Kenapa praktisi software development di Indonesia harus merevolusi caranya berpikir

Konten tentang Scrum
Modern Management
Published in
7 min readOct 4, 2014

--

Revolusi mental! Itulah slogan yang sering diangkat oleh presiden terpilih ketujuh Republik Indonesia. Saya pikir para praktisi teknologi informasi dan semua orang yang berhubungan dengan software developer di Indonesia dari semua golongan baik itu manajer proyek, analis bisnis, analis sistem, architect, Chief Information Officer, Chief Technology Officer pun harus merevolusi caranya berpikir mengenai software development karena apapun yang mereka ketahui hari ini sudah ketinggalan jaman.

Sewaktu masa sekolah dan kuliah dulu, saya sering kali dihadapkan dengan pertanyaan ‘apa’ dari orang-orang di lingkungan sekitar saya.

  1. Nanti mau masuk SMU apa?
  2. Setelah SMU mau masuk Universitas apa?
  3. Setelah lulus kuliah mau kerja di perusahaan apa?

Dan pertanyaan apa ini sering kali dilanjutkan dengan pertanyaan ‘bagaimana’.

  1. Bagaimana caranya bisa masuk Universitas Negeri?
  2. Bagaimana caranya bisa mendapatkan IPK 3.0+?
  3. Bagaimana bisa lulus cepat?
  4. Bagaimana bisa dapat pekerjaan di perusahaan pertambangan?
  5. Bagaimana caranya agar bisa menjadi orang kaya raya dan memiliki financial freedom?

Institusi pendidikan di Indonesia pun seringkali fokus untuk mengajarkan ‘bagaimana’ melakukan sesuatu. Namun sering kali jawaban dari pertanyaan ‘apa’ dan ‘bagaimana’ ini membuat saya kehilangan esensi yang lebih dalam lagi dari apa yang hendak saya tuju. Sepertinya apa yang saya lakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang orang-orang lain lakukan karena saya cuma berjalan dari satu ‘apa’ ke ‘apa’ yang lainnya dan mencari cara ‘bagaimana’ mencapainya. Saya seringkali menjadi ignorant dengan hal yang lebih penting lagi daripada jawaban-jawaban pertanyaan ‘apa’ dan ‘bagaimana’ tersebut.

Sewaktu saya sekolah, saya sering didoktrin kalau Universitas Negeri adalah Universitas paling top sehingga saya pun terpengaruh untuk masuk Universitas Negeri karena bila tidak guru saya berkata bahwa hidup saya akan menjadi biasa-biasa saja. Untuk bisa masuk Universitas Negeri, saya mengikuti bimbingan belajar yang mengajari rumus cepat untuk memecahkan soal-soal. Padahal rumus cepat tersebut pun sifatnya kontekstual. Tetapi karena saya cuma ingin tahu bagaimana bisa masuk perguruan tinggi negeri, saya tidak peduli apapun di luar hal tersebut. Karena saya lebih sering dikelilingi dengan orang-orang yang hanya peduli dengan apa dan bagaimana, saya menjadi tidak kritis dan hanya tertuju pada jalan pintas.

Setelah saya observasi, ternyata di lingkungan sekitar saya banyak juga yang lebih peduli dengan ‘apa’ dan ‘bagaimana’. Saya memiliki dua orang tetangga yang beberapa bulan yang lalu mengatakan kepada saya kalau mereka bercita-cita untuk menjadi orang kaya. Karena ‘apa’ yang mereka tuju adalah menjadi orang kaya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk melakukan riset mengenai ‘bagaimana’ menjadi orang kaya. Salah satu dari mereka memilih untuk menjadi anggota multi-level marketing (MLM) karena ia melihat banyak orang yang menjadi kaya setelah menjadi anggota MLM. Yang satunya lagi memilih untuk menaruh banyak uang untuk mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena konon desas-desusnya banyak anggota DPR yang kaya raya. Singkat cerita yang satu tidak berhasil memiliki rumah mewah dan BMW sebagaimana di-advertise oleh MLM yang bersangkutan karena ternyata di MLM terjadi banyak penipuan dan MLM yang bersangkutan akhirnya menjadi bangkrut. Sedangkan yang satu lagi nasibnya cukup naas karena partainya tidak mendapatkan suara yang tinggi di pemilihan umum legislatif yang lalu.

Setelah saya telusuri lebih lanjut ternyata bukan hanya orang-orangnya saja yang lebih fokus pada ‘apa’, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia pun banyak yang tidak memiliki purpose. Visi dan misi perusahaannya lebih cenderung untuk menjadikan dirinya besar daripada membuat lingkungan sekitarnya menjadi lebih besar. Saya ingin mengambil contoh visi dari dua perusahaan terbesar di Indonesia:

  1. Menjadi Lembaga Keuangan Indonesia yang paling dikagumi dan selalu progresif.
  2. Menjadi penyedia layanan dan solusi mobile digital lifestyle kelas dunia yang terpercaya.

Seperti kita lihat dari visi kedua perusahaan tersebut, fokus kedua perusahaan tersebut adalah perusahaan itu sendiri, menjadikan dirinya lebih besar. Banyak perusahaan di Indonesia yang memulai dengan ingin menjadi ‘apa’ — menjadi perusahaan terbesar, paling dikagumi, berkelas dunia, paling kaya, paling handal, bisa menyenangkan stakeholder dsb.

Hingga hari ini saya hampir sampai pada kesimpulan kalau mayoritas masyarakat Indonesia sepertinya lebih peduli dengan ‘apa’ dan ‘bagaimana’ daripada ‘kenapa’. Yang karena hal tersebut bangsa Indonesia lebih sering menjadi bangsa konsumen daripada bangsa inovator.

Pada akhirnya pada saat saya pertama kali masuk dunia kerja, ketika saya sering melihat bagaimana buruknya dunia kerja software development, saya mulai tertarik dengan ‘kenapa’ daripada ‘bagaimana’. Saya mulai merevolusi cara saya berpikir dan melihat suatu masalah. Pertanyaan-pertanyaan yang sering saya tanyakan kepada diri saya pada waktu itu:

  1. Kenapa delivery software seringkali terlambat jauh dari tanggal yang telah ditentukan?
  2. Kenapa kontrak pengerjaan software menjadi harus lebih mahal dari yang sudah diprediksi sebelumnya?
  3. Kenapa kualitas software ini tidak sesuai harapan kostumer padahal dokumentasi yang dibuat oleh manajer proyek, system architect dan business analyst yang handal ini sudah memakan waktu berbulan-bulan?
  4. Kalau memang Waterfall lebih sering gagal, kenapa masih banyak yang menggunakannya?
  5. Kenapa politik dalam kontrak software development begitu kental sampai harus ada sistem denda setiap kali delivery terlambat?
  6. Kenapa software developer seringkali harus kerja hingga larut malam dan mencurahkan isi hatinya tersebut di forum kaskus?
  7. Kenapa turnover dalam industri teknologi informasi di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan industri lainnya?

Seburuk inikah wajah industri software development? Kenapa berbeda sekali dengan apa yang saya alami pada saat kuliah dimana software development begitu menyenangkan? Kenapa software development harus menjadi tidak menyenangkan lagi dalam dunia kerja?

Hal yang lebih buruk lagi yang sering saya lihat adalah banyaknya manajer proyek software di Indonesia yang mengira kalau mereka sudah melakukan hal yang benar karena mereka sudah mengikuti tata-cara manajemen proyek yang benar berdasarkan pedoman manajemen proyek setebal empat ratus halaman namun ketika proyeknya tidak berhasil mereka masih melakukan hal yang sama lagi secara berulang-ulang berdasarkan buku pedoman tersebut.

Bagaimana caranya mengelola proyek software? Cari saja jawabannya di buku tata-cara manajemen proyek yang paling tebal. Semakin tebal berarti semakin lengkap dan semakin dapat membantu kita. Masih ingat kuliah manajemen proyek waktu kuliah dulu kan? Coba cari jawabannya dari situ saja.

Dan ketika mereka masih gagal, mereka bukannya mencari cara lain yang revolusioner tetapi mereka masih saja melakukan hal yang sama tetapi kali ini lebih intensif.

Bagaimana supaya proyeknya tidak gagal lagi? Fase user requirement gatheringnya kurang lama sih jadi user masih merubah-rubah requirement. Bila semakin lama maka requirementnya akan semakin jelas sehingga tidak akan ada perubahan di tengah proyek maka proyek tidak akan gagal.

Manajer proyek yang diharapkan untuk menjadi thought leader di dalam organisasi dan men-challenge status quo ternyata tidak menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Mereka bukannya mencari cara revolusioner yang dapat memperbaiki software development dan meningkatkan taraf hidup orang-orang di sekitarnya tetapi mereka masih saja melakukan cara yang sama secara berulang. Dan yang lebih disayangkan lagi adalah kalau budaya berpikir seperti ini juga turun ke para software developer yang mereka ‘manage’. Kalau menurut Einstein, ini namanya kedunguan yang dilakukan secara repetitif.

Insanity: doing the same thing over and over again and expecting different results. — Albert Einstein

Hingga akhirnya dari pertanyaan-pertanyaan saya yang saya mulai dengan ‘kenapa’ tersebut saya akhirnya menemukan Scrum yang ternyata menjawab mayoritas pertanyaan-pertanyaan saya seputar permasalahan dalam software development. Scrum memang tidak dapat menjawab semua permasalahan seputar software development, tetapi kerangka berpikir yang disediakan oleh Scrum memaksa saya untuk mencari jawabannya dengan memulai pertanyaan untuk permasalahan dengan ‘kenapa’. Dan dari konsep berpikir seperti itu, ternyata saya menemukan bahwa saya tidak membutuhkan buku pedoman manajemen proyek yang beratus-ratus halaman tebalnya untuk menjawab permasalahan dalam industri software development, saya cuma perlu sering mengobservasi lingkungan di sekitar saya dan berbicara dengan orang-orang di sekitar.

Dan dari Scrum, saya juga menemukan sebuah organisasi yang memiliki visi yang sama dengan saya, yang mana visinya ini bukanlah dirinya sendiri tetapi orang-orang di sekitarnya:

A world in which all software developers love their work, and their customers love working with them.

Fokus utamanya bukanlah perusahaan itu sendiri, namun menjadikan software developer dan kostumer mereka menjadi lebih hebat dari hari ini. Perusahaan tersebut menjadikan dirinya terakhir dan menjadikan orang-orang disekitarnya menjadi lebih hebat sebagai fokus utama. Wow, how is that for a purpose? Sangat berbeda dengan mayoritas perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang orientasinya adalah dirinya sendiri dan tidak memiliki purpose. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah masih banyak perusahaan di Indonesia yang hingga hari ini masih belum tahu apa purpose-nya. Dan perusahaan-perusahaan tersebut justru yang bertanya kepada saya kenapa mereka tidak bisa mendapatkan pegawai yang engaged.

Mungkin bila organisasi lebih sering memulai pertanyaan dengan ‘kenapa’ daripada hanya fokus pada ‘apa’ dan ‘bagaimana’, banyak jawaban dari permasalahan yang dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan bisa ditemukan di dalam organisasi itu sendiri dan organisasi tersebut bisa menjadi organisasi yang bergerak terhadap sebuah purpose bukan menuju profit.

  1. Kenapa turnover di perusahaan kita begitu tinggi?
  2. Kenapa software developer di organisasi kita tidak engaged dan tidak kreatif?
  3. Kenapa institusi pendidikan di Indonesia tidak bisa menghasilkan sumber daya manusia yang engaged dan kreatif untuk industri software development di Indonesia?
  4. Kenapa kita tidak bisa mendapatkan software developer yang bukan kuli kode bergabung dengan organisasi kita?
  5. Kenapa software development project harus begitu mahal?
  6. Kenapa kostumer harus membayar mahal untuk sebuah dokumentasi proyek yang seringkali memakan waktu berbulan-bulan untuk disiapkan?
  7. Kenapa kostumer harus membayar 20% dari total harga proyek untuk sebuah dokumentasi dan arsitektur saja?
  8. Kenapa butuh waktu berbulan-bulan untuk mengembangkan software?
  9. Kenapa software development di organisasi kita has to be so sucks?
  10. Kenapa kita masih melakukan hal yang sama untuk mengantisipasi perubahan dalam proyek?
  11. Kenapa kita masih memerlukan manajer proyek untuk proyek software development?
  12. Kenapa kita harus mengembangkan software dengan cara seperti ini? Kenapa cara kita mengembangkan software masih sama dengan 20 tahun lalu?
  13. Kenapa kita masih menggunakan metode yang sama di dalam industri software development yang bergerak begitu cepat?
  14. Kenapa kita masih menggunakan metodologi Waterfall ketika belahan dunia lain mulai meninggalkannya?

Dan dalam jangka panjang ketika budaya memulai memecahkan masalah dengan menanyakan ‘kenapa’ terlebih dahulu ini dilakukan secara konstan dan konsisten, organisasi tersebut bisa menjadi sebuah knowledge organisation yang selalu men-challenge status quo daripada hanya mengharapkan jalan pintas dan hanya fokus pada ‘bagaimana’.

Bayangkan bila ada sebuah komunitas atau sebuah tribe di Indonesia yang berisi perusahaan-perusahaan yang memiliki sebuah purpose dan para thought leaders yang memiliki purpose, yang selalu men-challenge status quo, yang selalu berpikir, senang bertanya ‘kenapa’ dan mencari cara yang revolusioner untuk meng-improve software development.

Silahkan dibayangkan.

--

--

Konten tentang Scrum
Modern Management

Bukan hanya konten tentang Scrum, tapi disini kita akan ngobrolin Scrum yang efektif agar kostumer happy dan para pegawai juga happy dan menghasilkan cuan.