Pseudoharmonic

Danu.
monsyouth
Published in
3 min readMay 8, 2019

Seumpama revolusi tak lebih dari persoalan subversi, apakah masih ada di antara kamu yang menganggap bahwa: dunia ini baik-baik saja?

Siapa sangka fikrah ‘pembebasan’ telah menjalar-jalar mencari jalan keluar. Kalau-kalau ia membuncah, kita sudah siap menerima kenyataan bahwa liberasi tak lagi mengenal sirkumtansi. Dengan sedemikian rupa, jiwa manusia ditelanjangi kebebasan. Dari batang otak hingga batang kemaluan.

Di sanalah keresahan mulai muncul. Apabila kebebasan menjadi kiasan yang begitu elok, kenapa di antara kita masih saja ada yang berlomba-lomba untuk memenjarakan diri sendiri?

Terpenjara harmoni.

Beruntunglah bagi siapa saja yang bangun tidur dengan kehendak. Sebab, di situlah kebebasan akan hadir dan terjerembap. Lantas, bagaimana nasib mereka yang bangun dengan perasaan terjebak?

Terus terang saja, kamu tidak sendiri.

Dialek

Setiap hari, otak kita berusaha mencacah-cacah kembali impuls untuk membohongi diri sendiri. Dalam pengertian yang kolektif, impuls itulah yang kita sebut memori. Sebagaimana memori membohongi kesadaran kita akan kebenaran, dengan piawai kita berdalih kalau begitulah adanya ‘kebenaran’. Dari dalam. Dari diri kita sendiri. Dan di situ pula kita menyadari bahwa kebenaran seolah-olah menjelma menjadi pelarian dari bahaya laten paranoia manusia.

Bayangkan seluruh umat manusia di muka bumi ini mengalami amnesia secara serentak. Yakinlah, ‘chaos’ akan terjadi dan mungkin butuh jutaan tahun untuk kembali mencocokkan ‘order’. Sudah selaiknya, aku, Anda — kita ,bahu-membahu dan mencari tahu keadaan sekeliling dengan eksplanasi yang paling sederhana dan konkret. Melalui proses kognisi yang simultan, kita hanya akan bergantung kepada siapa yang lebih dulu menyampaikan kebohongan ke dalam otak kita. Di sanalah kebohongan disampaikan, hingga menjelma menjadi kebenaran mutlak.

Konsep tersebut menggiring kita ke dalam harmoni. Yang batu batanya adalah dusta. Dan semennya itu retorika. Akan tetapi, kita senang, eh? Terjebak dan bersuka cita pada euforia.

Sembari menikmati harmoni dan menelanjangi diri sendiri, kita sadar bahwa kita telah menjadi manusia yang angkuh. Narasi kebenaran menjadi translasi yang tak lagi kita pertanyakan, alih-alih menjaga kenyamanan bersama.

Toleransi, heh.

Toleransi menjadi merek dagang yang enggan memberi potongan harga. Hingga tak lagi ia berharga, apalagi yang akan diperdagangkan selain nyawa kita sendiri?

Entah, tiba-tiba saja, semua orang ingin melawan kebebasannya sendiri.

Membebaskan atau Dibebaskan?

Barangkali, rasa sepi mulai menggerogoti ketika seluruh manusia benar-benar ‘bebas’. Bagi siapa saja yang menolak sistem, rasa sepi bukanlah ganjaran. Justru, kesendirianlah yang akan ramai diperbincangkan. Masalahnya: siapa lagi yang akan dibebaskan?

Naif memang. Namun, bersandiwara dengan harmoni dan kebebasan telah membikin kita stagnan. Siapa saja di sekitar kita menjadi alergi membicarakan sistem. Tapi, pada kenyataannya tak bisa berbuat banyak. Interdependensi sudah kita telan mentah-mentah sejak lahir. Hingga di usia menjelang dua setengah dekade ini, mencuat pertanyaan yang amat dikotomis:

kamu di dalam sistem atau di luar sistem?

Aku sendiri bergidik kalau ditanya begitu.

Tak ada bedanya. Walaupun manusia pandai berkontemplasi, kebebasan bukanlah wahyu yang diturunkan Tuhan. Bukan pula etalase berisi pernak-pernik yang bisa dipilah-pilih. Dipinjam, lalu dikembalikan. Tetapi, kebebasan dapat dimunculkan dalam diri siapa saja. Hanya saja, beberapa dari kita abai dengan insentif-insentif yang perlu dipertaruhkan. Tentunya bagi individu yang terkungkung doktrin, identitas, nilai, gender dan pemaknaan kontrak sosial lainnya — maaf saja, kalau mereka tidak layak mendapatkan kebebasan. Bagi mereka, kebebasan tak lebih dari transportasi untuk mewujudkan ego dengan cara yang narsistik.

Baginya, itu merdeka. Aku, menerka-nerka. Sungguh, makhluk yang terpenjara.

Bagi mereka yang ingin dibebaskan, segala hal yang kita bicarakan dari awal hanyalah pendaran-pendaran cahaya petromak. Sayup dan menjemukan. Selagi malam masih larut, gelap akan menggelayut membenamkan nyalanya. Lalu mati seketika. Selepas malam, pagi hanyalah keesokan hari yang tak kunjung datang.

Sampailah kita. Meneguk fakta kalau ‘kebebasan’ hanya corak-corak fatamorgana. Ada, tapi tak terjamah. Semu. Namun secara bersamaan … membikin hidup bersosial lebih harmonis.

Pseudoharmonic.

Lalu?

Selagi kebebasan diartikan sebagai perlawanan, kekuasaan akan hadir di tengah-tengahnya. Maka, piaslah wajah-wajah pemberontak mungil itu, menyadari bahwa ‘pembebasan’ semakin semu dan bias. Ia hanya akan menjadi ruang kosong yang meminta diisi … tapi tak kunjung terisi.

Bilamana kebebasan tak lagi bertajuk harmoni yang padu padan, akan ke mana lagi kita melarikan diri?

--

--