Harga Minyak Negatif, Kok Bisa?

Yang jual, yang bayar, aneh ya.

Aldi Dwi Putra
MTI Insights
6 min readApr 26, 2020

--

Ditulis oleh: Aldi Dwi Putra (TI’17) & Muhammad Mahrus Mahyuzar (TI’17)

Referensi Ilustrasi : https://finance.yahoo.com/news/oil-companies-are-cutting-millions-in-spending-and-halting-shareholder-payouts-170144076.html

Belakangan ini, pasar dikejutkan dengan harga minyak yang mendadak negatif. Dikutip dari Finansial Times [1], saat dibuka kembali pada tanggal 20 April 2020, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menjadi -37,63 USD. Jauh berbeda dengan posisi harga saat terakhir ditutup pada 17 April 2020 yakni 18,27 USD. Posisi harga ini pun menjadi yang terendah sepanjang sejarah WTI. Penurunan harga menjadi negatif ini diakibatkan karena penurunan drastis permintaan akibat pandemi [2].

Harga minyak mentah WTI pada 17–23 April 2020 (dikutip dari oilprice.com)

Sepanjang sejarah, harga negatif tidak muncul pada kali ini saja. Di Jerman, pada tahun 2012–2013, energi listrik terbarukan mengalami harga negatif. Pada saat itu, energi listrik terbarukan sedang dikembangkan secara masif. Tercatat harga terendah sebesar -221,99 Euro/MWh [4]. Dengan bukti kedua fenomena ini, sektor yang paling mungkin untuk mengalami fenomena harga negatif adalah sektor minyak mentah, listrik, dan gas alam.

Tapi, kok bisa harga suatu barang menjadi negatif?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami konsep harga. Secara definisi, harga merupakan ukuran nilai dari suatu barang pada suatu transaksi [3]. Sederhananya, harga adalah berapa nilai yang harus dikeluarkan untuk memperoleh suatu barang.

Menurut teori ekonomi, harga dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Permintaan barang menggambarkan seberapa banyak orang yang menginginkan barang tersebut. Sementara penawaran mengartikan seberapa banyak orang yang menjual barang tersebut. Berikut adalah ilustrasi terbentuknya harga untuk suatu barang.

Ilustrasi terbentuknya harga dari suatu barang

Berdasarkan ilustrasi tersebut, perubahan pada permintaan maupun penawaran akan mengubah harga dan kuantitas dari suatu barang. Jika permintaan berkurang, garis permintaan akan bergeser ke kiri. Pergeseran tersebut menimbulkan penurunan harga seperti ilustrasi berikut ini.

Penurunan permintaan akan menyebabkan penurunan harga

Dengan begitu, jika permintaan menurun secara signifikan, harga akan turun secara signifikan pula. Posisi harga karena penurunan ini bahkan dapat mencapai negatif. Sekadar informasi, permintaan minyak secara global mengalami penurunan lebih dari 60% [5].

Loh, tapi kalau penawarannya turun harganya akan naik lagi, kenapa produsen minyak tidak menurunkan produksinya saja?

Penurunan produksi akan mengakibatkan penawaran berkurang sehingga harga minyak menjadi naik. Namun, dalam kasus ini, ada beberapa hal yang mencegah penurunan supply minyak.

Pertama, negara-negara produsen minyak sulit untuk menemui kesepakatan terkait penurunan produksi minyak global. Secara keseluruhan, seluruh negara produsen akan diuntungkan bila semuanya sepakat untuk menurunkan supply minyak. Namun, secara individu, suatu negara yang menurunkan produksi akan dirugikan ketika pesaingnya tidak ikut menurunkan produksinya. Hal ini membuat setiap negara memiliki insentif untuk tidak menurunkan produksi minyak. Ini bersesuaian dengan dilema yang dikenal sebagai prisoner’s dilemma dimana terdapat insentif bagi setiap negara untuk tidak sepakat. Lebih menguntungkan bagi negara-negara tersebut untuk tidak menurunkan produksinya dibandingkan sepakat menurunkan produksi.

Kedua, sekalipun negara produsen minyak sepakat untuk menurunkan produksi, harga minyak tetap tidak akan seperti sediakala. Ini karena penurunan permintaan minyak global yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan kesepakatan penurunan produksi minyak. Tapi, ini tidak menutup fakta bahwa harga yang ada di pasaran akan sedikit lebih tinggi dari kondisi saat ini jika ada kesepakatan untuk memotong produksi, ketimbang tanpa kesepakatan sama sekali.

Ketiga, penurunan produksi minyak membutuhkan biaya yang mahal. Berbeda dengan bisnis komoditas lain, bisnis perminyakan merupakan bisnis bernilai besar. Ini mengakibatkan penurunan produksi membutuhkan biaya yang besar. Penurunan produksi akan membuat aset yang sudah ada saat ini menjadi underutilized. Pemeliharaan aset ini akan menghasilkan biaya tambahan bagi perusahaan.

Lalu, apa artinya bila suatu barang memiliki harga negatif?

Lazimnya, harga dari suatu barang memang positif. Harga yang positif tersebut memiliki arti intuitif dimana harga tersebut adalah jumlah yang harus dikeluarkan pembeli untuk memperoleh suatu barang. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik pengertian yang senada terhadap harga negatif yang berarti jumlah yang harus dikeluarkan penjual agar orang lain mau memiliki barang tersebut. Loh, mengapa penjual mau kehilangan barang sekaligus kehilangan uangnya?

Mari ambil kasus minyak yang baru-baru ini terjadi sebagai contoh untuk studi kasus. Sesuai yang sudah didiskusikan di pertanyaan sebelumnya, harga minyak yang negatif artinya penjual rela untuk membayar sejumlah uang kepada orang lain agar orang tersebut mau memiliki minyak dari penjual. Mengapa demikian?

Permasalahan minyak saat ini adalah produksi yang berjalan terus menerus ketika di waktu yang sama, permintaan berkurang secara signifikan. Produsen pun mengalami kekurangan kapasitas untuk menyimpan hasil produksinya. Alhasil, dari sudut pandang produsen, biaya untuk membayar orang lain agar mau mengambil minyak dari penyimpanannya akan lebih murah dibandingkan dengan biaya untuk menyimpan minyak tersebut. Bahkan, biaya ini lebih murah dari biaya untuk membuang minyak tersebut. Inilah yang membuat “harga negatif” terbentuk sehingga orang yang membeli minyak tidak hanya mendapatkan minyak tapi juga mendapatkan uang.

Pada akhirnya, dalam keadaan apapun, setiap orang akan mengambil keputusan yang paling menguntungkan. Sial bagi produsen minyak, keadaan saat ini membuat keputusan paling menguntungkan sekalipun adalah menanggung kerugian.

Kalau gitu, apakah semua barang yang ada saat ini dapat memiliki potensi untuk mendapatkan nilai negatif?

Sayangnya iya, barang apapun dapat mengalami fenomena harga negatif saat mereka dihadapkan dalam kondisi ekstrem seperti minyak WTI ini. Namun, perlu diperhatikan bahwa setiap produk memiliki probabilitas yang bervariasi untuk bisa mengalami fenomena tersebut. [7]

Misalnya, kita bandingkan dengan produk kacang hijau. Suatu hari, supply dari kacang hijau begitu banyak ketika tren pasar pada masa itu lagi ‘gak doyan’ untuk makan sayur. Penjual kacang hijau pun kemudian dihadapkan pada kondisi yang sulit. Pada kondisi itu, para penjual kacang hijau memilih untuk menanam kembali kacang hijaunya dengan harapan beberapa bulan kedepan akan ada orang yang ingin membeli kacang hijau ini. Dengan respon ini, para penjual kacang hijau tidak perlu membayar orang lain untuk membeli produknya. Harga kacang hijau pun tidak akan menjadi kurang dari nol rupiah. Harga tetap positif. Dengan contoh ini, dapat disimpulkan karakteristik dari produk lah yang mempengaruhi probabilitas terjadinya harga negatif atau tidak.

Apakah harga negatif itu bisa kembali menjadi positif?

Tentu saja bisa, asalkan permintaan produk tersebut kembali naik dan dapat menyeimbangi supply yang ada. Kasus penurunan minyak yang saat ini terjadi adalah dampak dari adanya virus corona. Pandemi virus corona mencegah orang-orang untuk beraktivitas. Penggunaan moda transportasi menjadi berkurang dan permintaan minyak pun menurun drastis. Namun, apabila keadaan kembali stabil, orang-orang akan beraktivitas dan menggunakan transportasi kembali sehingga harga minyak akan rebound kembali naik.

Tantangan saat ini, perusahaan minyak harus mampu bertahan hingga rebound itu terjadi. Campur tangan pemerintah diperlukan agar perusahaan pada industri tersebut bisa bertahan. Pemerintah dapat melakukan pilihan untuk mendorong negara lain mengambil minyak tersebut, membuat storage-storage minyak baru yang kemudian disewakan, atau tidak melakukan apa-apa. Opsi terakhir tentu akan membunuh produsen minyak kecil-kecilan serta meningkatkan angka pengangguran.[8]

Mungkin gak ya pemerintah beli minyak sebanyak-banyaknya buat di-stock nantinya?

Saat ini justru merupakan momentum bagi pemerintah untuk mengimpor minyak. Tentu dengan tetap memperhatikan jumlahnya. Juga perlu diingat kembali bahwa saat ini pemerintah kita juga memproduksi minyak untuk konsumsi dalam negeri. Jangan sampai impor minyak yang dilakukan mengakibatkan penyimpanan minyak di Indonesia mengalami overcapacity sehingga terjadi kerugian pada aktivitias produksi minyak dalam negeri yang tidak kita inginkan.

Kalau minyak dunia harganya negatif, mengapa saya tidak mendapatkan uang saat membeli BBM di SPBU?

Pertanyaan ini cukup beralasan untuk ditanyakan. Untuk menjawabnya, dibutuhkan kesadaran untuk melihat BBM secara lebih luas. Dalam praktiknya, minyak mentah hanya salah satu bahan pembuat BBM. Untuk dapat menghasilkan BBM yang siap dipakai, diperlukan proses lanjutan yang juga membutuhkan biaya.

Saat berbicara tentang BBM yang dijual di SPBU, ada beberapa faktor yang perlu ditinjau dalam penentuan harganya. Misalnya, berapa harga minyak dunia saat ini? Berapa persen minyak yang diimpor dari luar negeri? Berapa kurs rupiah saat ini? Berapa besar subsidi yang diberikan oleh pemerintah? Berapa banyak konsumsi BBM saat ini? Berapa banyak BBM yang tersedia di pasaran?

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa penurunan harga minyak mentah hanya satu dari sekian banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam penentuan harga BBM. Namun begitu, harga BBM sendiri diprediksi mengalami penurunan pada awal bulan Mei[6]. Penurunan ini terjadi untuk mengikuti pergerakan harga minyak dunia dan menurunnya permintaan dalam negeri.

Tapi, terlepas dari turun atau tidaknya harga BBM, kalian tetap #dirumahaja ya.

Editor:

Thariq Izzah Ramadhan (TI’16)

Ilustrasi:

Martin Bangun Christmas (TI’17)

Referensi

[1] https://www.ft.com/content/a5292644-958d-4065-92e8-ace55d766654

[2] https://www.nytimes.com/2020/04/21/upshot/negative-oil-price.html

[3] https://www.economicsonline.co.uk/Definitions/Price.html

[4] https://www.agora-energiewende.de/fileadmin2/Projekte/2013/Agora_Negative_Electricity_Prices_Web.pdf

[5] https://www.weforum.org/agenda/2020/04/negative-oil-prices-covid19

[6] https://finance.detik.com/energi/d-4984971/harga-minyak-minus-harga-bbm-harusnya-turun/1

[7] https://nymag.com/intelligencer/2020/04/why-oil-prices-went-negative.html

[8] https://www.ft.com/content/5f25bf72-6a0c-4b8e-abd4-63b9847b1578

--

--