Doomscrolling, Mengapa Sulit untuk Berhenti?

Kefira Sutantio
MTI Insights
Published in
10 min readOct 6, 2020

Lampu kamar telah padam, namun jempol tidak bisa berhenti menggesek layar terang gawai. Janji pada diri sendiri mengecek satu artikel, namun satu artikel berkembang menjadi tiga, lalu lima. Niat melihat Line Today berubah menjadi browsing explore Instagram, lalu ke Twitter, lalu ke YouTube. Merasa tak asing? Lupa waktu bermain handphone sebelum tidur tentu bukan hal baru lagi. Mungkin banyak diantara kita yang merasa bersalah karena sering mengkompromi jam tidur untuk itu.

Pandemik Covid-19 semakin memperkuat kebiasaan pengantar tidur ini. Sedikit berbeda dengan kondisi pre-Covid-19, himbauan social distancing memaksa sebagian besar kegiatan dirumahkan. Komunikasi jarak jauh yang dahulu adalah pilihan, sekarang menjadi keharusan. Mobilitas terkotak-kotak menjadi tempat tinggal penat, konektivitas antar manusia terbatas via layar. Di tengah usaha beradaptasi mengikuti normal baru, pengaruh Covid-19 yang muncul lewat influks berita tidak mengenal kata ampun.

Melansir dari pernyataan Albers (2020), eksposur berkepanjangan terhadap berita negatif akan memicu perasaan depresi dalam diri seseorang. Secara biologis, endless scrolling hal-hal yang bersifat negatif seperti memaksa otak memproduksi hormon stress (cortisol). Stress sendiri merupakan hal yang natural untuk keberlangsungan hidup manusia. Namun ketika peningkatan hormon stress secara terus-menerus di luar keadaan mengancam, hal ini akan mengakibatkan stress kronik yang ditandai dengan gejala insomnia, sakit kepala dan kegelisahan. Terpapar hal negatif terus menerus juga dapat memicu OCD dalam otak manusia akibat otak dipaksa menerima topik serupa. Selain itu, bermain handphone sebelum tidur memotong waktu istirahat dimana kekurangan istirahat erat kaitannya dengan risiko kesehatan jangka panjang seperti obesitas, sakit jantung, dan diabetes.

Dalam artikel singkat ini, akan ditilik lebih lanjut masalah manusia modern yang baru-baru ini punya nama yaitu doomscrolling. Doomscrolling terbukti detrimental bagi kesehatan, bahkan nyaris tidak memiliki nilai tambah. Namun mengapa masih saja dilakukan? Doomscrolling sering kali dikambinghitamkan sebagai sarana mencari kebenaran berita terkini, atau melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan saat jam kerja produktif. Munculnya penyangkalan-penyangkalan dengan nada serupa memvalidasi fakta bahwa doomscrolling buruk tapi sangat sulit untuk dihentikan.

Memperkenalkan: Doomscrolling

Doomscrolling atau doomsurfing merupakan sebuah kata kerja yang menggambarkan kegiatan membaca artikel-artikel atau berita negatif secara kontinu tanpa bisa berhenti. Masih ingat dengan istilah surfing? Ketika browsing di internet merupakan hal yang baru, istilah ini sangat populer. Kata doomsurfing merupakan perluasan dari istilah channel surfing atau kebiasaan tidak bisa diam di satu channel atau situs.

‘Doom’ sendiri berarti kebinasaan, malapetaka yang digunakan untuk menggambarkan sebuah kondisi katastropis. Dalam perkembangannya, doom juga dapat diartikan sebagai takdir seseorang dalam konotasi negatif, seperti hari penghakiman atau kiamat. Dengan luasnya penggunaan smartphone sebagai primary device kebanyakan orang, kegiatan mencari informasi beralih dilakukan lewat smartphone dimana cara mengaksesnya adalah dengan scrolling. Dari doomsurfing, muncul-lah istilah doomscrolling. Doomscrolling secara harafiah dapat diartikan sebagai scrolling berita tanpa henti sampai seseorang menuju kiamatnya. Cukup berlebihan? Dengan tatanan dunia yang berantakan akibat Covid-19, cukup fitting Dictionary.com memasukan kata doomscrolling dalam kompilasi New Words We Created because of Coronavirus.

Namun jika kita memandang dari sisi lain, fenomena doomscrolling bukanlah sesuatu yang baru. Meski penggunaannya pada saat itu diperuntukan untuk saluran televisi, istilah channel surfing telah digunakan sejak 1988. Prinsip dari kegiatan yang dilakukan tetap sama. Covid-19 dan aliran deras berita negatif yang mengikuti merupakan katalis bagi maraknya doomscrolling, namun sejatinya, doomscrolling sudah melekat dalam kebiasaan manusia modern sejak era smartphone, hanya saja fenomena ini semakin jelas dan marak dengan dorongan Covid-19.

Interpretasi personal dari Doom

Doomscrolling is danger lurking in the shadows. Kemunculannya seolah-olah buzzword yang diciptakan orang di masa sulit pandemik. Dalam konteks pandemik masa kini, ketakutan yang ditimbulkan akibat Covid-19 dapat dianggap sebagai bentuk manifestasi doom. Doom yang berkaitan dengan Covid berlaku universal. Stream of information mengenai Covid diliput oleh segala macam outlet media, dan Covid sendiri mengancam semua orang tanpa terkecuali. Sehingga hal ini akan di-perceive sebagai negatif oleh setiap orang tanpa terkecuali. Sehingga orang dengan mudah mengaitkan hal ini dengan kebiasaan scrolling handphone sampai tengah malam.

Namun jika doom dipahami sebagai sesuatu yang subjektif, doom sejatinya dapat memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Setiap orang pasti memiliki doom nya masing-masing. Kaki terkilir untuk seorang akuntan berarti datang ke kantor dengan ankle support, namun bagi seorang penari berarti batal pentas dan tidak jadi dibayar. Suatu yang terlihat tidak signifikan bagi seseorang, bisa menjadi doom bagi orang lain. Dilihat dari sudut pandang ini, doomscrolling memiliki arti secara loose yaitu kegiatan membaca informasi terus-menerus mengenai hal yang mempengaruhi pembaca secara negatif. Doomscrolling sebagai kata kerja melampaui buzzword temporer yang muncul akibat Covid-19. Doomscrolling berpotensi menjadi bahaya laten selama pola konsumsi masyarakat akan aplikasi smartphone dan business model para penyedianya tidak berubah dari kondisi sekarang.

Sayangnya, karena masalah ini tergolong baru, tidak banyak orang menyadari kalau mereka sedang terjebak dalam doomscrolling. Dikarenakan sifatnya yang non-fisik, doomscrolling sering kali dianggap sebagai kesalahan dari pelaku. Hanya tinggal taruh handphone saja susah amat? Pelaku dianggap kurang pengendalian diri sehingga tidak bisa lepas dari handphone nya.

Sebelum menyalahkan diri, penting untuk melihat big picture dari permasalahan yang tengah dihadapi. Ada alasan mengapa berhenti scrolling tidak semudah mengatakan niatnya, meskipun rasanya kita punya kontrol penuh. Handphone hanya seukuran satu genggaman! Banyak faktor internal dan eksternal yang dapat mengkondisikan diri seseorang (terkadang tanpa disadari) sehingga menjadi pelaku doomscrolling.

Ketertarikan Otak Manusia terhadap Berita Negatif

Pertama, manusia memiliki bias lebih terhadap berita negatif. Dalam penelitian Vaish, dkk. (2008) manusia dewasa memberi bobot asimetris antara stimulus negatif (undesirable) dan positif (desirable) dalam pengambilan keputusan. Stimulus negatif dipersepsikan membawa informasi yang dianggap lebih ber-value oleh otak manusia, sehingga respons kognitif yang diberikan lebih kompleks. Dalam kata lain, manusia dewasa lebih lama merenungkan hal-hal yang bersifat negatif dibandingkan yang bersifat positif.

Akibat human negativity bias, tak terelakkan kita sebagai manusia lebih cenderung memeriksa berita buruk dibandingkan berita baik. Fakta ini dieksploitasi oleh banyak pihak, termasuk melalui media dimana kita memperoleh informasi. Jurnalis atau kreator konten memiliki metric tersendiri untuk mengukur performansinya, sehingga merebut perhatian audiens menjadi sangat penting.

Media massa menargetkan audiens yang sangat besar, dan disinilah human negativity bias mengambil panggung. Kenyataan pahitnya, hal yang secara universal appealing kepada semua orang umumnya bersifat negatif. Entah itu ketakutan, kematian, kecelakaan, defamasi. Wajar jurnalis menentukan topik yang umum, sebuah permasalahan yang dimiliki semua orang, dan yang negatif, semakin mudah untuk mencapai perhatian seluruh audiens.

Otak manusia adalah engine hebat yang mampu melakukan banyak hal, termasuk di dalamnya jatuh ke dalam afinitas negatif ini. Pandemik menciptakan tekanan tidak hanya di sektor kesehatan, tetapi telah tumpah ke hampir seluruh aspek hidup manusia yang lain. Tekanan negatif ini tentu direspon oleh otak manusia sebagai stimulus negatif. Dalam keadaan tertekan, manusia cenderung mencari konten yang dapat mengonfirmasi perasaannya, yang sejalan dengan situasi hati saat itu. Berita negatif menjadi begitu menggoda. Hal ini disambut baik dengan keadaan lingkungan di tengah pandemik yang penuh dengan info negatif, entah itu portal berita ataupun grup WhatsApp. Didukung dengan PSBB membuat orang memiliki waktu luang berlebih, negativity bias tumbuh subur dalam keadaan tersebut.

Aplikasi Berebut Perhatian Pengguna

Business model dari banyak perusahaan teknologi pengembang aplikasi kebanyakan bersandar pada advertisement (pengiklanan), sehingga developer berlomba-lomba me-maksimasi perhatian dari penggunanya. Beragam fitur sengaja disematkan pada aplikasi yang kita pakai sehari-hari untuk bisa menghasilkan metric performansi tinggi.

Salah satu bentuk fitur ini merupakan push notification. Notifikasi dari aplikasi-aplikasi seperti Gojek, Shopee, Tokopedia yang melayang-layang di notification bar, mengabarkan diskon atau sekadar kata-kata kangen yang mengimitasi interaksi manusia. Push notification ada untuk meningkatkan click akses pengguna ke aplikasi. Pesan dirancang lewat algoritma sedemikian rupa, didesain untuk mengambil perhatian pengguna. Jadilah pengguna membuka aplikasi tersebut, entah karena takut tertinggal kupon diskon atau karena produk yang ditawarkan menarik padahal awalnya, tidak ada niatan untuk membuka handphone sama sekali.

Notifikasi personal yang human-like adalah salah satu usaha attention-grabbing aplikasi. Developer bisa juga membuat pendekatan dengan cara yang lebih halus lagi yaitu menciptakan fungsi kontrol semu. Hal ini juga menjadi salah satu argumen mengapa doomscrolling adalah masalah pengendalian diri. Namun sesungguhnya, penempatan kontrol ini juga merupakan langkah manipulasi dari desainer. Pengguna sebenarnya sudah terjerumus dalam pusaran konten tanpa ujung, kontrol tersebut hanyalah tambahan. Salah satu bentuk kontrol semu ini dapat ditemui di fitur autoplay YouTube dan tuas refresh pada infinite scroll feed Instagram. Manusia cenderung lebih tahu kapan untuk berhenti jika dengan jelas memiliki visual cue berupa titik akhir yang jelas. Infinite scroll didesain untuk meng-encourage pengguna melanjutkan scrolling infinitely.

Gambar 1 — Infinite Scrolling vs Pagination. Perbedaan antara kontrol semu dari infinite scroll dan kontrol paginasi yang ditampilkan dalam bentuk halaman.

Seperti contoh-contoh tersebut, aplikasi didesain dengan tujuan utama meraup sebanyak-banyaknya perhatian pengguna, tanpa mempertimbangkan hak memilih humanis dan waktu yang dimiliki oleh pengguna. Bahkan aplikasi didesain “memaksa” pengguna untuk memeriksa handphone, bukan karena mereka mau tetapi karena disetir oleh interface. Mengenali ilusi yang diam-diam membayangi aplikasi di layar handphone kita dapat membantu mendiferensiasi mana yang merupakan urgensi buatan dan mana yang merupakan urgensi esensial.

Redirect Negativity Bias, Apakah Bisa?

Didukung kemampuan teknologi, trend interface masa kini, dan konsumsi gadget pengguna yang meningkat akibat #dirumahaja dieksploitasi secara total. Sama dengan manipulasi yang dilakukan oleh jurnalis-jurnalis portal berita, efek human negativity bias efek dapat kita counteract dengan manipulasi juga. Jika kita mengerti cara kerja otak tersebut, kita hanya perlu memanipulasi persepsi kita terhadap input negatif. Bahkan dapat mengimplementasikan fakta ini untuk kepentingan kita.

Baumeister (2020), penulis buku The Power of Bad: How the Negativity Effect Rules Us and How We Can Rule It menyimpulkan bahwa dalam alam mental manusia, hal yang bersifat negatif (bad) memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan yang bersifat positif (good). Dengan menyadari hal tersebut, di saat kita terpapar berita negatif, kita akan menyadari bahwa berita tersebut juga dibuat dengan tujuan memainkan negativity bias. Menerima bahwa cara kerja otak kita memang demikian, ini akan membantu otak dalam mencerna informasi. Apa yang dibaca di layar handphone belum tentu sesuai dengan situasi, atau bahkan mungkin sengaja dilebih-lebihkan supaya otak kita termakan negativity bias tersebut. Kita dapat switch menggunakan otak rasional untuk meng-overcome hal tersebut.

Membuat Breakthrough untuk Lepas dari Doomscrolling
Baumeister (2020) memaparkan “it’s about focusing on eliminating the negative rather than cultivating the positive. Both are good, but eliminating the negative should get priority”. Kita telah melihat bahwa otak manusia memang dirancang untuk lebih terfiksasi pada hal negatif. Menghilangkan pengaruh kuat yang counterproductive lebih mudah dilakukan daripada melatih diri kita supaya productive. Secara sengaja menempatkan diri kita dalam lingkungan, rutinitas, atau suatu kondisi tertentu lebih feasible untuk dilakukan dibandingkan secara drastis mengubah kebiasaan yang sudah mengakar bertahun-tahun.

Jargon ergonomi fit the job to the man merupakan salah satu pendekatan yang bisa dilakukan. Kegiatan doomscrolling dapat diibaratkan sebagai suatu pekerjaan, dengan stasiun kerjanya merupakan handphone itu sendiri. Ide dari pendekatan ini adalah: menciptakan situasi kondusif dengan mengatur lingkungan kerja yang mendukung pola penggunaan handphone sehat dan mengeliminasi kemungkinan doomscrolling.

  1. Acceptance. Menerima bahwa ada gap antara pola hidup sekarang dan yang diinginkan, serta memiliki kemauan untuk mengubah hal tersebut.

Kita dapat mulai dengan mengenali pola pemakaian handphone kita. Saat ini tersedia banyak app produktivitas yang dapat mengidentifikasi app apa saja yang dibuka selama satu hari serta waktu penggunaannya. Dari pengumpulan data tersebut, kita dapat memetakan pola konsumsi aplikasi.

Setelah mengetahui app apa saja, kita dapat melakukan shortlist app apa saja yang memakan waktu aktif handphone paling lama. Perhatian selanjutnya adalah, memperhatikan konten seperti apakah biasanya yang di akses dari setiap app dari shortlist tersebut? Kemudian, kita dapat mulai melakukan planning penurunan waktu untuk setiap app sampai akhirnya mencapai target waktu pemakaian handphone total yang diinginkan.

2. Environment. Setelah menentukan target dan mengenali trigger kegiatan doomscrolling, hal berikutnya adalah menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.

Kondisi handphone perlu disesuaikan dengan tujuan kita, salah satunya adalah memilah-milah notifikasi apa yang perlu ditampilkan pada notification bar. Harris (2018), ex-design ethicist Google menyarankan untuk mematikan semua push notification kecuali notifikasi yang berasal dari manusia yang lain. Hal ini akan meminimasi kecenderungan untuk mengecek sesuatu diluar keinginan kita.

Walaupun tidak ada notifikasi, sering kali kita juga tergoda untuk mengecek aplikasi yang lain. Salah satu cara mengkondisikan lingkungan handphone kita adalah memastikan pada home screen handphone, hanya terdapat aplikasi yang memenuhi dua kondisi berikut: (1) tidak menyediakan fitur endless scrolling dan (2) tidak dapat ditunda kebutuhannya seperti call dan maps. Pada handphone yang tidak memiliki home screen khusus, dapat disiasati dengan menambahkan satu halaman kosong setelah aplikasi esensial.

Kedua cara tersebut adalah untuk mencegah membuka aplikasi, namun apa yang harus dilakukan jika sudah terlanjur masuk aplikasi? Aplikasi produktivitas yang telah disebut pada bagian sebelumnya secara umum juga dilengkapi timer untuk mengalokasikan waktu pakai pada aplikasi. Namun, aplikasi hanya sekadar alat bantu. Diperlukan sesuatu yang lebih fundamental dari sekadar alat jaga seperti timer tersebut.

3. Designing a lifestyle, incrementally. Hal fundamental ini dapat diistilahkan sebagai mensituasikan diri kita dalam sebuah prosedur yang dilakukan secara terus menerus.

Berbeda dengan pengendalian diri, yang dalam konteks doomscrolling ini dapat lepas dari handphone setiap kali diperlukan, designed lifestyle berarti mengalokasikan sedikit atau bahkan tidak sama sekali waktu untuk doomscrolling dalam rutinitas hidup. Namun, pengurangan alokasi itu tidak sama dengan secara tiba-tiba memotong doomscrolling dari kehidupan. Jika pendekatan dilakukan secara ekstrim, kemungkinan besar mudah untuk kembali ke kebiasaan lama. Incrementally mengindikasi bahwa designed lifestyle dilakukan secara bertahap. Misalnya, pada minggu ke satu memberikan allowance satu jam untuk browsing, pada minggu dua memberikan allowance 45 menit, dan begitu seterusnya hingga mencapai target.

Membuat prosedur gaya hidup ini haruslah realistis, yang paling mudah untuk dilakukan. Seringkali terjadi kesalahan karena mengikuti planning milik orang lain, namun ternyata gaya hidup dan karakter orang tersebut sangat berbeda. Penting untuk mengenali diri sendiri dan jujur dalam membuat rutinitas yang terasa paling nyaman.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan terus diperhatikan dan rencana disesuaikan. Jika misalnya minggu ke dua target waktu pakai ada di 45 menit tetapi selama minggu ke dua rata-rata pemakaian ada di 50 menit, jangan langsung melanjutkan alokasi waktu 35 menit di minggu ke 3. Dengan pendekatan inkremental ini, memang secara perubahan tidak banyak yang terjadi, namun realistis, memberikan success probability yang lebih besar dan hasilnya lebih bertahan lama.

Akhir Kata
Doomscrolling merupakan masalah manusia modern yang sejatinya lebih dari sekadar fenomena trendy akibat pandemik Covid-19. Sama dengan bagaimana doomscrolling merupakan permasalahan yang subjektif, penyelesaian dari masalah ini juga lah unik bagi setiap orang. Fitting the job to the man hanyalah salah satu pendekatan yang kebetulan merupakan pilihan penulis untuk memperbaiki penurunan produktivitas yang terkondisikan oleh doomscrolling.

Untuk keluar dari kebiasaan lama dan memulai gaya hidup baru, setiap orang ber-progress dalam kecepatannya sendiri. Dalam perkembangannya, masing-masing orang akan memiliki pendekatan unik yang cocok bagi setiap pribadi untuk mencapai gaya hidup idealnya.

Bibliography

Cleveland Clinic. (2020, September 1). Everything You Need to Know About Doomscrolling and How to Avoid It. Cleveland Clinic. Retrieved September 16, 2020, from https://health.clevelandclinic.org/everything-you-need-to-know-about-doomscrolling-and-how-to-avoid-it/

Klein, E. (2018, February 19). How technology is designed to bring out the worst in us. Vox. Retrieved September 17, 2020, from https://www.vox.com/technology/2018/2/19/17020310/tristan-harris-facebook-twitter-humane-tech-time

Merriam-Webster. (n.d.). Channel Surfing. Merriam-Webster. Retrieved September 17, 2020, from https://www.merriam-webster.com/dictionary/channel%20surfing#h1

Merriam-Webster. (2020). On ‘Doomsurfing’ and ‘Doomscrolling’ Can you think of a better way to spend your time? Merriam-Webster. Retrieved September 17, 2020, from https://www.merriam-webster.com/words-at-play/doomsurfing-doomscrolling-words-were-watching#:~:text=Doomscrolling%20and%20doomsurfing%20are%20new,to%20stop%20or%20step%20back.

NHS. (2018, May 30). Why lack of sleep is bad for your health. Live Well. Retrieved September 16, 2020, from https://www.nhs.uk/live-well/sleep-and-tiredness/why-lack-of-sleep-is-bad-for-your-health/

Suttie, J. (2020, January 13). How to Overcome Your Brain’s Fixation on Bad Things. Greater Good Magazine. Retrieved September 17, 2020, from https://greatergood.berkeley.edu/article/item/how_to_overcome_your_brains_fixation_on_bad_things

Vaish, A., Grossman, T., & Woodward, A. (2013, May 13). Not all emotions are created equal: The negativity bias in social-emotional development. Psychol Bul, 134(3): 383–403. 10.1037/0033–2909.134.3.383

--

--