Belenggu Kata “Harus” dan “Seharusnya”

Darmawan Aji
Motiva
Published in
6 min readMar 9, 2021

--

Di artikel sebelumnya saya menulis bahwa kita cenderung menunda bila dihadapkan tugas yang aversif — tugas yang sulit atau tidak menyenangkan. Penundaan juga seringkali terjadi saat kita merasakan mood yang buruk. Perasaan sangat memengaruhi perilaku menunda.

Oya, sebelum lanjut, materi artikel ini adalah cuplikan sebagian kecil dari materi di Kelas Anti Penundaan yang saya adakan bulan ini.

Bila kita ingin mengubah sebuah perilaku atau kebiasaan (termasuk menunda), amati self-talk kita. Bahasa dan kata-kata yang kita gunakan dalam self-talk memengaruhi apa yang kita rasakan. Apa yang kita rasakan ujungnya memengaruhi apa yang kita lakukan.

Menurut Neil Fiore, Ph.D. dalam buku The Now Habit, ada dua kata yang acapkali menciptakan perilaku menunda-nunda. Dua kata tersebut adalah “harus” dan “seharusnya.” Dalam kajian linguistik, kata “harus” dan “seharusnya” masuk dalam kategori Modal Operator. Apa itu modal operator? Modal dalam ilmu lingusitik adalah pernyataan yang digunakan untuk pembenaran sebuah keharusan atau kemungkinan. Sementara Operator adalah kata penghubung yang digunakan. Contoh kata yang masuk dalam kategori modal operator: harus, seharusnya, mungkin, tidak mungkin, bisa, tidak bisa. Dalam ilmu NLP, harus dan seharusnya masuk dalam sub kategori modal operator of necessity.

Keharusan atau Pilihan?

“Saya harus mulai sekarang.”

“Saya harus mengerjakannya.”

“Saya harus menuntaskannya.”

Saat kita menggunakan kata “harus” seperti di atas, biasanya kita belum memulai, mengerjakan, atau menuntaskan sesuatu. Apa yang kita lakukan menggunakan kata “harus” adalah berusaha memaksa diri agar mau melakukannya.

Perhatikan, secara linguistik, kata “harus” memiliki makna: Saya tidak ingin melakukannya, tetapi saya dipaksa untuk melakukannya.

Contoh:

“Saya harus mengerjakan laporan ini.”

Kalimat ini bermakna: saya tidak ingin mengerjakan laporan, tetapi mau tidak mau — terpaksa, saya mengerjakannya.

Kita menggunakan kata “harus” ketika ingin melakukan pembenaran terhadap perilaku yang kita pilih. Padahal, tidak ada hal yang benar-benar harus di atas bumi ini. Kita selalu diberi pilihan: melakukan atau tidak. Tentu saja, setiap pilihan ada konsekuensinya, ada dampaknya. Seringkali, kita menggunakan kata “harus” karena ingin menghindari dampak negatifnya.

Perhatikan kembali contoh kalimat di atas. Makna kalimat tersebut yang lebih lengkap mungkin:

Saya tidak ingin mengerjakan laporan, tetapi mau tidak mau — terpaksa — tidak ada pilihan lain, selain mengerjakannya. Kalau saya tidak mengerjakannya, atasan saya akan marah dan mungkin saya akan mendapatkan penilaian kinerja yang buruk.

Jadi, kita merasa harus mengerjakan laporan sebenarnya karena kita takut dampak negatifnya (atasan marah atau penilaian buruk). Namun, kata “harus” memiliki kesan terpaksa. Seakan-akan tidak ada pilihan lain. Akibatnya, saat kita menggunakan kata “harus” kita merasa terpaksa saat melakukannya. Saat menggunakan kata “harus” kita akan merasa diri kita menjadi yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kita tidak sukai. Sehingga hilanglah kebebasan dan kegembiraan dalam mengerjakan sesuatu.

Tak heran bila Stephen Covey, memperingatkan kita akan kata ini. Dalam buku 7 Habit of Highly Effective People, Covey mengatakan bahwa kata “harus” mengisyaratkan bahwa kita tidak punya pilihan lain. Kita menggunakan kata “harus” seringkali untuk menjauh dari tanggung jawab. Beliau bercerita (saya modifikasi terjemahannya supaya lebih kontekstual):

Suatu hari seorang siswa bertanya kepada saya: “Apakah Anda mengizinkan saya untuk tidak mengikuti kelas? Saya harus mengikuti tur tenis.”

“Kamu harus pergi, atau kamu memilih untuk pergi?” Saya bertanya.

“Saya benar-benar harus pergi,” ia bersikeras.

“Apa yang akan terjadi bila kamu tidak pergi?”

“Mereka akan menendang saya dari tim.”

“Apakah kamu menyukai konsekuensi tersebut?”

“Saya tidak menyukainya.”

“Dengan kata lain, kamu memilih untuk pergi karena kamu ingin tetap berada di dalam tim. Lalu, apa yang akan terjadi bila kamu tidak mengikuti kelas?”

“Saya tidak tahu.”

“Berpikirlah lebih keras. Kira-kira apa konsekuensi alami dari tidak mengikuti kelas?”

“Anda tidak akan menendang saya keluar kan?”

“Tentu tidak. Jika kamu tidak berpartisipasi dengan tim tenis, kamu tidak akan bermain — kamu akan dikeluarkan dari tim. Itu konsekuensi alami. Namun, jika kamu tidak hadir di kelas, apa kira-kira konsekuensi alaminya?”

“Saya kira, saya akan tertinggal pembelajaran.”

“Nah! Maka, kamu perlu menimbang konsekuensi ini dengan konsekuensi lainnya dan membuat pilihan. Saya tahu, bahwa jika itu saya, saya akan memilih ikut tur tenis. Namun, jangan pernah berkata bahwa kamu harus melakukannya.”

“Saya memilih untuk pergi ke tur tenis,” Ia menimpali.

“Dan tidak mengikuti kelas saya?” Saya menguatkan.

Keharusan & Penundaan

Kata “harus” itu bersifat otoriter — memerintah dan memaksa. Masalahnya, diri kita tidak suka dipaksa. Saat dipaksa, apa yang terjadi? Pikiran bawah-sadar dan tubuh kita berontak. Muncul resistensi, konflik internal, ketidakselarasan. Ini adalah respon alamiah. Pikiran sadar kita mengharuskan, namun tubuh (baca: pikiran bawah-sadar) kita menolak. Lalu, terciptalah kondisi stress. Kita merasa tertekan karena dipaksa melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. Akhirnya, muncullah perasaan tidak nyaman untuk mengerjakan pekerjaan tersebut dan respon kita untuk mengatasinya adalah dengan menunda.

Seharusnya, Penyesalan, dan Penundaan

Bila kata “harus” menciptakan tekanan, maka kata “seharusnya” menciptakan penyesalan. Kita sebenarnya sedang mengeluh dan menyesal saat menggunakan kata “seharusnya.” Dan itu tidak mengubah apapun.

Kata “seharusnya” aslinya bermakna “saya tidak suka dengan apa yang terjadi dan saya akan mengubahnya.” Namun, ia mengalami pergeseran makna sehingga maknanya menjadi “saya marah dan kecewa tentang apa yang terjadi, saya merasa buruk dan akan mengeluh tentang hal ini.”

Pada saat kita menggunakan kata “seharusnya,” kita membandingkan fakta yang ada dengan imajinasi dan harapan kita. Alih-alih memotivasi kita, membandingkan dengan kata “seharusnya” justru membuat kita kecewa dan menyesal. Baca kalimat berikut ini dan amati apa yang Anda rasakan:

  • “Saya seharusnya mulai lebih awal.”
  • “Seharusnya ini sudah selesai.”
  • “Seharusnya ada yang membantu saya mengerjakan hal ini.”
  • “Seharusnya saya bisa seperti dia.”
  • “Saya tidak seharusnya menunda-nunda.”
  • “Saya tidak seharusnya mengerjakan hal ini.”

Apa yang Anda rasakan? Apakah Anda jadi termotivasi? Atau justru Anda merasa depresi dan kehilangan harapan?

Saat kita menggunakan kata “seharusnya” rasa yang terpicu adalah penyesalan dan depresi. Kedua emosi ini akan membuat kita makin menunda mengerjakan tugas yang perlu dikerjakan. Ingat, penundaan adalah mekanisme untuk “lari” dari emosi yang tidak menyenangkan.

Ubah Bahasa Anda, Atasi Penundaan Anda

Kata “harus” dan “seharusnya” mengirimkan sinyal komunikasi yang tidak jelas kepada tubuh kita. Pada saat kita berkata “saya harus mulai” atau “saya seharusnya mulai mengerjakannya,” pesan yang kita kirimkan ke tubuh kita tidak jelas:

  • Apa yang akan dimulai?
  • Kapan mulainya?
  • Dimana memulainya?
  • Bagaimana memulainya?

Maka, terapi untuk situasi seperti ini adalah melatih diri kita untuk berpikir lebih kongkrit dan jelas. Pada saat kita mengubah bahasa kita, perasaan kita pun berubah. Tubuh dan pikiran akan bekerjasama untuk melakukan karena tindakan dan keinginan lebih selaras.

Langkah #1 — Sadari Self-Talk Anda

Self-Talk, apa yang kita katakan pada diri sendiri memengaruhi apa yang kita rasakan. Kata-kata yang kita gunakan dalam self-talk adalah cermin dari pikiran kita. Bagaimana kita berkata, demikianlah kita berpikir.

Berlatihlah untuk menyadari penggunaan bahasa yang mencerminkan:

  • Sikap reaktif
  • Menyalahkan
  • Keharusan
  • Penyesalan

Lalu, berlatihlah untuk melakukan self-talk dengan:

  • Bahasa proaktif, bukan reaktif.
  • Fokus pada solusi, bukan pada menyalahkan.
  • Pilihan, bukan keharusan.
  • Apa yang akan Anda lakukan bukan menyesali apa yang sudah terjadi.

Langkah #2 — Ubah Keharusan Menjadi Pilihan

Lakukanlah sesuatu karena Anda memilih untuk melakukannya. Lakukanlah sesuatu karena Anda memutuskan untuk melakukannya. Lakukanlah sesuatu karena Anda ingin melakukannya.

“Saya memilih untuk mengerjakan tugas ini.”

“Saya memutuskan untuk mengerjakan tugas ini.”

“Saya ingin mengerjakan tugas ini.”

Rasanya berbeda bukan?

Langkah #3 — Perjelas Niat Anda

Kalimat niat (implementation intention) sudah terbukti mengatasi penundaan. Alih-alih Anda berkata pada diri sendiri “saya seharusnya mulai mengerjakannya” berkatalah:

“Saya akan melakukan apa, pada kapan dan dimana.”

Saya pernah menunda-nunda posting konten di Youtube. Setelah saya amati, ternyata ada kalimat-kalimat berikut dalam benak saya:

“Saya seharusnya lebih konsisten posting di Youtube.” (makna: orang lain yang mulainya sama dengan kamu sekarang sudah jutaan subsrcibernya, kamu?”

“Saya seharusnya mulai lebih awal.” (makna: percuma mulai lagi)

“Saya seharusnya bisa membuat konten yang nampak lebih profesional.” (makna: jangan posting video yang seadanya, malu-maluin)

Kalimat-kalimat ini menghambat saya untuk memulai kembali. Jika dipertahankan, semua ini tidak mengubah apapun. Hanya memperbanyak keluhan terhadap fakta yang saya alami saat ini. Maka, daripada mengeluh, mengapa tidak saya ganti dengan pernyataan niat yang lebih jelas. Maka, saya mengubah self-talk saya menjadi:

“Niat saya posting konten Youtube bukan untuk mendapatkan like, komen, share. Niat saya posting konten Youtube adalah untuk berkontribusi dalam menciptakan konten yang positif di sana.”

Lalu saya memperbaharui niat saya dengan kalimat implementation intention:

“Saya akan posting konten video baru di Youtube setiap hari Ahad sore.”

Bahasa memengaruhi pikiran, pikiran memengaruhi perasaan, perasaan memengaruhi perilaku.

Bila teman-teman tertarik mengenali akar penundaan dan solusi permanen untuk mengatasinya, silakan baca informasi terkait Kelas Anti Penundaan di tautan ini.

--

--

Darmawan Aji
Motiva

Productivity Coach. Penulis 7 buku pengembangan diri. IG @ajipedia Profil lengkap: darmawanaji.com