Di Balik Blackout PLN

MTI Insights
MTI Insights

--

Masih ingatkah kalian dengan kejadian blackout atau mati listrik total yang terjadi di Indonesia beberapa minggu yang lalu? Ya, saat itu, pada tanggal 4 Agustus 2019, terjadi kejadian blackout atau mati listrik total selama 18 jam. Kegelapan pun menyelimuti DKI Jakarta, Tangerang, dan sebagian Jawa Barat. Kejadian ini pun sontak membuat semua mata tertuju kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN), satu-satunya perusahaan yang mengelola listrik di Indonesia. PLN dituntut untuk bertanggung jawab atas kejadian yang merugikan jutaan penduduk di Indonesia.

Dilansir dari tirto.id, pihak PLN mengatakan bahwa penyebab mati listrik tersebut adalah terjadinya gangguan transmisi dari Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTET) 500kV Ungaran-Pemalang. SUTET dalam hal ini merupakan salah satu sumber aliran listrik untuk DKI Jakarta, Banten, dan beberapa wilayah di Jawa Barat. Gangguan transmisi tersebut berusaha diatasi PLN dengan mengoperasikan PLTA Saguling dan PLTA Cirata untuk menstabilkan tegangan dan mengirimkan pasokan listrik kepada PLTU Suralaya.

Kondisi Saat Ini

Mengacu pada laporan statistik ketenagalistrikan dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral terakhir yaitu pada akhir 2017, PLN disebutkan memiliki pembangkit listrik dengan total kapasitas sebesar 16327 MW di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten dengan produksi listrik yang dihasilkan mencapai 24087,75 GWh. Padahal, kebutuhan konsumsi listrik pada ketiga provinsi tersebut sebesar 81237,05 GWh. Karena kebutuhan yang melebihi suplai ini, PLN harus meminta aliran listrik dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua provinsi yang memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas dan produksi yang jauh lebih besar.

Kondisi tersebut membuat PLN perlu memiliki jaringan transmisi listrik yang baik sepanjang Pulau Jawa. Jaringan dimana sumber suplai listrik banyak dari timur dan kebutuhan listrik sangat besar di bagian barat. Jaringan transmisi listrik yang panjang dan “berat sebelah” ini membuat kesalahan teknis pada transmisi dapat berakibat fatal. Kegagalan atau mati listrik akan lebih mudah terjadi, termasuk yang terjadi pada 4 Agustus 2019 lalu.

Apa yang Perlu Dilakukan?

PLN wajib melakukan evaluasi terkait bagaimana mereka mengelola risiko tersebut, khususnya evaluasi sistem kelistrikan yang sedang digunakan saat ini. Bahkan belakangan ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Rini Soemarno, sempat meminta PLN untuk mengikuti sistem kelistrikan atau skema distribusi listrik yang dipakai oleh Inggris. Sistem yang dipakai Inggris dinamakan house load system dimana skema distribusi listrik ini dapat meminimalisir wilayah yang terdampak pemadaman listrik dan dapat dengan cepat menormalisasi pasokan listrik saat terjadi gangguan. Dengan sistem tersebut, kejadian serupa yakni kejadian blackout di London dapat dipulihkan hanya dalam 2 jam saja.

Adapun sistem kelistrikan, atau skema distribusi listrik, yang dipakai Indonesia saat ini adalah island load system. Dengan sistem ini, penanggulangan gangguan transmisi listrik, seperti yang terjadi tanggal 4 Agustus kemarin, dapat mencapai 24 jam. Melihat perbedaan tersebut, penanggulangan gangguan listrik dapat menjadi 12 kali lebih cepat seandainya Indonesia berhasil mengadopsi best practice sistem kelistrikan di luar negeri. Berbuah efisiensi yang sangat signifikan, bukan?

Tapi, Kenapa Tidak Dilakukan?

Salah satu kemungkinan mengapa PLN tidak sempat memikirkan hal-hal terkait penanggulangan gangguan listrik ini adalah kondisi keuangan PLN saat ini. Kabarnya, terdapat kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) oleh pemerintah sebesar 9 persen per KWh mulai 1 April 2019. Kenaikan ini disebabkan naiknya harga BBM dan batu bara dimana tidak ada kenaikan biaya listrik yang dibebankan kepada konsumen. Kondisi tersebut diprediksi turut membuat PLN harus memutar otak dalam membuat neraca keuangannya agar tetap stabil. Terlebih lagi sebelumnya PLN sempat mengalami penurunan keuntungan yang cukup signifikan yaitu dari 11,6 triliun pada akhir 2018 menjadi 4,2 triliun pada kuartal 1 2019. Kondisi keuangan inilah yang saat ini cukup menyulitkan PLN dan turut mempengaruhi komposisi penganggaran yang dilakukan oleh PLN.

Hal lain yang mungkin juga mempengaruhi kinerja manajemen PLN adalah sistem monopoli yang diberlakukan untuk PLN. Karena minimnya pemeran lain dalam rantai suplai listrik PLN, PLN diharuskan bergerak dari hulu ke hilir. Menjadikan PLN harus beroperasi di banyak aspek. Mulai dari pembangkitan, transmisi, hingga distribusi, semuanya sangat didominasi oleh PLN meskipun sudah terdapat beberapa perusahaan swasta yang bergerak di bidang pembangkitan listrik.

Sistem monopoli ini pun menjadikan PLN sebagai satu-satunya pemeran dalam industri listrik. PLN tidak memiliki pesaing yang berarti dalam men-deliver dan memasarkan produknya kepada konsumen. PLN juga tidak punya ancaman berarti. Hal ini mengingat konsumen, masyarakat Indonesia, tidak memiliki pilihan lain selain PLN dan PLN bagaimanapun kinerjanya akan terus dibantu oleh pemerintah karena PLN merupakan badan usaha milik negara. Pemerintah akan terus menyuntikkan dana kepada PLN untuk menjaganya tetap beroperasi. Ketiadaan iklim kompetitif ini tentu akan berpengaruh kepada strategi dari manajemen PLN. Manajemen PLN akan merasa relatif lebih aman dan tidak menerima tekanan besar untuk melakukan improvement.

Apakah Sistem Saat Ini Adalah yang Terbaik?

Dengan posisi Indonesia sekarang yang merupakan negara yang sangat luas dan kebutuhan listriknya sangat besar, sistem seperti ini harus dikaji kembali apakah memang masih layak untuk digunakan. Kejadian blackout yang terjadi pada 4 Agustus lalu merupakan sebuah tamparan atas lemahnya sistem yang ada saat ini. Kejadian tersebut memperlihatkan kita bahwa perusahaan sebesar PLN pun begitu rentan akan gangguan. Gangguan yang tentunya dapat berakibat fatal untuk perekonomian Indonesia, mengingat matinya listrik menyebabkan berhentinya beberapa sektor ekonomi. UMKM berhenti beroperasi, jaringan telepon terganggu, beberapa transaksi bank terganggu, dan masyarakat tidak dapat bertransportasi.

Mungkinkah Indonesia memerlukan deregulasi dan memperbolehkan banyak perusahaan untuk bersaing bersama PLN? Mungkinkah kewenangan terkait pengadaan dan distribusi listrik Indonesia terdistribusi kepada berbagai pihak? Mungkinkah Indonesia butuh untuk mengatasi sistem yang tidak efisien dan harga yang terlalu tinggi karena monopoli ini?

Kemungkinan deregulasi sendiri dapat diawali dengan membuka pintu investasi untuk para investor dan membuka izin usaha untuk berbagai perusahaan sebagai pemeran baru. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan dengan pembagian kepemilikan utilitas dan infrastruktur kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan tersebutlah yang akan mengelola utilitas listrik yang diberikan lalu menyalurkannya kepada konsumen atas nama mereka.

Bahkan jika melihat ke luar negeri, beberapa negara berkembang pada abad 20 telah melakukan deregulasi dan menjadikan pasar elektrifikasi mereka menjadi kompetitif. Salah satunya yaitu Argentina pada tahun 1991. Pada saat itu, pemerintah Argentina membagi infrastruktur listrik mereka kepada 40 perusahaan swasta. Meniadakan perusahaan dominan dalam memproduksi dan menyalurkan listrik. Kebijakan ini pun menjadikan biaya listrik yang dibebankan ke konsumen di Argentina dapat ditekan hingga 50% yaitu yang awalnya $60/MWhr menjadi $30/MWhr per bulan. Lagi-lagi sebuah efisiensi yang signifikan, bukan?

Penutup

Sudah menjadi perdebatan yang cukup lama terkait baiknya sistem monopoli dalam industri yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat. Dalam kasus ini, kebutuhan dasar tersebut adalah kebutuhan akan listrik. Pada prinsipnya, sistem monopoli adalah sistem yang seharusnya dapat meminimalkan biaya produksi listrik dengan kekuatan economies of scale.

Namun, melihat kejadian blackout tanggal 4 Agustus lalu, apakah iya sistem ini adalah sistem terbaik yang efektif dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat? Apakah iya sistem ini adalah yang efisien dalam menekan biaya produksi listrik? Dan jika tidak, apakah pemerintah bersedia melakukan deregulasi dan mempersilahkan perusahaan swasta bersaing dengan PLN?

Penulis:

Muhammad Ammar Erdianto (TI’17) & Thariq Izzah Ramadhan (TI’16)

Editor:

Ilham Muzakki (TI’16)

Referensi

Abhyankar, A. R., & Khaparde, S. A. (n.d.). Introduction to Deregulation in Power Industry.

Apinino, R. (2019, August 5). Apa Sebetulnya Penyebab Listrik Padam di Jabodetabek Kemarin? Retrieved from Tirto: https://tirto.id/apa-sebetulnya-penyebab-listrik-padam-di-jabodetabek-kemarin-efCR

Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, K. E. (2018). Statistik Ketenagalistrikan 2017.

Friana, H. (2019, April 7). Biaya Produksi Listrik Naik, Kerugian Mengintai PLN di 2019. Retrieved from Tirto: https://tirto.id/biaya-produksi-listrik-naik-kerugian-mengintai-pln-di-2019-dlla

--

--