Artificial Intelligence Tersohor : Antara Manfaat dan Resikonya

Amalia Sandi Alzahrah
Miloo Community
Published in
3 min readAug 23, 2021
Sumber gambar link

John Maccarthy menciptakan ide resmi dan definisi AI pertama kali di Konferensi Darthmouth pada tahun 1955, ia mengatakan bahwa setiap aspek pembelajaran atau fitur lain kecerdasan pada prinsipnya dapat digambarkan dengan sangat tepat sehingga sebuah mesin dapat dibuat untuk mensimulasikannya dan sebuah usaha akan dilakukan untuk mengetahui bagaimana membuat mesin menggunakan bahasa, abstraksi, dan konsep memecahkan jenis masalah yang sekarang disediakan untuk manusia dan meningkatkan diri mereka sendiri.

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan merupakan simulasi proses kecerdasan manusia oleh mesin, terutama sistem komputer. Aplikasi khusus AI termasuk sistem pakar, pemrosesan bahasa alami, pengenalan suara, dan visi mesin. Ada tujuh aspek asli dari AI itu sendiri, diantaranya; mensimulasikan fungsi yang lebih tinggi dari otak manusia, memprogram komputer untuk menggunakan bahasa umum, mengatur hipotesis neuron dengan cara yang memungkinkan mereka untuk dapat dari konsep, cara untuk menentukan dan mengukur kompleksitas masalah, pengembangan diri, abstraksi yang didefinisikan sebagai kualitas dengan ide-ide daripada peristiwa, kreativitas dan keserampangan.

Namun, di balik itu semua tetap ada resiko dan sisi negatif dari AI itu sendiri. Seperti otomatisasi pekerjaan, otomatisasi pekerjaan ini termasuk resiko langsung yang menjadi perhatian paling mendesak. Robot AI yang tadinya lebih pintar dan cekatan itu akan menggugurkan kesempatan manusia dalam bekerja, AI juga dapat menciptakan pekerjaan. Menurut studi, resiko ini akan cenderung berdampak pada mereka yang berpenghasilan rendah, seperti mereka yang bekerja di bidang layanan makanan, bahkan manajemen kantor, administrasi. Pekerjaan dengan tugas berulang yang paling rentan. Disini manusia bukannya digantikan oleh robot di tempat kerja, melainkan dengan program pelatihan dan pendidikan, karyawan dapat belajar untuk bekerja bersama AI alih-alih digantikan olehnya.

Kemudian adanya kekhawatiran tentang keadilan dan bias, data dasar seringkali menyebabkan bias. Pengumpulan data juga dapat menghasilkan bias. “Model dapat dilatih pada data yang berisi keputusan manusia atau pada data yang mecerminan efek tingkat kedua dari ketidakadilan sosial atau sejarah” ucap McKinsey. Selain itu, kecelakaan dan pertimbangan keselamatan fisik juga bisa saja terjadi. Sebagai contoh mobil self-driving, bentuk salah satu pengaplikasian AI yang mulai menguasai pasar mobil, seandainya terjadi malfungsi hal itu akan menimbulkan resiko langsung tidak hanya bagi penumpang tapi juga bagi pengguna jalan lainnya. Penggunaan AI yang salah juga akan menimbulkan bahaya. AI memang telah berhasil melakukan banyak hal baik dengan aplikasi teknologi. Tetapi di tangan yang salah, sistem AI dapat digunakan untuk tujuan yang jahat sehinggan keamanan digital, fisik, dan politik bisa kena imbasnya.

Dari segi keamanan digital, para ahli khawatir atas algoritma peretasan yang lebih canggih akan dapat mengeksploitasi kerentanan lebih cepat dan melakukan lebih banyak kerusakan. Dari keamanan fisik, sistem senjata otonom adalah resiko AI lain yang sering dikutip. Dari keamanan politik, beberapa peneliti berpikir bahwa teknologi Natural Languange Processing (NLP) dapat digunakan dalam membuat rekaman palsu dan teknologi pembelajaran mesin dapat dimanfaatkan untuk mengotomatisasi kampanye disinformasi yang sangat personal pada distrik-distrik utama selama pemilihan.

Dalam menghadapi berbagai resiko yang menjadi tantangan kita dalam mengimplementasikan Artificial Intelligence ini, setidaknya ada beberapa cara yang dapat disiapkan agar tak tersingkirkan. Pertama, hadirlah secara total saat berinteraksi. Libatkan pancaindera, pikiran, jiwa raga seutuhnya saat menjalin komunikasi dua arah. Kebiasaan ini akan membuat kita sulit tergantikan oleh siapapun termasuk kecerdasan buatan. Kedua, asah keahlian dalam berkomunikasi terus menerus. Kemampuan dalam memposisikan diri, kapan harus diam, berpendapat, berdebat dengan benar menjadikan kita benar-benar sebagai manusia. Hal tersebut tentunya membedakan kita dengan kecerdasan buatan apapun. Ketiga, mengasah nurani. Perlu sering menghadirkan kesadaran dengan sesekali berpikir hal terbaik apa yang bisa dilakukan untuk dunia, hal apa yang perlu banyak diperbuat. Dengan begitu kita siap menghadapi perkembangan Artificial Intelligence.

Sumber

--

--