Artificial Intelligence: Membantu Manusia Belajar tentang Manusia
Penulis: Rayhan Rashad Salusra
Editor: Aldi Dwi Putra
Masa depan telah tiba dan jauh lebih cepat daripada prediksi kita semua. Dari sistem prediksi pada perusahaan finansial hingga alat pendeteksi suara seperti Siri pada smartphone, kemajuan teknologi bahkan sudah pada tahap dimana robot akan ‘bertingkah’ selayaknya manusia biasa. Pengembangan Artificial Intelligence (AI) ini sering memunculkan banyak perdebatan dan pertanyaan seperti:
“Akankah pekerjaan manusia tergantikan robot? Apakah identitas manusia juga digantikan robot?
Dibalik semua kontroversi akan krisis yang diakibatkan oleh pengembangan AI, justru terdapat suatu dorongan untuk kita (manusia) untuk lebih mengenal dan menyadari potensi yang, bila tidak menyentuh perkembangan teknologi AI, mungkin saja tidak akan didalami.
AI dan Penerapannya
Artificial (buatan) Intelligence (kecerdasan), menurut Merriam-Webster, adalah ‘kemampuan/kapabilitas permesinan untuk berfungsi dan beroperasi sesuai dengan presepsi pada lingkungannya’. Berdasarkan definisi tersebut, AI sebenarnya bisa meniru berbagai makhluk hidup, tidak harus manusia. Namun, perkembangan AI saat ini cukup banyak difokuskan dan dimodelkan berdasarkan cara kerja dan fisiologi tubuh manusia.
Neural Networks (NN)
Neural networks adalah cabang produk AI yang berusaha mengimitasi cara kerja otak manusia. Prinsip kerja NN adalah terdapat suatu input dan output awal pada sutatu sistem. Lalu, NN akan menyesuaikan input-input yang diberikan melalui (re)konfigurasi pada ‘black box/hidden layer’ dalam sistem tersebut agar diperoleh output yang diharapkan.
Contoh: Saat belajar menaiki sepeda, sudah wajar bila awalnya sering jatuh. Maka kita menyesuaikan ‘input’ yang kita berikan (dalam hal ini adalah menyerong tubuh untuk menyeimbangkan diri) agar sepeda tidak terjatuh (output yang diharapkan). Walaupun dalam banyak kasus kita tidak bisa mengidentifikasi ‘black box/hidden layer’nya, umumnya manusia bakal dapet feeling atau sense untuk apa yang harus dirubah/disesuaikan.
Machine Learning (ML)
Pasti sudah pernah mendengarnya kan? ML adalah salah satu produk paling terkenal dari AI. Cara kerjanya sama seperti layaknya suatu model yang ‘terlatih’. Makin banyak ‘latihan’ yang diberikan kepada model, makin bagus performa model tersebut.
Contoh: Saat seorang siswa sedang mempersiapkan ujian, siswa tersebut berusaha memperbanyak ‘latihan’ tersebut dengan soal-soal, try out, dst. Hal ini bertujuan untuk terus meningkatkan kualitas pemahaman pelajaran (model) siswa dengan harapan memeroleh nilai tertinggi (performa dilihat dari tinggi/rendahnya nilai ujian).
Robotika
Kalau yang ini sih tentunya sudah tidak asing lagi. Tampak manusia ‘sintetik’ berbadan penuh baja atau silikon ini pun kerap ditayangkan pada film-film terkenal seperti Iron Man. Selain kemajuan teknologi AI dalam bentuk Jarvis, kostum merah bata tersebut dimodelkan berdasarkan fisiologi tubuh Tony Stark looh. Jadi, selain bentuk tubuh saja, kemajuan AI pada robotika juga memperhatikan faktor-faktor internal tubuh seperti biomekanika dan bahkan kerja organ-organ tubuh pun juga berusaha diimitasikan.
Lalu, ini semua tuh membantu kita gimana sih?
Kita udah tau cara beberapa produk AI bekerja, tapi sebenernya gunanya apa sih kita tau itu? Bukankah justru dengan memperdalam riset / pengembangan AI, manusia semakin obsolet atau tidak relevan? Nah, disinilah potensi yang sebenernya ada untuk kita pelajari, namun mungkin karena terbawa suasana akan perubahan, susah untuk dipahami.
1. Perkembangan AI menuntut untuk mengenal diri kita sendiri
“The better you know yourself, the better your relationship with the rest of the world” — Toni Collette
Mengenal diri tentunya penting. Segala potensi, limitasi, dan interaksi yang kita lakukan dengan atau terhadap lingkungan sekitar kita pun secara langsung dan tidak langsung ‘membentuk’ kita menjadi kita sekarang. Secara fundamental, dikotomi mengenal diri dapat dibagi menjadi 2, yaitu mengenal diri secara mental dan mengenal diri secara fisik.
Mengenal diri secara mental mengacu pada kondisi abstrak yang terjadi pada otak kita. Logika kerja, perasaan, segala macam emosi, dan perwatakan diatur oleh mental state masing-masing individu yang tentunya berbeda-beda.
Mengenal diri secara fisik mengacu pada potensi dan limitasi yang tubuh kita dapat atau tidak dapat lakukan. Ada individu yang bertipe kuat begadang (mungkin 90% populasi mahasiswa kali yah) dan ada juga yang memang harus tidur dibawah jam tertentu (10% sisanya). Ada anak yang terlahir dengan otot motorik yang bagus sehingga lebih memiliki keunggulan dalam olahraga, ada juga orang yang gemuk yang memiliki keunggulan tidak perlu takut kehabisan cadangan makanan.
Mengacu pada teori kebutuhan Maslow, aktualisasi diri merupakan tingkat tertinggi yang manusia dapat lakukan dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan perkembangan AI, kita justru dituntut untuk lebih mengerti fisiologi manusia, lebih mengerti cara kerja otak manusia, lebih mengerti limitasi yang dimiliki manusia, dan juga, potensi yang dimiliki manusia.
2. Pengertian vs Penghafalan! Kita yang mana?
Pernah ga sih kita saat mau ada ujian nih, belom belajar sama sekali, ga ngerti apapun, mata pelajarannya malesin banget…skip deh pokoknya. Alhasil bakal SKS (Sistem Kebut Seikhlasnya), kita menuntut otak kita untuk menyimpan informasi sesuatu yang ‘ga tau apa’ dan ‘ga tau dapetnya dari mana’.
Ini cukup sejalan dengan argumentasi seorang filsafat, John Searle, dengan thought experiment bernama ‘The Chinese Room Argument’. Argumentasi ini berdasar pada komputer yang bekerja pada prinsip Turing machine dimana menurut beliau: Sebagus apapun instruksi yang diberikan, komputer hanya mampu mengingat dan mengulang kembali simbol/syntax yang diberikan tanpa mengerti apa maknanya. Alhasil, komputer akan terlihat dan terdengar fasih dalam berbahasa Cina, namun ‘tidak memiliki makna’ terkait apa yang diomongkan, hanya output audio atau teks.
Berbeda dengan mesin, kita cenderung berusaha mengasosiasikan segala sesuatu yang ada di ingatan kita. Bila kita sedang mengingat sebuah rumus, kita berusaha untuk mencari jembatan keledai; bila kita ingin mengingat suatu proses, kita dapat membuat sebuah lagu untuk mempermudah. Segala sesuatu yang ada di ingatan kita ada makna, bukanlah gabungan informasi saja.
Seiring perkembangan teknologi berbasis hafalan, terdapat sebuah ‘gap’ yang makin jelas memperlihat perbedaan antara esensi ingatan program dan manusia. Dengan ini, diharapkan perkembangan AI dapat juga membantu ‘memperlihatkan’ kita tentang bagaimana sebenarnya cara kita mengingat segala sesuatu.
3. AI: Cepat tapi imitatif, kalau manusia?
Dari mempelajari atau melihat cara kerja AI di lapangan kita tahu bahwa AI sangat cepat dan efisien. AI dapat menganalisis pola dari jutaan data dalam hitungan detik, bahkan mengerti pola berbicara manusia. Namun, bila kita kembali pada argumentasi bagian sebelumnya, kita juga lihat bahwa AI monotonus, imitatif. Mungkin saja AI dapat ‘menemukan’ sesuatu yang baru, namun kata ‘baru’ adalah pada konteks sesuatu yang sudah disisipkan pada model AI (oleh manusia); model yang diperoleh dari berbagai sumber, jutaan hingga miliaran jumlahnya dan hampir mustahil dikenal pola bagi mata manusia. Nah disini baru terdapat suatu kelemahan suatu program, dan esensi dari segala penemuan yang manusia telah lakukan sampai saat ini: kreativitas.
Menurut model yang dijelaskan pada paper Engineering Creativity in an Age of Artificial Intelligence oleh Mihaly Csikszentmihalyi, terdapat model yang menjelaskan ‘sumber ilmu’ yang dimiliki oleh AI pada prakteknya.
Pada model tersebut, dijelaskan bahwa semua komponen pada sistem Big-C Creativity, sebuah istilah untuk kreativitas yang ‘revolusioner’ seperti karya Einstein, Picasso, Freud, dst., terdapat hubungan saling dependen antara AI dan Domain (kotenks keilmuan). AI sangat bergantung pada kesesuaian Domain yang sedang berlaku, namun lebih lagi Individu yang mengoperasikan dan mempraktikkan modelnya. Individu mendapat ilmu dari koteks Domain serta akumulasi kognitif populasi dalam Field.
Berdasarkan model tersebut, dependensi Domain terhadap AI bukanlah ‘kecerdasannya’ melainkan kecepatan dan efisiensinya, sedangkan dependesi terdadap Individu adalah kecerdasan dan intelek. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan pada judul sub bagian: AI cepat tapi imitatif, Manusia lambat tapi kreatif!
Kata Penutup
Perkembangan memang teknologi memang berlangsung sangat cepat dan sepertinya tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Selain keuntungan yang datang dari perkembangan AI, terdapat keuntungan yang tidak langsung dan tidak kasat mata, yaitu potensi pembelajaran manusia akan dirinya sendiri.
#StaySafe and #DiRumahAja yaaa semua, jaga kebersihan jaga kesehatan!
— Rashad
Referensi
Csikszentmihalyi, M. (2018). Engineering Creativity in an Age of Artificial Intelligence. In M. Csikszentmihalyi, The Palgrave Handbook of Social Creativity Research. Palgrave.
Kalev Leetaru. (2017). Will AI And Robots Make Humans Obsolete? Retrieved from Forbes: https://www.forbes.com/sites/kalevleetaru/2016/06/14/will-ai-and-robots-make-humans-obsolete/#6606966a35f2
Natalie Proulx. (2019, Januari 24). Should We Treat Robots like People. Retrieved from New York Times : https://www.nytimes.com/2019/01/24/learning/should-we-treat-robots-like-people.html
Robert Mullins. (2012). What is a Turing machine? Retrieved from Department of Computer Science and Technology, University of Cambridge: https://www.cl.cam.ac.uk/projects/raspberrypi/tutorials/turing-machine/one.html
University of Pennsylvania. (2004). The Chinease Room Argument.