Penundaan itu Selalu Masuk Akal
Setiap penundaan memiliki justifikasi — pembenaran dan logika di balik penundaan tersebut. Justifikasi ini kita lakukan agar perasaan bersalah yang kita rasakan sedikit reda. Agar pikiran kita selaras dengan perilaku menunda kita.
Dari mana perasaan bersalah ini datang? Dari disonansi kognitif yang kita alami. Saat kita berniat melakukan sesuatu lalu menundanya (baca: tidak melakukannya). Kita akan mengalami disonansi kognitif. Disonansi kognitif adalah kondisi yang kita alami saat tindakan dan keyakinan kita bertentangan. Saat disonansi terjadi, kita merasa tidak nyaman. Perasaan yang muncul bisa rasa bersalah, malu, kesal pada diri sendiri dsb.
Kita sebagai manusia tentu tidak suka dengan perasaan tidak nyaman semacam ini. Maka, kita pun melakukan proses justifikasi agar disonansi kognitif ini mereda. Ada empat justifikasi yang biasanya kita lakukan.
Pertama, mencari pembenaran atas keputusan kita.
Kedua, menyangkal tanggung jawab.
Ketiga, mengubah keyakinan.
Keempat, melakukan pengalihan.
Keempat hal di atas kita lakukan di level pikiran dan tindakan untuk meredakan perasaan tak nyaman akibat disonansi kognitif yang kita alami.
Misalnya, Anda berniat jogging suatu pagi. Namun, karena gerimis, Anda menundanya. Saat ini terjadi, ada rasa tidak nyaman. Maka, biasanya Anda melakukan salah satu dari empat justifikasi di atas.
Pertama, mencari pembenaran atas keputusan kita. Misalnya dengan berkata pada diri sendiri:
“Tujuan jogging kan supaya sehat, kalau hujan-hujanan nanti malah sakit”
“Hanya hari ini kok liburnya, itu juga karena gerimis, aku ganti besok.”
“Saya bukan tidak berolahraga, saya hanya libur jogging sekali ini.”
“Kan cuma libur jogging, bukan berhenti berolahraga.”
Kedua, menyangkal tanggung jawab. Bahkan menyalahkan pihak luar.
“Bukan salah saya tidak jadi jogging, tiba-tiba hujan sih.”
Ketiga, mengubah keyakinan kita. Kadang kala sampai kita menipu diri sendiri.
“Ah, cuma jogging. Ini bukan urusan akhirat. Nggak terlalu penting.”
“Yang penting kan olahraganya, bukan joggingnya.”
Keempat, melakukan aktivitas untuk mengalihkan pikiran. Tujuannya mendistraksi diri sendiri, agar lupa atau tidak terus menerus merasa bersalah. Misalnya, saat batal jogging kita lalu menyibukkan diri dengan mencuci baju. Dengan demikian kita tetap merasa produktif. Ini sebenarnya bentuk nyata dari penundaan.
Untuk menyembuhkan penundaan, sadari disonansi kognitif yang terjadi. Jadikan empat justifikasi di atas sebagai sinyal penundaan. Agar perasaan bersalah hilang dan konflik batin reda, sebaiknya, saat merasakan disonansi karena menunda, segeralah bertindak. Jangan menunda lagi. Pikirkan langkah pertama yang termudah, lalu lakukan. Niatkan: “Jika saya menemukan diri saya mengalami disonansi akibat sebuah tugas, maka saya akan segera mulai mengerjakan tugas tersebut.”
Contoh lainnya, Anda menunda-nunda berinvestasi untuk masa tua Anda. Justifikasi yang Anda lakukan mungkin salah satu dari berikut ini:
Pertama, pembenaran.
“Yah, masih lama lagian. Nanti lah nunggu income saya agak banyakan. baru investasi”
“Saya sibuk dan ilmu investasi saya belum mumpuni, nanti kalau saya rugi gimana?”
Kedua, penyangkalan.
“Investasi masa tua kan tanggung jawab dua orang, bagaimana saya bisa berinvestasi kalau istri saya masih banyak kebutuhan yang harus dibeli?”
“Saya bukannya tidak berinvestasi, saya sedang melengkapi keilmuan saya tentang investasi.”
Ketiga, mengubah keyakinan.
“Uang tidak dibawa mati. Gak perlu lah investasi. Rejeki sudah ada yang ngatur.”
Keempat, pengalihan.
Misalnya dengan sibuk belajar, baca buku, dan ikut kelas-kelas investasi. Sehingga merasa sudah berinvestasi, meskipun nyatanya belum melakukan apa-apa.
Saya jadi ingat sebuah kutipan populer:
“Jika ingin sukses, tinggalkan alasan. Jika ingin beralasan, tinggalkan kesuksesan.”
Nah, dari keempat justifikasi di atas, mana yang paling sering Anda lakukan?
—
Temukan akar penundaan dan solusinya di Kelas Anti Penundaan >> https://bit.ly/anti-penundaan