Hidup Atas Nama Manusia Dan Agama

Dion Barus
Idealis Minimalis
Published in
4 min readDec 13, 2016

Agama adalah suatu entitas paling hakiki yang pernah dipercayai oleh manusia sepanjang sejarah peradaban dunia. Setiap manusia yang lahir di dunia ini pasti di satu titik memiliki kepercayaan atau agama. Entah itu agama samawi atau agama hasil kreasi manusia itu sendiri, misalkan Scientology. Banyak sekali standar dalam menilai manusia dilandaskan oleh kepercayaan atau agama yang dia anut.

Standar paling umum dalam menilai apakah suatu manusia itu baik antara lain di lihat dari apakah dia mempraktekkan agamanya dengan benar dan “ajeg” seperti yang tertulis dan terwahyukan dalam kitab suci masing-masing. Begitupun sebaliknya. Standar ini dianggap sebagai suatu nilai absolut yang mana sering terjewantahkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, kemasyarakatan dan atau bahkan politik.

Untungnya, saya bukan termasuk orang yang seperti itu. Saya memiliki prinsip yang mungkin bertentangan dengan kebanyakan orang bahwa setiap manusia yang hidup di dunia ini sudah sepantasnya dinilai dengan standar atas apa yang dia perbuat atas orang lain. Saya tidak menempatkan agama atau atribut yang melekat dengan agama sebagai standar tertinggi untuk dapat menilai kebaikan manusia.

Manusia adalah Zoon Politicon, hewan yang bermasyarakat. Manusia akan hidup berdampingan dengan manusia lainnya dalam suatu komunitas yang disebut masyarakat. Karena pada hakikatnya, manusia adalah serigala yang ber-otak dan setiap waktu dapat menerkam sesamanya maka dibuatlah sebuah norma dan nilai yang disebut hukum. Jauh sebelum hukum terkodifikasi, manusia memiliki pembatas dan pedoman yang bersifat Ilahi yang pada akhirnya disebut agama.

I judge a religion as being good or bad based on whether its adherents become better people as a result of practicing it.

- Joe Mullally

Ketika manusia condong mengutamakan agama ketimbang hukum maka lahirlah masyarakat agamis dimana nilai-nilai agama diterjemahkan ke dalam kodifikasi hukum. Apa yang tidak sesuai dengan nilai agama maka manusia tersebut tergolong sesat. Sebaliknya, ketika manusia sepakat untuk mengutamakan hukum diatas agama maka kita mengenal masyarakat demokratis sekular. Hukum menjadi nilai yang harus dipatuhi oleh setiap manusia beragama. Sedangkan agama menjadi pedoman eksklusif atas hubungan manusia dengan Tuhan-nya masing-masing.

Tentu, saya tidak akan membahas mengenai negara agamis atau negara demokratis sekular. Saya melihat bahwa akhir-akhir ini ada gerakan masif dan terstruktur untuk membentuk opini bahwa manusia yang paling mulia itu adalah manusia yang beragama. Seolah-olah ketika manusia sudah beragama, beribadat taat, meng-ekspos ketaatan tersebut maka manusia itu layak ditempatkan sebagai pemegang standar terhadap manusia lainnya.

Manusia dengan tipe ini adalah manusia yang memiliki hak “prerogatif” langsung dari Tuhan untuk membuat standar baru. Mereka berhak untuk menerjemahkan tulisan Wahyu Tuhan. Mereka berhak untuk mengatur tingkat keimanan seseorang. Mereka berhak untuk berkata dan bertindak atas nama Tuhan. Mereka berhak untuk berada di jalan kebenaran versi Tuhan mereka. Pun, mereka berhak untuk tidak tunduk kepada hukum sebagai sebuah konsesus bersama.

Hukum hanya berlaku bukan untuk mereka. Hukum bagi mereka adalah sebuah sarana untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka memilah hukum mana yang berhak untuk tidak dipatuhi dan hukum mana yang boleh untuk dipatuhi sepanjang sesuai dengan keyakinan mereka. Mereka adalah Tuhan bagi kaum mereka sendiri.

Mirisnya, mereka melakukan ini atas nama membela agama. Atribut keagamaan digunakan untuk pembenaran bahwa mereka mewakili Tuhan di dunia. Seolah-olah Tuhan hanyalah sebuah objek yang harus dibela di dunia ini. Apapun yang mereka rasa menghina Tuhan dan ajarannya layak untuk dibunuh dan darahnya halal untuk dicurahkan di dunia ini. Kenapa kita begitu mudah terjebak dalam suatu penafsiran yang sempit.

Ketika saya harus menilai tipe manusia ini maka harus saya katakan bahwa ini adalah manusia yang sesat jalannya. Persis seperti anak domba yang kehilangan arah. Apapun agamanya ketika anda tidak dapat menjadi sebuah pribadi yang berguna dan bermanfaat bagi manusia lain maka anda bukanlah manusia yang baik. Tujuan beragama adalah menjadikan manusia sebagai makhluk yang dapat bersosialisasi dengan manusia lainnya. Menjadi manusia yang ber-manusia.

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana Tuhan menurunkan “Wahyu Ilahi” -nya ke dunia ini untuk menjadikan manusia terkotak-kotak dan saling meng-klaim bahwa hanya merekalah yang memiliki standar tertinggi untuk manusia lainnya. Manusia memang terlahir dengan agama yang berbeda-beda. Agama pun memiliki ajarannya masing-masing namun tak satupun dari agama itu yang dapat membuat manusia menjadi makhluk buas seperti yang kerap terjadi belakangan ini di sekitar kita.

Saya percaya bahwa orang baik dapat lahir dari agama apapun. Setiap agama memiliki orang baiknya sendiri-sendiri. Namun ketika orang baik ini menggunakan atribut agama untuk menjadi baik bagi kaumnya sendiri dan menjadi buas bagi kaum yang tak seagama atau bertentangan dengan mereka maka orang itu bukanlah orang baik sama sekali. Hidup atas agama memang penting namun hidup atas nama kemanusiaan akan membawa manusia ke dalam sebuah kebaikan yang universal.

Sudah seharusnya kita mulai berpikir apakah ketika kita sudah beragama, kita juga sudah menjadi manusia yang baik untuk sesama manusia lainnya. Jangan jadikan agama sebagai sebuah pembenaran akan tindakan tidak manusiawi kita. Tuhan adalah pengadil terakhir atas kadar keimanan keagamaan kita. Sedangkan manusia adalah pengadil atas tindakan kita terhadap manusia lainnya di dunia ini. Bukan sebaliknya.

--

--