Koran Di Era Digital Internet
Sedari kecil saya cukup akrab dengan yang namanya membaca koran. Masih teringat dengan jelas bagaimana orang tua saya berlangganan koran Kedaulatan Rakyat, Kompas, Tabloid Otomotif dan tentu saja Majalah Bobo. Koran, pada waktu itu adalah salah satu sumber informasi yang cukup penting bagi keluarga saya yang tinggal di sebuah kota kecil di ujung provinsi Sumatera Selatan.
Kebiasaan untuk membaca koran pun terbawa sampai sekarang walaupun sempat lama vakum ketika masa-masa kuliah dulu. Kini, ketika saya sudah memiliki penghasilan sendiri dan cukup dewasa untuk memperoleh sumber informasi darimana saja, tiba-tiba terlintas di benak pikiran, Apakah koran masih dibutuhkan saat ini?
Pertanyaan yang sedikit tendensius tersebut tentu sangat beralasan untuk ditanyakan karena eksistensi koran fisik seakan berada di area yang sangat rapuh untuk digenggam. Koran sekarang tidaklah sama dengan koran dua dekade yang lalu dimana pembaca seakan disuguhkan informasi dalam satu arus komunikasi. Sekarang, pembaca seakan menjadi penentu kebijakan sumber informasi mana yang akan mereka baca. Ibarat balita yang dulu hanya bisa disuap kini berubah menjadi balita yang sudah bisa memilih dan memakan makanannya sendiri.
If I haven’t any talent for writing books or newspaper articles, well, then I can always write for myself.
- Anne Frank
Jika kita kilas balik ke belakang, tujuan utama seseorang membaca koran adalah untuk mendapatkan informasi yang tidak mereka dapatkan di lain tempat. Koran adalah jendela dunia bagi mereka. Koran juga seakan menjadi one-stop entertainment dimana rubrik politik dapat bersanding dengan rubrik infotainment sehingga koran tidak hanya monopoli kaum bapak-bapak yang serius tapi juga dapat menjadi media bagi kalangan muda yang dinamis.
Itu dulu, kini koran hanyalah menjadi sarana media informasi pembanding dan pelangkap saja bahkan yang lebih menyedihkan koran adalah media terakhir dimana seseorang ingin mendapatkan suatu informasi. Masyarakat digital sekarang lebih menyukai segala sesuatu yang cepat, instant dan simpel. Oleh sebab itu tidak heran jika informasi yang didapatkan dari internet dan media sosial lebih mendominasi saat ini.
Satu hal yang pasti, pola penyerapan informasi masyarakat telah sangat berubah ke arah yang cukup radikal. Kini mereka terbiasa membaca judul daripada isi. Judul yang menarik, provokatif dan cenderung sektarian adalah yang paling menjual saat ini dan disinilah poin kekalahan telak koran dari media online.
Menyadari hal ini, koran pun seakan tidak mau kalah. Jika anda memiliki akun media sosial dan berlangganan (subscribe) atau mengikuti (follow) akun media sosial koran-koran Indonesia tak sedikit juga dari mereka yang mulai latah mencuitkan tautan yang memancing seseorang untuk membaca.
Mereka tahu bahwa untuk mendapatkan ikan yang banyak maka seorang pemancing haruslah mengetahui umpan apa yang harus ditautkan di kail pancingnya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang menyukai hal-hal yang fenomenal dan viral oleh sebab itu pancinglah dengan sesuatu yang “lain daripada yang lain”. Anda tentu akan gagal memancing jika umpan yang diberikan tidak tepat. Memancing rasa ingin tahu kaum milenial tentu tidak akan berhasil jika anda memancing mereka dengan ulasan essay politik 2000 karakter.
Saya termasuk orang yang malas membaca berita online baik dari website portal resmi suatu media massa atau dari blog/website orang atau organisasi tertentu, kecuali jika ada breaking news atas peristiwa tertentu yang ingin saya ketahui cepat. Alasan saya sederhana, ketika saya membaca berita saya tidak hanya ingin sekedar tahu tapi saya juga ingin mengerti dan paham.
Kelemahan terbesar berita online adalah kurangnya kedalaman (in-depth) isi berita yang ditulis karena fokus dari mereka adalah kecepatan. Anda mungkin bisa mengetahui informasi dari belahan bumi lain dalam hitungan detik tapi saya ragu anda akan mengerti bagaimana peristiwa itu bisa terjadi pada awalnya. Informasi yang anda dapatkan hanyalah 4W, What, When, Where dan Who tanpa adanya 1W dan 1 H, Why dan How.
Ketika anda mendapatkan informasi yang parsial maka perspesi terhadap informasi tersebut tidak akan pernah utuh dan dapat menyebabkan salah informasi. Itu baru dari sisi keutuhan isi informasi belum lagi “bumbu-bumbu” tambahan yang sengaja ditambahkan atau dikurangi oleh media online tertentu untuk membentuk opini dan mengarahkan pembaca ke suatu agenda tertentu.
Memang, tidak semua media online seperti itu. Beberapa media masa korporasi besar bahkan memiliki redaksi yang terpisah antara media cetak dengan media online sehingga meminimalisir kemungkinan terjadinya tumpang tindih informasi antar keduanya.
Ambil contoh, koran Kompas, selain memiliki edisi cetak mereka juga memiliki portal berita online yang mana beritanya tidak akan sama dengan edisi cetak begitu juga sebaliknya. Setiap media/edisi memiliki fokus dan segmen pembaca yang berbeda. Masyarakat yang haus informasi pun dapat memilih media mana yang tepat untuk dikonsumsi.
Membandingkan antara media cetak (koran) dengan media online tentulah akan sangat timpang. Koran bagi saya masih menjadi media pengantar informasi yang paling kredibel karena berhasil membuat suatu berita perlu untuk dibaca bukan sekedar ingin dibaca seperti yang ditawarkan oleh media online. Pengalaman membaca dengan memegang fisik kertas memiliki sensasi yang berbeda jika harus dibandingkan dengan membaca di depan layar dengan tangan yang terus bergerak.
Saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa banyak orang yang kini sudah beralih ke media online karena kepraktisan dan kecepatan yang ditawarkannya, termasuk orang tua saya sendiri yang sekarang lebih senang membaca di depan tablet daripada di depan kertas koran.
Konvergensi digital bergerak sangatlah cepat dan tanpa disadari sudah mengubah cara kita memperoleh dan mengolah informasi. Tak sedikit media cetak yang harus gugur karena kalah berkompetisi dengan media online atau menutup divisi cetak dan benar-benar beralih ke digital dengan sistem berlangganan online.
Namun, satu hal yang selalu akan saya ingat adalah bagaimana koran mampu memberikan sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan di media online yaitu memori pengalaman membaca semasa saya kecil. Satu hal yang tidak akan pernah bisa kita alihkan ke dunia digital.