahwu tentang konflik sosial. Pertarungan berebut alam, reproduksi sosial dan kekuatan publik sangat sentral dalam konsteasi ini, melibatkan berbagai sumbu ketimpangan, termasuk nasionalitas/ras-etnisitas, agama, seksualitas, dan kelas. Namun, dalam kondisi ini pula, model-model teoretis yang kita miliki/terima membuat kita gagal, karena mereka terus mengistimewakan perjuangan buruh pada titik produksi.

Dengan demikian, secara umum, kita kekurangan konsepsi tentang kapitalisme dan krisis kapitalistik yang mampu menjelaskan zaman kita ini. Tujuan saya dalam tulisan ini adalah untuk menyorongkan sebuah jalan yang bisa mengisi kebuntuan ini. Jalan ini melewati Karl Marx yang pemahamannya tentang kapitalisme saya sarankan kita tilik ulang dengan tujuan yang saya sebutkan itu. Pemikiran-pemikiran Marx memiliki banyak dimensi sebagai sumber konsep umum; dan secara mendasar, ia membukakan mata kita kepada permasalahan ini. Namun, ia gagal memperhitungkan secara sistematis gender, ekologi dan kekuasaan politik sebagai prinsip dan sumbu-sumbu yang menyusun ketimpangan dalam masyarakat kapitalistik — jangankan sebagai wadah dan solusi untuk perjuangan sosial. Jadi, inti-intinya perlu untuk direkonstruksi dari sudut pandang ini. Dalam tulisan ini, dengan demikian, strategi saya adalah dengan pertama-tama membahas Marx dan kemudian apa yang ada di belakangnya, dengan harapan dapat memberikan sedikit penerangan baru bagi pertanyaan lama: apa persisnya kapitalisme itu — bagaimana konsepsi kapitalisme yang paling baik? Apakah kita harus mengkonsepsikannya sebagai sistem ekonomi, sebentuk adab kehidupan, atau sebuah tatanan sosial yang terinstituisonalisasikan? Bagaimana kita mengkaraterisasikan tendensi krisis kapitalisme dan di mana kita bisa menemukannya?

Wajah-wajah pembeda kapitalisme

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya harus memulainya dengan menjelaskan kembali apa yang disebut Marx sebagai empat wajah utama kapitalisme. Jadi, pada tahap ini saya akan menjadi seorang ortodoks, namun saya akan men-”de-ortodoksi”-nya dengan menunjukkan bagaimana ia mengandaikan wajah-wajah yang lain, yang faktanya menjadi penyusun latar belakang, yang membuat mereka menjadi mungkin. Kalau Marx melihat apa yang ada di balik pertukaran dan apa yang tersembunyi dalam konsep produksi untuk menyingkap rahasia-rahasia kapitalisme, maka saya akan melihat ke bagaimana produksi kondisi yang membuat pertukaran menjadi mungkin, dalam sebuah ranah yang sampai sekarang masih belum terungkap. Bagi Marx, wajah pembeda pertama dari kapitalisme adalah kepemilikan pribadi alat-alat produksi, yang mengandaikan adanya kelas-kelas antara pemilik dan pekerja. Kelas-kelas ini muncul sebagai hasil dari runtuhnya dunia sebelumnya, betapapun berbedanya, memiliki akses terhadap alat subsisten dan alat-alat produksi; akses, dengan kata lain, terhadap pangan, papan, sandang, peralatan, tanah dan kerja, tanpa harus menjadi buruh. Kapitalisme secara pasti menjungkirbalikkannya. Kapitalisme mengubah milik umum menjadi milik pribadi, menghapus hak guna dari mayoritas dan mengubah sumberdaya bersama menjadi milik pribadi dari sekalangan orang.

Ini, secara langsung membawa kita pada wajah pembeda kapitalisme kedua yang disebut Marx, buruh yang terbebas di pasaran, karena mereka — dan ini adalah kelompok mayoritas — harus menempuh jalan yang ganjil agar dapat bekerja dan mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk melanjutkan hidup dan membesarkan anak-anaknya. Penting untuk ditekankan, betapa ganjilnya, betapa tak alamiahnya, betapa istimewa institusi pasar buruh bebas ini dalam kemelut sejarah. Buruh “bebas” di sini memiliki dua makna: pertama, dalam hal status legal — tidak diperbudak, diperas, atau memiliki kewajiban terikat pada tempat atau majikan tertentu — ia bebas untuk masuk ke dalam wilayah kontrak perburuhan. Namun, kedua, “bebas” juga berarti tidak memilik akses terhadap alat subsisten dan alat produksi, termasuk di dalamnya hak guna yang turun-temurun terhadap tanah dan peralatan — dan dengan demikian ia kehilangan sumberdaya dan kepemilikan yang bisa menjaga seseorang untuk tidak masuk ke pasar buruh.

Wajah pembeda ketiga adalah nilai yang mengembang dengan sendirinya. Ini aneh. Kapitalisme ganjil karena memiliki tujuan dan dorongan atau arah yang sistematik: yaitu, akumulasi kapital. Pada prinsipnya, sejalan dengan itu, semua yang dilakukan para pemilik sebagai kapitalis ditujukan untuk menggemukkan kapital mereka. Seperti halnya para produser, mereka juga berada dalam tekanan sistematis yang tak kalah aneh. “Usaha setiap orang untuk memenuhi kebutuhan mereka dilakukan secara tidak langsung sebagai efek samping dari hal lain yang diasumsikan lebih penting, yaitu kehendak kapital untuk terus berkembang tanpa henti. Marx sangatlah canggih dalam menganalisis ini. Dalam sebuah masyarakat kapitalistik, demikian Marx, kapital itu sendiri menjadi Subyek. Manusia adalah bidak dari kapital, terkerdilkan menjadi sekadar bagaimana mereka bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari celah-celah yang ada, dengan cara memuaskan kebuasan mereka.

Wajah pembeda keempat dari kapitalisme adalah peran pasar dalam masyarakat kapitalistik. Pasar sudah ada setua sejarah manusia itu sendiri, termasuk dalam masyarakat non-kapitalistik. Namun, fungsi pasar dalam kapitalisme berbeda karena dua karakter. Pertama, dalam masyarakat kapitalistik pasar berfungsi untuk mengalokasikan sebagian besar pemasukan ke sektor produksi. Pemasukan-pemasukan ini, yang dipahami oleh ekonomi politik borjuis sebagai ‘faktor-faktor produksi’, pada awalnya berupa tanah, buruh, dan kapital. Selain menggunakan pasar untuk mengalokasikan buruh, kapitalisme juga menggunakannya untuk mengalokasikan real estate, barang-barang kapital, bahan mentah, dan kredit. Ketika kapitalisme mengalokasikan pemasukan-pemasukan produktif ini melalui cara kerja pasar, kapitalisme mengubah mereka menjadi komoditas. Piero Sraffa menyebutkannya sebagai sebuah sistem yang “memproduksi komoditas dengan komoditas,” meski ia adalah sebuah proses yang, seperti yang akan kita lihat, bertumpu pada non-komoditas yang menjadi latar belakang.[1]

Namun, ada juga peran kunci yang dimainkan oleh pasar dalam masyarakat kapitalistik: pasar menentukan bagaimana surplus dalam masyarakat akan diinvestasikan kembali. Bagi Marx surplus adalah dana kolektif dari energi sosial yang melebihi yang dibutuhkan untuk mereproduksi sebentuk kehidupan dan untuk mengganti apa yang telah digunakan dalam rangka menghidupi kehidupan itu. Bagaimana satu masyarakat menggunakan kapasitas surplusnya sangatlah penting, ini memunculkan permasalahan mendasar tentang hidup seperti apa yang diinginkan orang — apa yang mereka pilih untuk menjadi investasi energi-energi kolektifnya, apa yang mereka idamkan tentang kesetimbangan antara ‘kerja produktif’ jika dibandingkan dengan kehidupan keluarga, waktu senggang dan aktivitas-aktivitas lain — serta hubungan seperti apa yang mereka idamkan dengan alam dan apa yang ingin mereka tinggalkan bagi generasi berikutnya. Masyarakat kapitalistik cenderung menyerahkan keputusan-keputusan itu pada kekuatan pasar. Barangkali, inilah ciri mereka yang paling penting dan jelek — menyerahkan pengurusan hal-hal penting kepada aparatus yang hanya mementingkan nilai yang termonetisasi. Ini sangat erat hubungannya dengan wajah pembeda kapitalisme yang ketiga, proses mengembang-sendiri namun nir-arah, yang ada dalam kapitalisme, yang dengan itulah ia menyusun dirinya sendiri sebagai subyek dari sejarah, menggeser manusia yang telah menciptakannya dan mengubah manusia menjadi pembantunya.

Dengan menekankan kedua fungsi pasar ini, saya bermaksud untuk melawan pandangan yang sudah sangat umum diterima begitu saja bahwa kapitalisme mendorong komodifikasi yang terus meningkat. Pandangan itu membawa kita ke kebuntuan, saya rasa, ke sebuah fantasi distopia (kehancuran mimpi-mimpi) tentang sebuah dunia yang terkomodifikasi secara menyeluruh. Cara pandang seperti itu bukan hanya mengabaikan aspek pembebasan dari pasar, namun juga mengabaikan fakta-fakta, seperti yang ditekankan oleh Immanuel Wallerstein, bahwa kapitalisme seringkali beroperasi dengan menggunakan rumah tangga yang mengalami ‘semi-proletarianisasi’. Dalam tatanan yang memungkinkan seorang pemilik membayar pekerja lebih sedikit, banyak dari keluarga-keluarga pekerja yang mendapatkan biaya untuk keberlanjutan hidup mereka dari luar skema gaji, termasuk di dalamnya adalah dengan cara memproduksi sendiri (berkebun, menyulam), hubungan timbal balik informal (bantuan yang saling menguntungkan, pertukaran barang).[2] Transaksi-transaksi seperti itu menyisakan bagian yang cukup berarti dari aktivitas dan barang yang berada di luar pasar. Mereka bukanlah sisa-sisa dari era pra-kapitalis; bukan juga dalam rangka sedang menuju kepunahan. Mereka adalah bagian dari Fordisme, yang telah mampu menciptakan konsumerisme di kalangan kelas buruh di negeri-negeri pusat melalui keluarga yang mengalami semi-proletarianisasi yang mengkombinasikan pekerja laki-laki dengan pekerja domestik perempuan, serta dengan cara menghalangi konsumsi komoditas di pinggiran. Semi-proletarianisasi bahkan semakin menggila di era neoliberalisme, yang telah membangun tatanan akumulasi dengan cara menyingkirkan miliaran orang dari ekonomi resmi (official) ke wilayah abu-abu informal, yang darinya kapital menghisap nilai. Seperti yang akan kita lihat, sebentuk ‘akumulasi awal-mula’ ini adalah proses yang sedang berlangsung, menguntungkan kapital, dan dimana ia sebenarnya mengakar.

Intinya adalah, bahwa aspek yang sudah terpasarkan (marketized) dari masyarakat kapitalistik bersisian dengan aspek yang belum terpasarkan (non-marketized). Ini bukanlah sebuah kebetulan atau kemungkinan empiris, namun sebuah fitur pada DNA kapitalisme. Saya rasa, koeksisten (kebersisian) adalah sebuah istilah yang terlalu lemah untuk menjelaskan hubungan antara aspek-aspek yang terpasarkan dan yang tak-terpasarkan dalam masyarakat kapitalistik. Istilah yang lebih pas adalah “lapisan yang saling mengisi-fungsi” atau lebih pas lagi namun lebih sederhana adalah “ketergantungan”.[3] Eksistensi pasar tergantung pada relasi sosial yang belum terpasarkan, yang menyediakan “latarbelakang” bagi kondisi yang memungkinkan untuk pasar.

Kondisi-kondisi latar belakang

Sejauh ini saya telah menjelaskan definisi kapitalisme yang cukup ortodoks, berdasarkan empat wajah pembedanya yang kelihatannya ekonomistik. Secara efektif saya telah mengikuti Marx dalam upaya untuk melihat secara berbeda dengan awam, yang fokus pada pertukaran pasar, ke perihal yang tersembunyi dalam produksi. Namun, sekarang saya ingin melihat lebih jauh lagi di balik hal yang tersembunyi itu, apakah masih ada yang masih tersembunyi. Pendapat saya adalah, teori Marx tentang produksi kapitalistik hanya masuk akal apabila kita mulai mengisi latar belakang yang memungkinkan bagi terjadinya proses produksi kapitalistik itu. Jadi, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang harus ada di balik wajah-wajah pembeda utama ini agar mereka menjadi mungkin terjadi? Marx sendiri memancangkan satu pertanyaan semacam ini menjelang akhir Volume I Capital pada bab yang disebut dengan “akumulasi awal mula atau primitif”.[4] Darimana kapital datang, demikian ia bertanya — bagaimana harta pribadi dalam alat produksi muncul, dan bagaimana para produser terpisah dari mereka? Pada bab-bab sebelumnya, Marx menelanjangi logika ekonomi kapitalisme dalam abstraksinya dari latar belakang yang membuat ia menjadi mungkin, yang secara sederhana diasumsikan sebagai sesuatu yang terberi. Namun ia berubah, bahwa ada sebuah cerita latarbelakang tentang darimana kapital berasal — sebuah cerita yang penuh kekerasan dalam perampasan dan pengambilalihan. Terlebih, David Harvey telah menambahkan bahwa cerita latarbelakang ini bukan hanya terjadi di masa lalu, pada mulajadi kapitalisme.[5] Perampasan adalah sebuah proses yang sedang berlangsung, meski tidak secara “resmi,” mekanisme akumulasi menerus secara bersamaan dengan mekanisme “resmi” penghisapan — cerita “latardepan” Marx, kira-kira demikian.

Pergerakan ini, dari latarbelakang tentang eksploitasi ke cerita latarbelakang tentang perampasan, menjadi sebuah pergesaran epistemik yang lumayan besar, menggeser semua pendahulunya yang telah bergerak dengan penerangan yang berbeda. Ini bisa disepadankan dengan pergerakan yang dilakukan oleh Marx sebelumnya, pada bagian awal Volume I, ketika ia mengundang kita untuk meninggalkan pasar pertukaran, dan juga cara pandang awam borjuis yang berasosiasi dengannya, untuk dapat memahami proses produksi yang tersembunyi, yang jelas membutuhkan satu cara pandang yang lebih kritis. Sebagai hasil dari pergerakan pertama ini, kita menyingkap sebuah rahasia yang kotor: akumulasi terjadi dengan cara eksploitasi. Kapital mengembang, dengan kata lain, bukanlah melalui pertukaran yang setara, seperti yang digaungkan oleh cara pandang pasar, namun persis dengan cara yang sebaliknya: dengan cara adanya porsi waktu-kerja buruh yang tidak dikompensasi. Sebangun, ketika kita bergerak pada akhir volume dari eksploitasi ke perampasan, kita menemukan rahasia yang lebih kotor: di balik pemaksaan yang dihaluskan terhadap buruh bayaran terjadi kekerasan terbuka dan pencurian yang terang-terangan. Dengan kata lain, elaborasi panjang logika ekonomi kapitalistik, yang menyusun hampir semua bagian dari Volume I, bukanlah akhir dari cerita. Itu diikuti dengan pergerakan ke cara pandang yang lain, cara pandang perampasan. Pergerakan menuju penyingkapan yang tersembunyi juga adalah sebuah pegerakan kesejarahan — dan ini yang telah saya sebut sebagai kondisi latarbelakang yang memungkinkan eksploitasi terjadi.

Namun, sangatlah bisa dibuktikan, bahwa ada pergeseran epistemik yang lain yang menjadi konsekuensi dari analisis Marx terhadap kapitalisme tapi tidak dikembangkan oleh Marx. Pergerakan ini, menuju sesuatu yang bahkan lebih tersembunyi lagi, masihlah membutuhkan konseptualisasi. Dia perlu dituliskan dalam volume-volume baru Capital, jika Anda senang dengan itu, apabila kita hendak membangun sebuah pemahaman tentang kapitalisme di abad ke-21. Satu diantaranya adalah pergerakan epsitemik dari produksi ke reproduksi sosial — bentuk dari pelayanan, perawatan dan kesalinghubungan yang membentuk dan merawat jalinan sosial. Dia disebut dengan beragam istilah, misalnya “merawat,” “buruh afeksi,” atau “subyektivasi,” aktivitas ini membentuk manusia subyek kapitalisme, menjaga mereka sebagai mahluk alam yang menubuh, sambil pada saat yang bersamaan juga menyusun manusia sebagai mahluk sosial, membentuk habitus dan substansi sosio-etis mereka, atau Sittlichkeit¸dimana manusia bergerak. Yang sangat penting di sini adalah pekerjaan untuk memperkenalkan para generasi muda, membangun komunitas, memproduksi dan mereproduksi makna yang menjadi milik bersama, watak afektif dan horizon-horizon nilai yang membentuk kerjasama sosial. Dalam masyarakat kapitalistik, sebagian besar, meski tidak semua, dari pekerjaan ini berjalan di luar pasar, di rumah-rumah, di dalam pertetanggaan dan di dalam institusi-institusi publik, termasuk di dalamnya sekolah dan tempat penitipan anak; dan sebagian besar dari pekerjaan itu semua, meski tidak semuanya, tidaklah berbentuk buruh upahan. Namun aktivitas reproduksi sosial sangatlah penting bagi keberadaan buruh upahan, akumulasi kapital dan berfungsinya kapitalisme. Buruh upahan tidak mungkin ada kalau tidak ada yang bekerja di rumah, membesarkan anak, mendidik, dan merawat secara afektif dan menjadi pegiat berbagai aktivitas yang membantu memproduksi generasi buruh baru yang akan menggantikan generasi yang ada, serta untuk menjaga ikatan sosial dan pemahaman bersama. Seperti halnya ‘akumulasi awalmula’, reproduksi sosial adalah bagian tak tergantikan dari latar belakang kondisi yang memungkinkan terjadinya produksi kapitalistik.

Terlebih-lebih, secara struktural pembagian antara reproduksi sosial dan produksi komoditas sangatlah penting dalam kapitalisme — bahkan ia adalah artefak dari kapitalisme. Seperti yang sudah ditekankan oleh banyak teoritikus feminis, pembagiannya sangatlah bernuansa gender, dengan reproduksi diasosiasikan dengan perempuan dan produksi diasosiasikan dengan laki-laki. Secara kesejarahan, pembelahan antara buruh-berbayar ‘produktif’ dengan buruh-tak-berbayar reproduktif telah membentuk subordinasi perempuan dalam kapitalisme modern. Seperti halnya pembelahan pemilik dan buruh, ini juga berdasarkan pada perpecahan pada kondisi sebelumnya. Dalam kasus ini, yang hancur dari kondisi atau dunia sebelumnya adalah bagaimana kerja perempuan, yang meskipun dibedakan dari kerja laki-laki, namun ia terlihat dan diakui secara publik, sebagai bagian tak terpisahkan dari unversum sosial. Sebaliknya, dalam kapitalisme, buruh reproduksi tertinggal, ia terdegradasi, menjadi ruang ‘private,’ dimana makna sosialnya dikaburkan. Dan dalam dunia baru ini, dimana uang adalah medium utama dari kekuasaan, fakta bahwa pekerjaan-pekerjaan itu tidak dibayar membungkus kondisi ini: mereka yang melakukan pekerjaan ini tersubordinasi oleh mereka yang bergaji, meskipun pekerjaan mereka yang tak berbayar sangatlah penting bagi prakondisi para buruh berbayar.

Dengan demikian, pembagian antara produksi dan reproduksi bukanlah sesuatu yang universal, ia secara historis muncul bersamaan dengan kapitalisme. Namun ia tidaklah muncul sekali jadi. Sebaliknya, pembagian ini berubah seiring zaman, mengambil berbagai bentuk dalam tahapan yang berbeda pada pembangunan kapitalisme. Selama abad ke-20, berbagai aspek dari reproduksi sosial telah diubah menjadi pelayanan dan barang publik, dide-privatisasi namun tidak dikomodifikasi. Hari-hari ini, pembagian ini lagi-lagi mengalami perubahan, karena neoliberalimse melakukan (re)privatisasi dan (re)komodifikasi beberapa aspek dari pelayanan ini, sembari juga untuk pertama kalinya mengkomodifikasi aspek-aspek yang lain dari reproduksi sosial. Hal ini terjadi dengan meminta penghematan jaminan publik dan pada saat yang bersamaan secara masif merekrut perempuan menjadi buruh murah, dan terlebih lagi, memetakan ulang batas-batas institusional yang sebelumnya memisahkan produksi komoditas dari reproduksi sosial, dan dengan demikian, pada prosesnya merekonfigurasikan tatanan gender. Sama pentingnya, dengan memasang halangan yang besar pada reproduksi sosial, hal ini mengubah kondisi latarbelakang bagi akumulasi kapital menjadi titik berangkat krisis kapitalistik.

Alam dan Kuasa

Namun, kita harus mempertimbangkan dua pergeseran epistemis yang tak kalah penting, yang mengarahkan kita pada bagian yang tersembunyi. Yang pertama sangat mendalam tertancap pada kerja para pemikir eko-sosialis, yang sekarang sedang menggarap cerita latarbelakang yang lain tentang bagaimana kapitalisme menjadi “penumpang gelap” terhadap alam. Cerita ini tentang bagaimana kapital mencaplok — atau Landnahme — alam, baik sebagai sumber ‘bahan masukan’ untuk produksi maupun sebagai ‘tempat buangan’ untuk menyerap sampahnya. Alam di sini dibikin menjadi sumber daya bagi kapital, dengan nilai yang diandaikan dan diabaikan. Diperlakukan sebagai hal yang gratis dalam perhitungan kapital, alam dirampas tanpa kompensasi atau penggantian dan secara implisit diasumsikan tak terbatas. Jadi, kapasitas alam untuk mendukung kehidupan dan meregenerasi dirinya sendiri menjadi penyusun dari latar belakang yang lain yang membentuk kondisi yang memungkinkan bagi produksi komoditas dan akumulasi kapital.

Secara struktural kapitalisme mangasumsikan — bahkan melahirkan — pembagian yang tajam antara kondisi alamiah yang dikonsep sebagai sumber gratis yang tak terbatas dari bahan mentah yang siap dirampas, dan kondisi ekonomi yang dikonsep sebagai ruang nilai, yang diproduksi oleh dan untuk manusia. Beriringan dengan pembagian ini terjadilah pula pengerasan dari pembagian yang sudah ada sebelumnya antara manusia yang dilihat sebagai sesuatu yang spritual, sosio-kultural dan historis, dengan alam nonmanusia yang dilihat sebagai material, terberi secara obyektif dan tidak memiliki kesejarahan sebagaimana manusia. Penajaman pembedaan ini bercokol pada pecahnya dunia sebelumnya, dimana ritme kehidupan sosial dalam beberapa bentuk telah diadaptasikan ke dalam alam nonmanusia. Secara brutal kapitalisme memisahkan manusia dengan alam, ritme musimannya, dan memasukkan mereka ke dalam pabrik industrial yang dihidupi oleh energi fosil, dikendalikan oleh pertanian yang berorientasi profit, dan disatukan oleh pupuk kimia. Dengan memperkenalkan apa yang telah disebut oleh Marx sebagai “epistemologi yang terbelah,” (metabolic rift) kapitalisme melahirkan apa yang sekarang disebut sebagai Antroposen, sebuah era geologi yang sama sekali baru dimana aktivitas manusia memiliki dampak yang nyata terhadap ekosistem Bumi dan atmosfer.[6]

Muncul bersamaan dengan kapitalisme, pembagian ini juga sudah mengalami perubahan sepanjang pembangunan kapitalistik. Fase neoliberal sekarang ini telah melahirkan putaran baru perampasan — contoh: komodifikasi air — yang pada hakikatnya membawa ‘lebih banyak bagian dari alam’ (sebut saja begitu dulu) ke lini depan ekonomi. Pada saat yang bersamaan neoliberalisme menjanjikan pengaburan batas alam/manusia — tonggaknya misalnya adalah teknologi reproduksi dan apa yang disebut oleh Donna Haraway sebagai ‘cyborgs’.[7] Sangat jauh dari menawarkan sebuah ‘rekonsiliasi’ dengan alam, pembangunan-pembangunan ini malah memperkuat komodifikasi-cum-aneksasi kapitalisme terhadapnya. Tidak seperti perampasan lahan yang ditulis oleh Marx dan Polanyi yang hanya memasarkan fenomena alam yang telah ada, perampasan yang baru masuk sangat dalam ke inti alam, mengubah kondisi susunan-bahasa internal alam itu. Pada akhirnya, neoliberalisme adalah paham lingkungan yang komersial — buktinya adalah ramainya perdagangan dalam izin dan pengurangan karbon dan berbagai lingkungan turunan, yang menarik kapital dari investasi jangka panjang, skala besar, Untuk mengubah bentuk kehidupan tidak berkelanjutan yang berdasarkan kepada bahan bakar fosil. Dengan latar belakang pemanasan global, serangan terhadap apa yang masih menjadi milik bersama (ruang ekologis bersama) mengubah kondisi alamiah akumulasi kapital menjadi sebuah pusat krisis kapitalistik.

Akhirnya, mari kita pikirkan satu pergeseran pengetahuan yang tak kalah penting, yang menunjukkan terbentuknya kondisi politis yang memungkinkan bagi kapitalisme — kebersandarannya pada kekuatan-kekuatan publik untuk menciptakan dan menegakkan norma-norma yang menyusunnya. Kapitalisme tidaklah mungkin dibentuk tanpa kerangka legal yang mendukung para pengusaha dan pertukaran pasar. Cerita latar depan kapitalisme sangatlah tergantung pada kekuasaan-kekuasan publik untuk menjamin hak-hak milik, memaksakan kontrak-kontrak, mengadili perselisihan, menumpas pembangkang yang anti-kapitalis dan menjaga, dalam ungkapan Konstitusi AS, ‘kesetiaan penuh kepada, dan kredit’ pasokan uang yang membentuk darah kapitalisme. Dalam sejarahnya, kekuasaan-kekuasaan publik yang sedang didiskusikan ini biasanya bersarang dalam negara teritorial, termasuk yang beroperasi dalam bentuk kekuatan penjajahan. Sistem-sistem legal negara seperti itulah yang memapankan tatanan area yang tampak seperti didepolitisasi dimana di dalamnya aktor-aktor kapitalis dapat memperoleh kepentingan ekonomi mereka, terbebas dari gangguan politik yang terbuka, di satu sisi, dan dari kewajiban patronase yang diwarisi secara turun-temurun, di sisi yang lain. Sama dengan itu, adalah negara teritorial yang memobilisasi kekuatan yang dilegitimasi untuk menghancurkan perlawanan terhadap perampasan yang melanggengkan relasi kepemilikan kapitalistik. Pada akhirnya, negara seperti itulah yang menasionalisasi dan menjamin uang.[8] Secara kesejarahan, dengan demikian, kita dapat menyebutkan bahwa negara adalah bagian dari ekonomi kapitalistik.

Di sini kita berhadapan dengan satu pembagian utama yang membentuk masyarakat kapitalistik: antara polity (negara) dan ekonomi. Dengan pembagian ini dari kekuatan partikelir (private) muncul pembedaan institusional dalam ranah publik, dari pemaksaan ekonomi muncul pembagian pada ranah politik. Sama halnya dengan pembagian-pembagian utama yang telah kita diskusikan, yang satu ini juga muncul sebagai hasil dari runtuhnya tatanan dunia sebelumnya. Dalam kasus ini, apa yang dihancurkan adalah dunia sosial dimana kekuatan ekonomi dan politik secara sangat efektif telah digabungkan — contoh: dalam masyarakat feodal dimana kontrol terhadap buruh, tanah, dan kekuatan militer telah digabungkan dalam satu institusi kekuasaan dan perbudakan. Dalam masyarakat kapitalistik, sebagaimana yang telah sangat baik diperlihatkan oleh Ellen Wood, kekuatan ekonomi dan politik terbagi; masing-masing memiliki ruang, medium, dan modus operandi sendiri-sendiri.[9] Namun cerita latar depan kapitalisme juga memiliki kondisi politik yang memungkinkan pada level geopolotik. Yang menjadi penting di sini adalah organisasi dari ruang yang lebih besar, dimana negara teritorial berada. Ini adalah ruang dimana kapital bergerak cukup mudah, mengingat dorongannya untuk berekspansi. Namun kemampuannya untuk beroperasi menembus batas-batas tergantung pada hukum internasional, tatanan yang dibentuk pada Kekuatan-Kekuatan Raksasa dan rejim-rejim supranasional yang secara parsial mematikan (dengan cara yang bersahabat a la kapitalisme) ranah yang sangat sering dibayangkan sebagai sudah ada begitu saja. Pada sepanjang sejarahnya, cerita latardepan kapitalisme tergantung pada kapasitas militer dan organisasi suksesi pada kekuatan hegemonik global yang, seperti yang disampaikan oleh Giovanni Arrighi, telah bersiap untuk menciptakan akumulasi pada skala yang secara progresif berkembang dalam kerangka sistem multi-negara.[10]

Di sini kita menemukan pembagian struktural yang lebih jauh yang menjadi tulang punggung masyarakat kapitalis: pembagian ‘westphalian’ antara ‘domestik’ dengan ‘internasional,’ di satu sisi, dan pembagian imperialis antara pusat dan pinggiran, di sisi yang lain, dimana keduanya berdasarkan pada pembagian yang lebih fundamental antara ekonomi kapitalisme global yang diorganisasikan sebagai ‘sistem dunia’ dan politik dunia yang diorganisasikan dalam sistem internasional negara teritorial. Dewasa ini, pembagian-pembagian ini juga berubah, karena neoliberalisme menyikat kemampuan politik dimana kapital secara historis menyandarkan diri, baik itu pada tingkat negara maupun pada tingkat geopolitik. Sebagai hasil dari pengebirian ini, kondisi politik yang memungkinkan bagi kapitalisme, sekarang juga menjadi sumber dari krisis kapitalistik. Banyak yang bisa dijelaskan dalam ranah ini; namun poin utama dari argumen yang saya sampaikan seharusnya sudah jelas. Dalam menjelaskan pendapat awal saya soal kapitalisme, saya sudah memperlihatkan kondisi ekonomi kapitalisme, latardepan-nya, tergantung pada kondisi ‘non-ekonomi’. Sebuah sistem ekonomi yang diatur oleh kepemilikan privat, akumulasi nilai yang swa-berkembang, pasar buruh bebas dan pasokan-pasokan lain untuk produksi komoditas, dan juga dari alokasi surplus ke dalam pasar, pada dasarnya jadi mungkin dengan adanya tiga latarbelakang yang sangat penting, yang menyangkut reproduksi sosial, ekologi Bumi, dan kekuasaan politik. Jadi, untuk memahami kapitalisme, kita perlu menghubungkan latardepan dengan ketiga latarbelakang ini. Kita harus menghubungkan perspektif Marxian dengan perspektfi feminis, ekologi, dan teoretis-politis (negara-teoretis, kolonial/poskolonial dan transnasional).

Tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan

Binantang macam apakah kapitalisme itu, dalam pandangan ini? Gambaran yang saya paparkan di sini memiliki perbedaan penting dengan pemikiran tentang kapitalisme pada umumnya, yang cenderung menganggap kapitalisme sebagai sistem ekonomi. Memang, bisa saja pada awalnya terlihat bahwa inti yang kita identifikasi adalah ekonomi. Namun, penampakan itu salah. Salah satu kepelikan dari kapitalisme adalah ia memperlakukan aktivitasnya merombak (restructuring) hubungan sosial seolah-olah hubungan-hubungan sosial adalah perihal ekonomi. Namun, segera kita menyadari bahwa kita juga perlu mendiskusikan perihal kondisi latarbelakang non-ekonomi yang membuat sistem ekonomi itu mewujud. Wajah ini bukanlah ekonomi kapitalistik, namun masyarakat kapitalistik; dan kita simpulkan bahwa kondisi-kondisi latarbelakang itu tidaklah bisa dihilangkan, namun haruslah dikonseptualisasikan dan diteoretisasikan sebagai bagian dari pemahaman kita akan kapitalisme. Jadi, kapitalisme adalah sesuatu yang lebih luas dari ekonomi.

Begitu juga, gambaran yang sudah saya sampaikan berbeda dari wajah kapitalisme sebagai bentuk dari kehidupan etis yang dikonkretkan, dengan karakter berupa komodifikasi dan monetisasi yang merambah kemana-mana. Dalam pandangan itu, seperti yang dipaparkan oleh Lukács dalam tulisannya yang dipuja orang ‘Reification and the Consciousness of the Proletariat’, bentuk komoditas mengkoloni segala hal dalam hidup, menstempel semua fenomena seperti hukum, pengetahuan, moralitas, seni, dan kebudayaan.[11] Dalam pandangan saya, komodifikasi tidaklah universal dalam masyarakat. Sebaliknya, dimana ia hadir, ia tergantung pada eksistensi dari zona yang tidak dikomodifikasi. Zona sosial, ekologi, dan politik yang tidak dikomodifikasikan tidaklah serta-merta mengikuti logika komoditas, namun memiliki tatanan dan ontologi yang secara normatif berbeda. Contoh, praktik-praktik sosial yang berorientasi reproduksi (sebagai lawan dari produksi) cenderung menimbulkan kondisi ideal pengasuhan, tanggungjawab mutual, dan solidaritas, terlepas dari betapa hierarkies dan parokial yang mungkin saja timbul.[12] Demikian juga praktik-praktik yang berorientasi pada kenegaraan (polity), sebagai lawan dari ekonomi, seringkali mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi, otonomi publik, dan penentuan sendiri, betapapun terbatas dan elit-nya (exclusionary) ia. Pada akhirnya, praktik-praktik yang berasosiasi dengan kondisi-kondisi latar belakang kapitalisme dalam alam non-manusia cenderung menguatkan nilai-nilai itu sebagai penjagaan ekologi, tanpa dominasi terhadap alam dan keadilan antara generasi, betapapun romantis dan sektariannya ia. Tentu saja, tujuan saya bukanlah untuk mengidealisasikan perihal-perihal non-ekonomi ini namun untuk mengenali keragaman mereka dari nilai-nilai yang berasosiasi dengan latardepan kapitalisme: di atas semuanya, seperti, pertumbuhan, efisiensi, pertukaran setara, pilihan individu, kebebasan negatif, dan kemajuan meritokratis.

Keragaman menjadi pembeda dalam bagaimana kita mengkonseptualisasikan kapitalisme. Jauh dari ketunggalan logika pematerialan yang mencakup segala, masyarakat kapitalistik biasanya berbeda-beda, melampaui kemajemukan yang jelas berbeda namun mereka saling berhubungan secara ontologi sosial. Apa yang terjadi kalau ini runtuh, masihlah sesuatu yang belum diketahui. Namun struktur yang menopang mereka sudah jelas terlihat: topografi kapitalisme yang berbeda muncul dari hubungan-hubunan latardepan dan latarbelakang yang telah kita identifikasi. Jika kita ingin mengembangkan teori kritis tentang itu, kita harus mengganti cara pandang kita terhadap kapitalisme dari bentuk kematerialan dari kehidupan etis dengan cara pandang struktural yang lebih beragam.

Jika kapitalisme bukan sistem ekonomi atau bentuk kehidupan etis yang dimaterialkan, lantas apakah dia itu? Jawaban saya adalah, lebih bagus kalau ia dikonsepsikan sebagai tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan, setaraf dengan, misalnya, feodalisme. Memahami kapitalisme dengan cara ini menekankan pada pembagian-pembagian strukturalnya, terutama pemisahan-pemisahan struktural yang telah saya sebutkan. Yang menyusun kapitalisme, seperti yang telah kita diskusikan, adalah pemisahan institusional dari “produksi ekonomi” dari “reproduksi sosial”, sebuah pemisahan bias gender yang memperkuat jenis kapitalisme tertentu yang didominasi oleh laki-laki, meski ia juga melempangkan eksploitasi kapitalis terhadap buruh, melalui itu, dia mengukuhkan corak akumulasi yang pakem. Yang juga khas dari kapitalisme adalah pemisahan ‘ekonomi’ dari kepengurusan (polity), sebuah pemisahan yang menendang hal-hal yang dianggap sebagai ‘ekonomi’ dari agenda politis negara teritorial, sembari membebaskan kapital untuk berkelana di ranah tak bertuan transnasional dimana ia menjarah keuntungan dari tatanan yang hegemonik sambil menghindar dari kontrol politik. Yang juga penting bagi kapitalisme, “pada akhirnya, adalah pembagian ontologis, yang sebelumnya ada namun semakin ditekankan, antara latar belakang ‘alam’ (non-manusia) dengan latardepan (yang tampaknya non-natural) manusia.

Itulah sebabnya, mendiskusikan kapitalisme sebagai tatanan sosial yang terinstitusionalisasi, yang didasarkan pada pemisahan-pemisahan itu, pada dasarnya adalah untuk membuka jalan bagi pemahaman atas kapitalisme yang tidak terjadi begitu saja, tumpang tindihnya dengan penindasan berbasis gender, dominasi politis — baik nasional maupun transnasional, kolonial dan pasca-kolonial — dan kebangkrutan ekologi; dalam satu perjumpaan, tentu saja, dengan dinamika eksploitasi buruh yang dilakukannya yang juga adalah struktural dan tak terjadi begitu saja.

Namun, ini bukanlah untuk menyarankan bahwa pembagian-pembagian institusi kapitalisme begitu saja terberi dan untuk semua hal. Justru, seperti yang sudah kita lihat, persis pada dimana dan bagaimana masyarakat kapitalistik membuat batas historis yang berbeda antara produsksi dan reproduksi, ekonomi dan kepengaturan, manusia dan alam non-manusia yang secara historis bergantung dengan rezim akumulasi. Faktanya, kita dapat mengkonseptualisasikan kapitalisme kompetitif laissez-faire, kapitalisme yang dimonopoli negara dan kapitalisme neoliberal yang semakin mengglobal persis pada kerangka-kerangka ini: sebagai cara historis yang spesifik dalam membuat batasan antara ekonomi dari kepengaturan (polity), produksi dari reproduksi, dan manusia dari alam non-manusia.

Pertarungan-pertarungan pada batas

Yang juga peting, konfigurasi yang sebenarnya dari tatanan kapitalistik pada tempat dan waktu tertentu tergantung pada situasi politik — pada neraca kekuasaan sosial dan buah dari perjuangan sosial. Jauh dari terberi begitu saja, pembagian-pembagian institusional kapitalisme seringkali adalah pusat konflik, sebab para aktor melakukan mobilisasi untuk melawan atau mempertahankan batasan-batasan yang mapan yang memisahkan ekonomi dari kepengaturan, produksi dari reproduksi, manusia dari alam non-manusia. Sepanjang mereka bermaksud merelokasi proses-proses yang dikontestasikan pada peta institusional kapitalisme, subyek-subyek kapitalisme melakukannya dengan perspektif normatif yang berasosiasi dengan berbagai zona yang telah kita identifikasi. Kita dapat melihat hal ini pada apa yang sedang berlangsung. Sebagai contoh, beberapa perlawanan terhadap neoliberalisme mengambil ide dari nilai ideal perawatan, solidaritas dan kebertanggungjawaban, yang berasosiasi dengan reproduksi, dalam rangka melawan langkah komodifikasi pendidikan. Ide yang lain muncul yang berasosiasi dengan ekologi adalah penatagunaan alam dan keadilan antar generasi, yang menghalangi migrasi menuju energi terbarukan. Masih ada lagi, yaitu yang berasosiasi dengan kenegaraan, berupa pengidealan terhadap otonomi publik untuk melempangkan jalan bagi kontrol kapital internasional dan memperluas akuntabilitas demokrasi yang melampaui negara. Klaim-klaim tersebut, beriringan dengan klaim-klaim bantahan yang dipicunya, adalah bentuk-bentuk dari perlawanan sosial dalam masyarakat kapitalis — sama fundamentalnya dengan perjuangan kelas terhadap kontrol pada produksi komoditas dan distribusi nilai-lebih yang diistimewakan Marx. Perjuangan pada batas-batas ini, demikian saya menyebutnya, secara tajam membentuk struktur dari masyarakat kapitalistik.[13] Mereka berperan membentuk cara pandang kapitalisme sebagai tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan.

Fokus dalam perjuangan pada batas seharusnya mencegah terjadinya salah sasaran yang seperti terjadi pada cara pandang fungsionalis seperti yang sudah saya sampaikan. Memang, saya memulai dengan menjelaskan reproduksi, ekologi, dan kekuasaan politik sebagai kondisi latarbelakang bagi latardepan ekonomi kapitalisme, dengan menekankan keberfungsian mereka bagi produksi komoditas. Namun momen struktural ini belum secara utuh menangkap hubungan-hubungan latardepan-latarbelakang kapitalisme. Dia bersisian dengan momen lain yang sudah saya siratkan dimana mereka sama-sama berperan kunci dan sama-sama muncul dari penggolongan sosial, politik, dan ekologi sebagai gudang bagi normativitas bagi yang ‘non-ekonomi’. Meskipun tatanan ‘non-ekonomi’ ini membuat produksi komoditas menjadi mungkin, ini menghendaki satu kondisi dimana mereka tidak bisa disederhanakan hanya sekadar apa yang membuat fungsi itu bekerja. Ia lebih dari sekadar terhabiskan atau hanya sekadar tunduk pada dinamika akumulasi, masing-masing dari yang tersembunyi ini memiliki ontologi yang benar-benar berbeda dalam hal praksis sosial dan normatif idealnya.

Terlebih lagi, idealisme-idealisme ‘non-ekonomi’ ini mengandung kemungkinan politis yang penting. Terutama pada masa krisis, mereka bisa diubah untuk melawan praktis-praktis dari inti ekonomi yang berasosiasi dengan akumulasi kapital. Dalam masa-masa krisis, pembagian-pembagian struktural yang biasanya berfungsi untuk memecah berbagai kenormatifan yang ada dalam ruang institusi mereka cenderung akan melemah. Ketika pemisahan gagal, subyek-subyek kapitalisme — yang pada umumnya hidup di lebih dari satu ruang — akan mengalami konflik normatif. Ketimbang membawa ide dari ‘luar’, mereka mengambil ide dari normatifitas kapitalisme untuk mengkritiknya, memobilisasinya berlawanan dengan berbagai hal dan idealisme-idealisme yang beragam dan berdampingan secara tak mudah dalam tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan yang dibentuk dari pembagian latardepan-latarbelakang. Dengan begitu, cara pandang kapitalisme sebagai tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan membantu kita untuk memahami bagaimana mengkritik kapitalisme itu sangatlah mungkin dilakukan dengan mengambil logika dari dalam sistem kapitalisme itu sendiri.

Cara pandang ini juga membuka jalan untuk menunjukkan bahwa adalah salah untuk menganggap secara romantis bahwa masyarakat, negara, dan alam adalah di luar kapitalisme dan secara inheren mereka adalah lawan dari kapitalisme. Cara pandang romantis ini sekarang dipegang oleh lumayan banyak para pemikir anti-kapitalis dan aktivis kiri, termasuk di dalamnya feminis budaya, ekolog radikal, dan neo-anarkis, serta berbagai pendukung ekonomi plural, pasca-pertumbuhan, solidaritas, dan popular. Terlalu sering arus ini memperlakukan ‘perawatan’, ‘alam’, dan ‘aksi langsung’ atau ‘pembersamaan’ sebagai sesuatu yang secara tersirat adalah anti-kapitalis. Hasilnya, mereka mengabaikan fakta bahwa praksis-praksis kesukaan mereka bukan hanya menjadi titik lemah yang mengundang kritik, namun juga adalah bagian yang tak terpisahkan dari tatanan kapitalistik. Di sini argumentasi yang perlu adalah bahwa masyarakat, negara, dan alam muncul secara bersamaan dengan ekonomi dan terbangun secara simbiosis. Mereka pada dasarnya adalah liyan bagi ekonomi dan hanya terlengkapi dirinya dengan mengkontraskannya dengan ekonomi. Dengan demikian, reproduksi dan produksi adalah berpasangan, dimana keduanya saling mendefinisikan. Tidaklah masuk akal untuk memisahkan keduanya. Hal yang sama berlaku untuk negara/ekonomi dan alam/manusia. Sebagai bagian dari tatanan kapitalistik, tidak satupun dari hal yang ‘non-ekonomi’ ini yang bersifat eksternal dan dapat melahirkan satu bentuk kritik yang benar-benar murni dan radikal. Sebaliknya, proyek-proyek politik yang menuju apa yang mereka bayangkan sebagai di luar kapitalisme, pada umumnya berakhir dengan mendaur ulang streotipe-streotipe kapitalisme, misalnya dengan mendudukkan secara berlawanan keperawatan perempuan dengan agresi laki-laki, kooperasi yang bersifat spontan dengan kalkulasi ekonomi, keorganismean alam yang menyeluruh dengan individualisme antroposentrik. Pejuangan-perjuangan yang menjanjikan dalam oposisi-oposisi ini bukanlah untuk melawan, namun tanpa disadari untuk merefleksikan tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan dalam masyarakat kapitalistik.

Kontradiksi-kontradiksi

Mengikuti pemaparan ini, maka sebuah pendekatan yang memadai terhadap hubungan-hubungan latardepan-latarbelakang kapitalisme haruslah secara bersamaan terdiri dari tiga ide. Pertama, kondisi ‘non-ekonomi’ kapitalisme berfungsi menciptakan kondisi bagi ekonomi kapitalisme; kondisi ekonomi kapitalisme tergantung pada nilai dan masukan dari kondisi ‘non-ekonomi’. Kedua, ranah ‘non-ekonomi’ kapitalisme memiliki makna dan karakternya sendiri yang dalam kondisi tertentu menyediakan tenaga bagi perjuangan anti-kapitalisme. Namun, dan ini yang ketiga, ranah-ranah ini adalah bagian dari masyarakat kapitalistik, secara menyejarah terbentuk bersama secara tandem dengan ekonomi kapitalisme, dan ditandai dengan hubungan yang saling-mendukung.

Ada juga ide yang keempat yang kembali pada masalah krisis yang sudah saya mulai jelaskan sebelumnya. Hubungan-hubungan latardepan-latarbelakang kapitalisme memiliki potensi dari dalam sistem untuk menjadi sumber-sumber kegoncangan sosial kegoncangan sosial. Seperti yang sudah kita pahami, produksi kapitalistik tidaklah lestari, namun menumpang secara gratis pada reproduksi sosial, alam dan kekuasaan politik; namun arahnya yang selalu pada akumulasi tanpa akhir mengancam akan menggoyang kondisi-kondisi bagi terjadinya reproduksi-reproduksi ini. Dalam kasus kondisi ekologi, yang terpapar risiko adalah proses alam yang mendukung kehidupan dan menyediakan pasokan material bagi kebutuhan sosial. Dalam kasus reproduksi kondisi-kondisi sosialnya, yang terancam adalah proses-proses sosio-budaya yang memasok hubungan-hubungan solidaritas, sikap afeksi, dan pandangan nilai-nilai kerjasama sosial, sembari mempermak manusia yang memiliki keterampilan dan secara sosial bisa diambil, yaitu buruh. Dalam kasus kondisi politiknya, yang terkompromikan adalah kekuasaan publik, baik nasional maupun transnasional, yang menjamin hak kepemilikan, memaksakan kontrak, dan memutuskan sengketa, menumpas perlawanan yang anti-kapitalis dan menjaga pasokan uang.

Inilah, yang kalau dalam bahasa Marx, tiga ‘kontradiksi dalam kapitalisme’, ekologi, sosial, dan politik yang berhubungan dengan tiga tendensi krisis. Namun, tidak seperti tendensi krisis yang dijelaskan Marx, hal-hal ini tidaklah muncul dari kontradiksi internal dalam ekonomi kapitalistik. Mereka membumi, dalam hubungan yang kontradiktif dengan sistem ekonomi dan kondisi-kondisi latarbelakang yang memungkinkannya — antara ekonomi dengan masyarakat, ekonomi dengan alam, dan ekonomi dengan negara (polity).[14] Dampaknya, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, adalah membangkitkan perjuangan sosial yang lebih beragam dalam masyarakat kapitalistik: bukan hanya perjuangan kelas dalam ranah produksi, namun juga perjuangan-perjuangan pada batas ekologi, reproduksi sosial dan kekuasaan politik. Tanggapan terhadap tendensi-tendensi krisis ada di dalam masyarakat kapitalistik, perjuangan-perjuangan itu endemik di dalam cara pandang yang diperluas terhadap kapitalisme sebagai tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan.

Kritik kapitalisme seperti apa yang muncul dari konsepsi seperti yang dijelaskan di sini? Cara pandang kapitalisme sebagai tatanan sosial yang terinstitusionalisasikan membuka jalan bagi permenungan kritis yang beragam, sama halnya seperti yang sudah dibangun oleh Marx dalam Capital. Dalam pembacaan saya, dalam karya Marx berjejalin sistem-sistem kritik terhadap tendensi krisis (ekonomi) kapitalisme, kritik normatif terhadap dominasi (kelas) yang ada di dalamnya, dan kritik politik menuju potensi perubahan sosial yang membebaskan yang berada di dalam karakter perjuangan (kelas). Cara pandang yang telah saya sampaikan mengandung kesamaan dalam lamparan kritik-kritik yang mungkin, namun keberjalinan di sini lebih kompleks, sebab setiap alur kritik memiliki kondisi internal yang beragam pula. Kritik krisis yang sistemik memasukkan di dalamnya bukan hanya kontradiksi-kontradiksi ekonomi seperti yang didiskusikan oleh Marx, namun juga kontradiksi multi-ranah yang didiskusikan dalam tulisan ini, yang menggoyang kondisi latarbelakang yang dibutuhkan untuk akumulasi kapital dengan cara mengancam reproduksi sosial, ekologi, dan kekuasaan politik. Jadi, kritik terhadap dominasi yang dibahas ini bukan hanya terbatas pada kritik terhadap hubungan dominasi kelas yang dianalisis Marx, namun juga dominasi gender, dominasi politik, dan dominasi terhadap alam. Pada akhirnya, kritik politik melampaui berbagai rangkaian aktor — kelas, gender, status kelompok, bangsa-bangsa, demoi (masyarakat), bahkan mungkin spesies — dan vektor perjuangan: bukan hanya perjuangan kelas, namun juga perjuangan-perjuangan di batas, terhadap pemisahan masyarakat, negara, dan alam dari ekonomi.

Apa yang bisa dianggap sebagai perjuangan anti-kapitalisme jauh lebih besar dari yang secara tradisional dianggap oleh para Marxist. Begitu kita melihat apa yang ada di belakang latar depan, yaitu latar belakang, maka semua kondisi-kondisi yang sangat diperlukan dalam eksploitasi buruh menjadi ranah konflik dalam masyarakat kapitalistik. Bukan hanya perjuangan antara buruh dan kapital pada titik produksi, namun juga perjuangan-perjuangan batas dalam dominasi gender, ekologi, imperialisme, dan demokrasi. Tak kalah penting: hal terakhir ini muncul dalam bentuk yang lain: sebagai perjuangan di dalam, pada, dan dalam beberapa kasus, melawan kapitalisme itu sendiri. Tatkala mereka memahami dirinya dalam kerangka ini, maka perjuangan-perjuangan ini akan mungkin terkonsep dalam kerjasama atau persatuan

Catatan Kaki:

[1] Pierro Sraffa, Production of Commodities by Means of Commodities: Prelude to a Critique of Economic Theory, Cambridge 1960.

[2] Immanuel Wallerstein, Historical Capitalism, London 1983, p. 39.

[3] Karl Polanyi, The Great Transformation, New York 2002; Nancy Fraser, ‘Can Society Be Commodities All the Way Down?’, Economy and Society, vol. 43, 2014.

[4] Karl Marx, Capital, vol. I, London 1976, pp. 873–82.

[5] David Harvey, The New Imperialism, Oxford 2003, pp. 137–82

[6] Karl Marx, Capital Vol. III, New York 1981, pp. 940–50; John Bellamy Foster, ‘Marx’s Theory of Metabolic Rift: Classical Foundations of Environmental Sociology’, American Journal of Sociology, vo. 105. no. 2, September 1996

[7] Donna Haraway, ‘A Cyborg Manifesto: Science, Technology and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century’, in Social Review 80, 1985.

[8] Geoffrey Ingham, The Nature of Money, Cambridge 2004; David Graeber, Debt: The First 5,000 Years, New York 2011.

[9] Ellen Meksins Wood, Empire of Capital, London and New York 2003.

[10] Giovanni Arrighi, The Long Twentieth Century: Money, Power and the Origins of Our Times, London and New York 1994.

[11] George Lukács, History and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialectics, London 1971.

[12] Sara Ruddick, Maternal Thinking: Towards a Politics of Peace, London 1990; Joan Trento, Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethich of Care, New York 1993.

[13] Nancy Fraser, ‘Struggle over Needs: Outline of Socialist-Feminist Critical Theory of Late-Capitalist Political Culture’, in Fraser, Unruly Practices: Power, Discourse and Gender in Contemporary Social Theory, Minneapolis and London 1989.

[14] Lihat juga James O’Connor, ‘Capitalism, Nature, Socialism: A Theoretical Introduction’, Capitalism, Nature, Socialism, vol. I, no. I, 1988, pp. 1–22.

Purnomo Purwanto, manusia biasa

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.