Kopi Terakhir

Jerry Hadiprojo
Mesin Tik
Published in
4 min readJan 21, 2016

Pagi ini, ada serangan bom lagi. Kok lagi? Ya karena tidak seperti hal yang lain, untuk urusan bom satu kali saja sudah terlalu banyak. Tidak cuma bom, serangan pagi ini juga disertai dengan baku tembak. Selama beberapa jam di pagi tadi, suasanya sangat mencekam.

Aku melihat semuanya. Aku melihat bagaimana kau, si bajingan, meledakkan bom pertama. Aku melihat bagaimana kau melepaskan tembakan pertama. Aku melihat bagaimana ajal menjemputmu dan teman-temanmu, satu per satu. Tragis, tapi mungkin memang itu yang kau mau. Kau tentu sudah tahu kalau kau tidak mungkin keluar dari peperangan ini hidup-hidup.

Ini membuatku jadi berpikir: apa yang terjadi dalam jam-jam terakhir hidupmu? Apakah kau menikmatinya? Atau justru kau ketakutan setengah mati? Entah kenapa, aku yakin kau menikmatinya.

Aku membiarkan imajinasiku mengambil alih untuk membuat sebuah cerita. Ini adalah hal yang sering kulakukan apabila sedang bosan. Bagaimanapun juga, tidak banyak hal yang bisa kulakukan di sini.

Jadi menurutku, begini ceritanya. Kau bangun tadi jam 6.30 pagi. Kau membeli bubur untuk istri dan anakmu.

Tunggu. Kau tidak mungkin punya istri dan anak. Baiklah.

Kau bangun tadi jam 6.30 pagi. Kau pergi ke tukang bubur langganan untuk membeli sarapan untuk dirimu. Seperti biasa, tanpa kacang, tanpa bawang. Extra cakwe dan tambahkan kecap di atas kerupuk. Oh, jangan lupa sambal yang banyak.

Kau duduk di bangku kayu panjang yang sudah lapuk, tempat favoritmu, menikmati bubur hangat. Bubur terakhirmu, kau pikir. Sayang sekali, tidak bisa menikmati bubur seenak ini lagi. Tidak apa, ada hal yang lebih baik, pikirmu lagi.

Kau menegak air hangat untuk membasuh sisa rasa bubur di mulut. Setelah membayar, kau mampir di warung kopi Bu Marni, memesan kopi. Hitam pekat, gula yang banyak. Bu Marni sudah hafal.

Kau tuang kopi di atas piring tatakan dan kau tiup pelan-pelan, sebelum akhirnya kau seruput. Rasa manis dan pahit mewarnai lidahmu. Bau wangi menusuk hidungmu. Kau menutup mata. Kau biarkan sensasi itu menggantung, meninggalkan bekas. Setelah puas, kau tegak habis kopi itu.

Kau hendak membayar, tapi uangmu besar sekali. Sepagi ini, Bu Marni belum punya kembalian. Dia bilang tidak usah bayar, tapi kau tidak mau. Kau memberikan uang besarmu kepadanya tanpa mengharapkan kembalian. Ia menolak dengan sangat, tapi uang itu kau selipkan di bawah tatakan piring ketika ia sedang tidak melihat.

Biasanya kau tidak akan melakukan itu. Biasanya kau akan menerima tawaran gratis dari Bu Marni. Tapi kali ini beda. Ke mana kau akan pergi, kau tidak akan membutuhkan uang itu. Malahan kau kasihan pada Bu Marni karena masih butuh hal-hal semacam itu.

Kau duduk di teras kontrakanmu, di atas tegel yang dulunya berwarna putih dan mulus. Kau duduk bersila, membiarkan matahari pagi menghangatkan wajahmu, seperti bayi yang sedang dijemur. Kau tetap begitu sampai lama sekali. Kau bukan bersemedi. Kau tidak percaya dengan semedi. Entah kenapa kau melakukannya, tapi kau tetap begitu sampai lama sekali.

Sampai Pak RT datang dan mengajakmu ngobrol. Lalu kau dan Pak RT ngobrol, ngalor-ngidul, mulai dari sepak bola tadi malam hingga ke pohon rambutan Bang Ramli yang sudah mulai berbuah. Setelah Pak RT pergi, kau melihat jam. Waktunya sudah hampir tiba. Kau menuju kamar mandi.

Kau mencukur kumis dan jenggotmu, supaya rapi dan bersih. Kau mandi lebih lama dari biasanya. Kau sabuni benar bagian-bagian tubuh yang selama ini hanya kena sabun sambil lalu. Lalu kau keramas. Kau selalu benci keramas. Kau tidak suka rasa rambut yang basah. Mengganggu, katamu. Tapi pagi ini beda. Keramas pagi ini menyegarkan.

Setelah mengeringkan badan, kau memilih baju terakhir yang akan kau kenakan. Kau tidak pernah sekalipun berpikir mengenai apa yang kau kenakan, tapi bila tiba saatnya di mana kau harus memikirkan hal tersebut, maka harinya adalah hari ini. Kau tidak punya terlalu banyak pilihan, maka kau hanya memilih kaos yang sekiranya terlihat paling bersih dan tidak bolong. Sebagai pasangannya, kau pilih celana jeans biru tua dan sepatu olahraga yang biasa kau pakai sehari-hari.

Sisa baju yang ada kau masukkan ke kantong plastik besar dan kau ikat rapat-rapat. Akan kau sumbangkan ini semua. Ke siapa, kau belum tahu. Inginnya kau berikan ke panti asuhan, tapi kau tidak ada waktu. Mungkin akan kau titipkan saja di masjid. Mereka pasti bisa memberikan ke yang membutuhkan. Atau mungkin kau akan tinggalkan saja di depan rumah dengan plastik sedikit terbuka. Baju-baju ini masih layak, pasti ada yang mau.

Setelah itu kau periksa tas punggung yang sudah kau siapkan tadi malam. Kau buka retsletingnya dan kau lihat isinya. Aman, semuanya masih ada di sana. Berarti kau siap berangkat.

Kau lihat lagi seisi kontrakanmu. Tidak akan ada yang kau rindukan dari ruangan kecil ini.

Lalu kau berangkat.

Kau bertemu dengan rekanmu di halte bus depan hotel, seperti yang sudah disetujui sebelumnya. Kau lebih awal 5 menit. Rekanmu terlambat 2 menit. Heran, padahal dia yang naik motor.

Kemudian terjadilah.

Aku melihat semuanya. Aku melihat bagaimana kau, si bajingan, meledakkan bom pertama. Aku melihat bagaimana kau melepaskan tembakan pertama. Aku melihat bagaimana ajal menjemputmu dan teman-temanmu, satu per satu. Aku juga melihat bagaimana jiwamu meninggalkan raga, celingak-celinguk kebingungan.

Ingin aku menghampirimu dan merangkulmu. Aku mengerti, akan kukatakan padamu.

Ah, andai saja aku punya kesempatan memberi tahumu. Andai saja kau bertanya padaku.

Aku harap kau menikmati bubur terakhirmu. Tanpa kacang, tanpa bawang, ekstra cakwe, dan tambah kecap di atas kerupuk. Dan tentunya kopi terakhirmu. Hitam pekat, banyak gula. Pahit manis, menggantung di lidah. Aku harap kau ingat rasanya benar-benar.

Ya, ingat rasanya benar-benar.

Karena di luar sini, hanya hampa yang akan kau rasakan.

Ya, tidak ada apapun di luar sini.

Hanya kehampaan.

19 Januari 2015

--

--

Jerry Hadiprojo
Mesin Tik

Filmmaker, writer, & occasional photographer. Corporate slaving for a living. Criterion Collector & action figures lover.