Setahun yang Lalu

Veni Inovanty
Mesin Tik
Published in
4 min readJan 11, 2016

Kamu datang tergopoh-gopoh, ribut sekali, bilang mau pergi. Mau kemana? aku bertanya. Mau pergi pokoknya, kata kamu bersikeras. Iya kemana? Aku masih menimpali dengan sabar. Bukan sekali ini kamu teriak-teriak ingin pergi, sudah berkali-kali. Tapi toh kamu masih disini. Belum juga berani pergi. Kali ini kamu terlihat sangat yakin, keinginan untuk pergi kamu ucapkan dengan penuh penekanan, tidak seperti sebelumnya yang selalu diselingi dengan minuman atau lawakan atau tangisan.

Kali ini kelihatannya kamu cukup yakin. Sudah tidak ada gunanya aku disini, kamu berkata getir, duduk disebelahku dan menyalakan sebatang rokok. Wah, ini sudah serius, kamu tidak pernah merokok kecuali sedang dalam kemelut yang luar biasa. Aku menunggu kamu melanjutkan kalimatmu, menanti alasan kenapa kamu merasa tidak berguna lagi. Kamu menghisap rokokmu dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, lalu berbisik lirih, aku capek.

Kamu lalu menjentikan abu rokok dengan gayamu yang khas. Aku selalu suka sebetulnya kalau kamu sedang merokok, aku suka melihat cara kamu menyalakan, menghisap rokok dan menjentikan abu. Terkadang kalau kamu sedang merajuk dan mulai merokok, aku tidak memperhatikan isi ceritamu, yang aku perhatikan adalah cara kamu merokok.

Capek kenapa?, aku akhirnya bertanya, karena kamu tidak juga melanjutkan kalimatmu. Ya capek lah! Bagaimana engga, aku masih begini-begini saja, kegiatanku masih sama dari 5 tahun yang lalu, aku bosan, capek, sakit, aku mau lihat kehidupan lain selain yang aku jalani setiap hari! Kamu berkata dengan cepat, sedikit membentak. Aku menghela napas, ah masih permasalahan yang sama rupanya. Kamu si jiwa bebas terpaksa harus menetap karena kehidupan dan keadaan memaksamu demikian.

Aku menatapmu yang masih menghembuskan asap asap rokok dengan rapih, ohiya, itu satu lagi yang aku suka dari cara kamu merokok. Kamu menghembuskannya dengan rapih. Tidak mengumbar asap kemana-mana. Padahal aku toleran terhadap asap rokok dan aku yakin orang-orang di sekitar kamu duduk juga demikian, karena kamu selalu merokok di tempat yang dianjurkan. Kamu mematikan rokok dengan cepat dan meraih batang kedua. Kebiasaan, kamu tidak pernah merokok sampai habis. Pemborosan aku bilang. Tapi kamu tidak pernah peduli. Asbakmu selalu penuh dengan rokok yang masih panjang.

Memangnya sudah bisa pergi? Aku bertanya lagi sambil menyalakan pemantik untuk rokokmu. Kamu menghembuskan lagi dengan sedikit tergesa karena ingin segera menjawab pertanyaanku. Harus bisa! Kalau aku ikuti terus, bisa-bisa aku tidak akan pernah kemana-mana. Kapan aku melihat dunia kalau berada disini terus?.

Aku tidak pernah mengerti kamu dan isi kepalamu. Dunia sepeti apa yang sebetulnya ingin kamu lihat? Kamu padahal berada di jantung ibukota, tempat hampir semua orang di negara ini menggantungkan impian, dan kamu, kamu sudah berhasil bertahan disini. Paling tidak kamu belum mati. Sementara di dunia yang ingin kamu lihat itu, belum tentu pasti. Bagaimana kalau kamu tidak bisa bertahan? Bagaimana kalau kamu berakhir di jalanan? Di hutan? Digulung ombak di lautan? Aku bisa jadi orang yang paling menyesal di jagad raya kalau terjadi apa-apa dengan kamu. Tapi tentu saja aku tidak bisa berkata demikian. Karena kamu cuma ingin didengar bukan diberikan saran.

Aku memandangmu diam-diam, menghayati setiap sudut wajahmu. Kamu sedang pidato, mengoceh soal harus menjalani kehidupan dengan sehidup-hidupnya, dan tidak akan pernah bisa kalau kamu masih menetap disini. Kamu harus pergi. Kemana saja yang penting pergi. Aku tercenung, dengan wajah sebagus itu kamu sering kali lupa tertawa. Kamu tersenyum tentu saja. Tapi tertawa jarang sekali. Kamu selalu serius dan penuh ambisi ambisi. Salah satunya yaitu tadi, pergi dari sini.

Aku mulai membayang bayangkan kamu kalau sedang tertawa seperti apa. Kapan terakhir kali aku lihat kamu terbahak-bahak? Mungkin bulan lalu? Beberapa bulan lalu? Tahun lalu? Beberapa tahun lalu? Ah aku hampir tidak ingat. Aku selalu berusaha melucu, melempar lelucon setiap kali kening kamu mulai berkerut-kerut atau air mata mengembang di matamu. Tapi selalu gagal. Aku tidak pernah bisa membuat kamu tertawa. Karena itu aku berhenti berusaha dan memilih menjadi pendengar saja. Karena kamu lebih senang didengar bukan diberikan canda.

Tampaknya kamu mulai bosan dengan pertanyaan monotonku, kenapa? Mau kemana? Memangnya sudah bisa? Kamu duduk menghadapku sekarang, menatap mataku dalam-dalam. Aku mulai gelisah, entah kenapa aku tidak pernah bisa berani melihat ke mata kamu langsung. Ada kekuatan yang janggal dari cara kamu menatap, seperti mengintimidasi, seperti menarik jatuh, membekukan pikiran dan membuat dunia sekejap jadi hampa. Semua inderaku mendadak tidak berfungsi. Aku buta, hilang arah, tuli dan kaku.

Aku menghindari tatapanmu, mulai salah tingkah dan mengaduk-ngaduk asbak yang penuh dengan rokokmu yang masih panjang panjang. Kamu rupanya tidak menyerah dan menarik wajahku untuk menghadapimu lagi.

Dengar, aku mau pergi. Kali ini tidak main-main. Aku pergi besok hari. Pagi-pagi sekali. Kemana aku belum tahu pasti, pokoknya aku pergi dari sini. Kamu memberi tekanan pada setiap kata. Memastikan aku mendengar setiap makna dari kalimat kalimatmu. Aku menelan ludah dengan waspada. Sebelum sempat aku menjawab, kamu melepaskan tangan dan tatapanmu dariku dan beranjak pergi meninggalkanku. Aku masih kaku dan tidak sempat bertanya, kamu mau kemana?

Setahun kemudian…

Aku duduk disini, di pojokan ini, tempat seperti biasa kamu akan datang menghampiri. Tapi kamu tidak pernah hadir lagi. Rupanya kamu benar-benar pergi. Aku mencarimu di tempat tempat biasa kamu ada. Kamu tidak ada. Aku mencarimu di tempat tempat biasa kamu bersembunyi. Yang aku temui hanya sunyi. Setahun berlalu, sepucuk kartu pos muncul di sela-sela pagar rumahku. Kartu pos bergambar padang rumput yang sepi. Ada tanda tangan kamu disitu dan pertanyaan ‘Kenapa kamu tidak menahan aku pergi?’

Depok. 11 April 2012.

--

--