5 mindset kuno penjajah ekosistem software development Indonesia

Konten tentang Scrum
Modern Management
Published in
15 min readOct 27, 2016

--

Di awal abad 20, kita memiliki sebuah organisasi pemuda bernama Budi Utomo, sebuah cikal bakal lepasnya Indonesia dari penjajahan. Di awal abad 21 ini kita memerlukan lebih banyak lagi anak-anak muda praktisi software development yang sepakat untuk melepaskan diri dari belenggu cara berpikir yang sudah tidak relevan lagi dengan abad 21. Hari ini kita tidak lagi dijajah oleh Belanda yang berbentuk serikat dagang melainkan oleh cara berpikir kuno dan Belanda dalam bentuk lain. It’s #timeforchange!

Dunia yang kita tumpangi sudah berubah. Kita sudah tidak bisa lagi angkuh dan menutup pikiran kita. McKinsey mencatat kalau preferensi seseorang dalam mencari nafkah sekarang ini sudah mulai bergeser. Jeff Kennett bahkan mengatakan kalau gaji CEO sekarang ini seharusnya dikaitkan dengan tingkat stress (mental health) para pegawainya. John Chambers mengatakan kalau selama 10 tahun ke depan sekitar 1/3 dari bisnis hari ini beroperasi tidak akan eksis karena akan muncul orang-orang jenius dengan ide-ide revolusioner. Software is eating the world. Dunia sudah berubah dan kita harus mau merubah cara pandang kita terhadap software developer bila kita ingin kompetitif dengan bangsa lain dan bukan hanya menjadi bangsa konsumen teknologi karya bangsa lain.

1. Software developer adalah pekerjaan kasta bawah

Slaves are not allowed to say no. Laborers may be hesitant to say no. But professionals are expected to say no. Indeed, good managers crave someone who has the guts to say no. It’s the only way you can really get anything done.
— Robert C. Martin

Mindset paling f*cked up yang masih beredar di banyak perusahaan-perusahaan dan perguruan tinggi di Indonesia hingga hari ini adalah pandangan dimana software developer adalah pekerjaan kasta bawah. Akhirnya terbentuklah pola pikir dari lulusan informatika kalau software developer adalah profesi batu loncatan sebelum mereka menjadi analyst atau manajer proyek. Ajaran turun-temurun selama empat generasi ini masih didoktrin oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia hingga hari ini.

Pemetaan struktur pabrik manufaktur ke organisasi software development

Sebagai buruh kode, software developer dipandang sebagai seseorang yang inferior yang mendapatkan instruksi dari seseorang yang lebih superior bernama manajer atau supervisor. Mindset ini berangkat dari sudut pandang kalau software development bukanlah pekerjaan inovatif dan kreatif. Mindset ini berangkat dari sudut pandang kalau software developer adalah buruh pabrik penghasil kode karena software development dipetakan dengan pekerjaan manufaktur atau proyek konstruksi bangunan. Padahal dewasa ini tanpa disadari banyak software developer di dunia yang billionaire.

Beberapa manifestasi dari mindset kuno ini adalah:

  • Software developer yang mendapatkan penghasilan di bawah manajer proyek.
  • Pimpinan perusahaan yang tidak bisa menerima kata TIDAK dari software developer.
  • Pada saat software developer harus lembur menyelesaikan deadline, manajer bisa santai di rumah menonton sinetron bersama keluarga.

Akhirnya mereka bermental buruh

self-fulfilling prophecy (n): a prediction that directly or indirectly causes itself to become true, by the very terms of the prophecy itself, due to positive feedback between belief and behavior.

Self-fulfilling prophecy dari pemikiran tradisional di industri software development: “ketika kita memandang software developer sebagai buruh pabrik maka pada akhirnya kita akan mendapatkan software developer dengan mental buruh pabrik”. Bagaimana bangsa ini bisa mendapatkan inovator-inovator kalau software developer secara nasional dari Sabang sampai Merauke masih diperlakukan sebagai komoditas dan masih dipandang sebagai buruh pabrik? Oleh karena itu jangan heran kalau banyak software developer di perusahaan kita yang memiliki mental buruh pabrik: pasif, ignorant, tidak mau terus menerus belajar teknik software development terkini, takut mengambil keputusan, tidak bisa self-manage. Ini semua karena self-fulfilling prophecy.

Kita perlu berimajinasi lebih di abad 21

Imajinasi kita mengenai kepemimpinan sungguh terbatas seperti pandangan kacamata kuda. Imajinasi kita membayangkan seorang pemimpin adalah seseorang yang memerintah software developer menggunakan otoritas. Tipe pekerja inovatif seperti software developer memerlukan sosok pemimpin yang memimpin dengan menjadi contoh (leading by example) tanpa menggunakan otoritasnya. Software developer perlu pemimpin yang dapat menginspirasi dan menstimulasi imajinasinya. Software developer pun seharusnya dapat berkarir secara profesi menjadi thought leaders bukan harus naik jenjang dalam struktur perusahaan karena tidak semua software developer suka dengan manajemen. Software developer harus bangga dengan profesinya dan perlu dihargai bila kita ingin mendapatkan inovator-inovator di negeri ini.

People department dan pimpinan perusahaan perlu merevolusi cara mereka memandang software developer di perusahaan mereka dan perlu menerapkan dwi-model jenjang karir sama seperti yang diterapkan di rumah sakit. Kita sudah tidak bisa angkuh memaksakan pola pikir kuno di tengah jaman yang semakin modern ini.

Bacaan terkait:

2. Obsesi mengukur software developer

Fear invites the wrong figures. No one can enjoy his work if he will be ranked with others.
— W. Edwards Deming

Mindset kuno berikutnya adalah obsesi yang terlalu berlebihan dalam mengukur produktifitas software developer. Secara manusia kita akan mengukur apa yang menurut kita mudah untuk diukur, misal:

  • berapa banyak pekerjaan yang diselesaikan dalam satu satuan waktu;
  • berapa jam yang dihabiskan untuk menyelesaikan satu pekerjaan;
  • jumlah bugs;
  • tingkat keakuratan estimasi.

Namun angka-angka ini tidak menjelaskan apapun mengenai performa perusahaan kita dan tidak menggambarkan nilai dari software yang dikembangkan oleh software developer. These numbers create fake certainty. Inilah produk jaman order baru, kita dibutakan dari realita dan dibuat nyaman oleh ilusi.

Lewat angka-angka dari sistem ukuran yang telah ditetapkan sepihak, pimpinan perusahaan dan manajemen ingin mengetahui apakah ia sedang dikhianati oleh pegawainya, apakah pegawainya malas-malasan selama di kantor. Dengan melihat angka-angka ini pimpinan perusahaan merasa tenang. Tapi ini adalah ketenangan semu (false comfort). Seorang Scrum Master di Jakarta pernah mengatakan kepada saya, hanya karena seseorang sudah menikah bukan berarti tidak ada kemungkinan pasangannya berselingkuh dengan orang lain. Software developer bisa saja datang tepat waktu setiap hari dan sibuk menyelesaikan semua fungsionalitas, namun semua yang mereka kerjakan tersebut bisa saja tidak membawa dampak apapun terhadap perusahaan.

Secara manusia kita lebih terkesima dengan apa yang bisa dilihat daripada apa yang tidak bisa dilihat oleh kasat mata. Kita tidak suka dengan teori yang abstrak, kita lebih suka diberi-tahu praktik secara eksplisit dan praktis. Kita lebih tertarik dengan ‘bagaimana’ daripada ‘kenapa’. Kita dididik untuk mengukur apa yang kelihatan walaupun yang apa kelihatan dan apa yang bisa diukur tidak selalu penting untuk diukur. Contohnya bila saya tanyakan kepada anda: mana yang ‘lebih’ penting, jumlah koruptor yang sudah ditangkap atau jumlah koruptor yang belum tertangkap? Angka jumlah koruptor yang belum ditangkap jauh lebih penting karena hingga hari ini mereka masih menggerogoti kekayaan negara tanpa ada yang bisa melihat, namun hingga hari ini kita tidak tahu berapa banyak jumlah mereka dan berapa banyak jumlah kekayaan negara yang sedang mereka gerogoti.

Not everything that counts can be counted, and not everything that can be counted counts.
— Albert Einstein

Seringkali hal yang paling mudah untuk diukur memiliki nilai yang rendah karena hal yang paling mudah untuk diukur memiliki tingkat ketidak-pastian yang rendah. Misal: nilai saham perusahaan yang tinggi di bursa saham adalah perusahaan yang bergerak memiliki ketidak-pastian yang tinggi seperti perusahaan-perusahaan bioteknologi. Dalam konteks software development, mengukur value dan outcome dari software cenderung lebih sulit tetapi lebih bernilai. Dalam konteks software development yang lebih penting diukur selain value dan outcome adalah: collaboration, culture, creativity, code cleanliness, self-management. Namun karena hal-hal ini sulit untuk diukur dan tidak bisa dilihat, kita tidak mengukurnya dan kita justru meremehkan kemampuan kita sendiri dengan mengukur hal-hal yang lebih mudah untuk diukur walaupun hal-hal yang mudah diukur ini tidak penting.

Mari berikan software developer permen

Kita telah dididik sejak di perguruan tinggi kalau segala sesuatu dalam dunia ini memiliki hubungan sebab-akibat yang bersifat linier, artinya kalau 2 variabel memiliki sebuah hubungan sebab-akibat maka masukan stabil di satu variabel harus menghasilkan sesuatu di variable lainnya. Contohnya: jika software developer diberi bonus maka seharusnya performa mereka meningkat. Kalau manajemen meminta 100 fitur dalam waktu yang telah ditentukan maka software developer harus menghantarkan seluruh 100 fitur tersebut, bila mereka tidak bisa melakukannya berarti performa mereka dinilai buruk. Kalau performa mereka buruk maka logikanya adalah mereka harus dihukum atau tidak mendapatkan bonus. Tetapi ini adalah bentuk pembodohan karena kita memperlakukan software developer seperti seorang anak kecil yang harus dihukum bila berbuat salah dan diberikan permen bila berbuat baik.

Hubungan linier antara sebab-akibat lebih mudah diserap oleh akal sehat kita, sedangkan hubungan non-linier bersifat abstrak dan sulit dijelaskan lewat sebuah kalimat sehingga sulit diserap oleh otak kita. Otak kita lebih suka memfilter segala sesuatu yang abstrak dan hanya menerima segala sesuatu yang bersifat linier, walaupun realitanya fenomena alam semesta ini lebih banyak yang bersifat non-linier. Banyak hal penting dalam software development justru yang tidak bisa dilihat dan sulit diukur. Hati kita harus sangat ikhlas untuk menerima realita ini bila kita ingin melihat kemajuan di ekosistem software development di Indonesia.

Bacaan terkait:

3. Tidak bisa menerima ketidak-pastian

As far as the propositions of mathematics refer to reality, they are not certain; and as far as they are certain, they do not refer to reality.
— Albert Einstein

Mindset kuno ini datang dari anggapan bahwa: software development sama seperti proyek konstruksi bangunan. Hal ini disebabkan karena sejak kuliah kita sudah diedukasi untuk mengembangkan software menggunakan metoda prediktif, metoda sama yang digunakan dalam proyek konstruksi bangunan. Berbeda dengan proyek konstruksi, dalam dunia software development perkembangan teknologi terjadi begitu pesat yang menyebabkan software development semakin kompleks sehingga semakin meningkatkan learning curve bagi software developer. Kompleksitas dan learning curve ini meningkatkan ketidak-pastian dalam software development.

Salah satu manifestasi cara berpikir yang tidak bisa menerima ketidak-pastian adalah Deadline Driven Development (DDD). Sebenarnya tidak ada yang salah dengan deadline, tetapi cara berpikir yang f*cked up adalah ketika:

  • Deadline ditentukan sepihak tanpa berkonsultasi dengan software developer.
  • Deadline yang tidak memiliki alasan dan tujuan bisnis yang jelas, hanya tanggal yang secara tidak sengaja jatuh dari langit ke otak pimpinan perusahaan.
  • Estimasi dari software developer langsung dikonversi menjadi deadline.
  • Deadline dan ruang lingkup pekerjaan dikunci mati secara otoriter.
  • Deadline digunakan sebagai motivator agar software developer tidak malas-malasan.
  • Deadline dianggap dapat membuat software delivery lebih mudah diprediksi.
Deadline Driven Development book

It is far better to have an approximate answer to the right question, which is often vague, than the exact answer to the wrong question, which can always be made precise.
— John W. Tukey

Mari ajarkan software developer untuk berbohong

estimate (v): to guess or calculate the cost, size, value, etc. of something.

Yang namanya estimasi pasti ada ketidak-akuratan. Ironisnya software developer di Indonesia sering kali dipaksa untuk memberi kepastian estimasi di lingkungan yang penuh ketidak-pastian. Dalam dunia kedokteran hal ini adalah pelanggaran kode etik. Kita yang berada di posisi manajerial secara tidak langsung sudah mengedukasi software developer untuk berbohong, dan hingga hari ini kita tidak merasa ada yang salah dengan hal tersebut. Kalaupun kita tidak mengedukasi mereka untuk pintar berbohong, kita telah mengedukasi mereka untuk mengambil jalan pintas yang berdampak pada menumpuknya technical debts di dalam software. You should never force certainty on uncertain situations or you will end up with technical debts. Secara tidak langsung kita sudah mengembangkan software developer dengan mentalitas “kualitas bukan yang terutama tetapi murah-meriah lebih penting”.

Sifat pekerjaan software development memiliki banyak ketidak-pastian dari sisi manusia, sisi teknis dan sisi bisnis. Ketiga hal ini yang menyebabkan pekerjaan software development tidak dapat diprediksi. Dalam software development estimasi memiliki faktor ketidak-pastian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan estimasi proyek membangun rumah.

Cara berpikir yang natural dalam software development adalah:

When plans are fixed, effort gets directed to curbing change so the plan will still be correct. Predictability does not come from predicting. Delivering continuously will make software delivery more predictable.

Kita telah dididik untuk memprediksi masa depan yang tidak terbatas menggunakan observasi naif dan pengetahuan dari masa lalu yang terbatas. Hati kita harus ikhlas untuk menerima ketidak-pastian bila kita ingin melihat kemajuan di ekosistem software development di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.

Bacaan terkait:

4. Yang penting jalan dulu deh

Any fool can write code that a computer can understand. Good programmers write code that humans can understand.
— Martin Fowler

Sebagai praktisi software development, kita akan sangat religius untuk menghabiskan waktu untuk menganalisa dan membuat dokumentasi tanpa menghasilkan value untuk kostumer kita. Tetapi di lain sisi kita bisa tidak religius dalam menulis kode yang bersih yang secara nyata memberi value untuk kostumer dalam jangka waktu panjang. Mindset ini sudah dibentuk semenjak kuliah karena dosen lebih menekankan mahasiswa di tingkat akhir untuk religius dalam menganalisa sistem daripada refactoring dan clean coding. Kita tidak dididik untuk memiliki mindset software code quality first.

Akibat cara didik seperti ini, banyak mahasiswa lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang jago menganalisa dan menulis dokumen indah namun tidak tahu bagaimana menulis kode yang bersih. Dan lucunya adalah lulusan seperti ini yang menjadi system analyst di perusahaan yang memberi instruksi kepada software developer. Akibatnya hingga hari ini banyak software di perusahaan Indonesia yang memiliki banyak technical debts. Technical debt ini akhirnya membuat bisnis susah kompetitif di pasar dan sering mendapat sumpah serapah dari pengguna di sosial media. Dan di saat technical debt semakin banyak, kita bukannya menghabiskan lebih banyak waktu untuk membersihkan kode namun kita akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menganalisa sistem agar tidak menyenggol fungsionalitas lain. Akhirnya sebagai manajer kita lebih memilih seorang analis menghabiskan waktu untuk menganalisa sistem dengan mengorbankan jadwal milik software developer dan tester. Lingkaran setan ini terjadi karena fundamental berpikir yang f*cked up.

Sampai ke startup juga

Kita masih belum belajar kalau pada akhirnya yang membuat perusahaan lebih kompetitif di pasar adalah kualitas kode BUKAN kuantitas waktu yang dihabiskan dalam menganalisa sistem. Contoh nyatanya sudah terlihat di beberapa perusahaan startup di Indonesia yang aplikasinya sering mengalami masalah secara regular pada jam-jam tertentu.

Sebuah institusi pemerintahan yang saat ini ditugaskan untuk mengembangkan ribuan startup pun tidak menekankan pentingnya menulis kode software dengan bersih dan benar. Startup-startup dibawah binaan mereka diajarkan mengenai konsep-konsep seperti Design Sprint dan Growth Hacking, tetapi mereka tidak diajarkan mengenai software craftmanship. Angka ribuan startup lebih penting daripada kualitas software yang dihasilkan.

Hackaton pun menjadi komoditas

Kultur dan cara berpikir ‘yang penting jalan dulu deh’ semakin diperparah oleh maraknya hackaton yang diadakan perusahaan-perusahaan yang menjadikan software developer sebagai komoditas belakangan ini. Hackaton akan menjuruskan orang-orang untuk menulis kode kotor karena tujuan dari hackaton adalah menghasilkan quick hack. Yang lebih parah lagi adalah beberapa perusahaan dengan bangga memasukkan quick hack ini ke lingkungan produksi. Karena budaya dan ekosistem software development di Indonesia belakangan ini mengarahkan software developer ke pola pikir quick hack secara tidak langsung kita telah mengembangkan banyak dirty coder yang tidak peduli dengan kualitas di negeri ini daripada software craftsman.

Menekan cost daripada meningkatkan value

Selain didikan dari kampus yang tidak menekankan kualitas kode kepada para mahasiswa, mindset ‘yang penting jalan dulu deh’ juga berkembang karena developer tidak diijinkan perusahaan untuk menulis kode dengan bersih karena menurut pimpinan perusahaan hal tersebut akan menghabiskan waktu lebih lama. Di mata pimpinan perusahaan yang memandang software developer sebagai buruh pabrik, software murah-meriah semurah kacang goreng lebih penting dibandingkan software berkualitas. Pimpinan perusahaan ini memiliki mindset yang menekankan cost daripada meningkatkan value.

Dalam dunia aviasi, segala prosedur harus dilakukan secara benar walaupun tidak jarang hal tersebut harus mengorbankan waktu penumpang. Mindset dalam dunia aviasi adalah: keselamatan penumpang lebih penting daripada waktu milik penumpang yang hilang. Mindset seperti ini juga bisa kita temukan di dunia kedokteran. Namun di industri software development Indonesia, memasukkan quick hack secepat mungkin bukanlah sebuah masalah karena bugs di lingkungan produksi bisa ditangani oleh customer support yang akan menjawab sumpah serapah pengguna. Kalau segenap pihak di bangsa ini tidak menekankan pola pikir code quality first, kualitas software yang dihantarkan karya bangsa ini akan diremehkan oleh bangsa lain dan kita tidak bisa berkompetisi dengan bangsa lain di abad 21.

Bacaan terkait:

5. Kekuatan politik selalu menang

Our world is limited because it is determined by our interpretation which inevitably excludes everything that we’re not able to understand.
— Doug Silsbee

Sistem pendidikan di Indonesia telah mengajarkan kita untuk patuh terhadap legacy atau aturan-aturan baku yang sudah dibuat oleh para pendahulu kita daripada berpikir di luar kotak dan menentang status quo. Sistem pendidikan di Indonesia telah berhasil menghasilkan followers daripada thought leaders. Mungkin kita terlalu nyaman dengan kejayaan kita di masa lalu. Complacency adalah awal dari runtuhnya sebuah organisasi yang bisa juga terjadi terhadap sebuah bangsa.

Sama seperti di pemerintahan, bila kita menantang status quo di perusahaan, kita akan diacuhkan oleh pimpinan perusahaan karena kita akan dianggap sebagai anak-muda yang sok tahu dibandingkan manajer kita yang sudah lebih dahulu merasakan asam-garam dunia. Tidak jarang kita sampai dikucilkan bahkan terkadang berakhir pada pemutusan hubungan kerja. Akibat budaya tersebut kita dan segenap rekan-rekan kita lebih memilih mengambil posisi aman dan menerima realita hidup daripada memperbaiki realita hidup kita.

Akhirnya banyak orang-orang cerdas dan bertalenta di korporasi Indonesia yang menonaktifkan otaknya setiap pagi sebelum mereka masuk ke kantor karena perusahaan-perusahaan di Indonesia lebih menghargai collective stupidity daripada collective intelligence. Perusahaan di Indonesia selalu mendengungkan kalau mereka mencari talenta dan orang-orang terbaik di lowongan pekerjaan yang mereka tulis. Ini adalah salah-satu bullsh*t terharum abad ini karena orang-orang cerdas ini nantinya akan dipaksa untuk mengikuti keputusan dari orang-orang yang memiliki kekuatan politik tertinggi di perusahaan. Dalam jangka panjang sistem ini akan membuat orang-orang yang awalnya cerdas menjadi dungu karena mereka tidak memaksimalkan kapasitas otaknya selama bekerja di perusahaan tersebut. Model kepemimpinan mayoritas korporasi di Indonesia masih menggunakan model “leading using authority” yang merupakan legacy dari jaman orde baru daripada “leading by example”.

Political Power Driven Development book

Just because it has been like that, it doesn’t mean it always has to be like that forever. Just because we have been doing it like that, it doesn’t mean there aren’t any better way to do it.

Paradox adalah ketika kita mengatakan “mindset di perusahaan tempat kita bekerja sudah kuno” namun di lain sisi kita tetap nyaman dengan budaya kerja seperti itu dan turut mendukung status quo. Ini alasan industri software di Indonesia hanya jingkrak-jingkrak di tempat sejak 20 tahun lalu dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara lainnya. Contoh sederhana saja di tahun 2016 ini masih banyak software engineer dan test engineer di Indonesia yang belum tahu bagaimana melakukan Test Driven Development (TDD).

You never change things by fighting the existing reality. To change something, build a new model that makes the existing model obsolete.
— R. Buckminster Fuller

Solusi yang tetap mengakomodir legacy system

Kita gemar sekali meminta solusi untuk permasalahan di perusahaan kita namun setelah orang lain menjabarkan solusinya kita justru akan kembali mengatakan: “ya merubah budaya di perusahaan susah, sudah dari dulu perusahaannya seperti ini”. Akhirnya mental dan perilaku seperti ini, bangsa kita cuma berputar-putar di tempat seperti seekor anjing yang sedang mengejar ekornya sendiri. Ketika kita mendapatkan solusi dari Deadline Driven Development adalah #NoDeadline, kita menolak solusi tersebut mentah-mentah tanpa terlebih dahulu legowo membuka pikiran untuk dapat menerima ide-ide revolusioner. When we think we know much, we will not learn anything new then we stopped growing as a human being. Kita masih menginginkan adanya elemen-elemen manajemen orde baru tetap ada dalam sistem korporasi kita karena kita beranggapan tanpa deadline software developer hanya akan malas-malasan.

Solusi dari cara berpikir yang revolusioner, dimana kita tidak bisa melakukan mindset kuno yang sudah sejak lama kita lakukan akan kita anggap tidak masuk akal sehat kita. Kalaupun kita menginginkan solusi, kita ingin agar solusi yang diberikan oleh orang lain tetap mengakomodir mindset kuno yang selama ini telah kita lakukan selama bertahun-tahun. Melawan status quo hanya akan membuat kita terlihat aneh dan membuat kita terkucilkan. Memelihara status quo adalah kebiasaan bangsa kita semenjak jaman orde baru dan masih banyak dipraktikkan di korporasi-korporasi di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Software development sangat mengandalkan inovasi dan inovasi tidak bisa terjadi bila kekuatan politik selalu menang. Inovasi terjadi dalam knowledge driven organisation BUKAN political power driven organisation. Ekosistem software development di Indonesia tidak akan pernah maju kalau kita semua saling mempertahankan status quo.

Bacaan terkait:

Mindset kuno keenam

Eits belum berakhir sampai di situ saja. Setelah membaca semua permasalahan dan solusi yang beredar di industri software development di Indonesia, selalu ada saja di antara kita yang akan mengatakan, “bukan bangsa Indonesia saja yang memiliki mindset kuno ini kok”. Pernyataan tersebut menjadi sebuah pembenaran agar kita tetap memelihara status quo. Kita gemar sekali mencari pembenaran dengan menunjuk bangsa lain yang juga memiliki mindset kuno seperti bangsa kita. Hal ini dinamakan sebagai confirmation bias, dengan mengkonfirmasi selama bangsa lain juga memiliki mindset kuno maka tidak ada yang salah bila bangsa Indonesia juga memiliki mindset yang sama. Sangat menarik bukan?

Kalau kamu juga sudah bosan bahkan muak dengan pola pikir kuno di industri software development Indonesia mari kita bersama membuat perubahan. Mungkin kita tidak bisa merubah pola pikir orang-orang dari generasi sebelum kita, tetapi kita bisa merubah ekosistem software development untuk generasi setelah kita. Silahkan sebarkan artikel ini di milis kantor, buletin, sosial media, dsb tanpa terlebih dahulu meminta ijin dari saya. Mari bersama membantu segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk memiliki sudut pandang yang benar mengenai software development. Terima kasih atas bantuannya.

Jangan lupa untuk menekan tombol 👏🏻 di bawah sesering mungkin agar lebih banyak lagi rakyat Indonesia yang dapat melihat artikel ini untuk merubah sudut pandang mereka terhadap software developer dan industri software development.

--

--

Konten tentang Scrum
Modern Management

Bukan hanya konten tentang Scrum, tapi disini kita akan ngobrolin Scrum yang efektif agar kostumer happy dan para pegawai juga happy dan menghasilkan cuan.