Medicine Shortage in Indonesia. Is it The Lack of Pharmaceutical Industry?

MTI Insights
MTI Insights
Published in
8 min readJul 27, 2021

oleh MTI Insights & Rhamnosa HMF

Adanya pandemi COVID-19 membuat obat menjadi sebuah komoditas yang penting dan berharga. Tidak mengenal kalangan, obat dibutuhkan oleh berbagai orang di seluruh lapisan masyarakat. Sayangnya, belakangan ini terjadi fenomena kelangkaan obat yang terjadi di Indonesia. Delapan jenis obat COVID-19 sulit ditemukan di Apotek maupun di e-commerce mana pun. Kelangkaan obat ini menyebabkan harga obat meningkat hingga sekitar 3 hingga 5 kali lipat dibandingkan harga normal. Sampai-sampai pemerintah harus mengeluarkan batas harga eceran tertinggi untuk dua jenis obat yang cukup banyak dicari yaitu Oseltamivir dan Azithromycin. Kimia Farma sendiri melaporkan kekosongan stok di 3.114 cabang apotek di seluruh Indonesia untuk beberapa obat tertentu seperti Immunoglobulin, Remdesivir, dan Tocilizumab.

Jika ditinjau dari sisi ekonomi, kelangkaan dapat dijelaskan sebagai sebuah fenomena yang terjadi ketika jumlah total suplai lebih sedikit daripada jumlah permintaan. Pada kasus ini, COVID-19 yang melonjak secara mendadak diduga menjadi penyebab utama kelangkaan obat. Produsen obat tidak siap dengan jumlah permintaan yang meningkat dengan cepat sehingga akan ada permintaan-permintaan yang tidak dapat terpenuhi. Jika ditarik mundur, maka kelangkaan ini bersumber dari pasokan bahan baku obat yang sebagian masih di impor. Volume bahan baku yang di impor terbatas maka produsen-produsen obat Indonesia terpaksa berebut untuk dapat membeli bahan baku yang terbatas. Mengapa terbatas? besar kemungkinan karena bahan baku tersebut juga diperebutkan di pasar global dimana semua negara seharusnya memerlukannya untuk dapat memenuhi permintaan obat yang meningkat di negara mereka.

Berdasarkan hasil riset yang telah kami lakukan, berikut merupakan beberapa obat yang paling dicari saat pandemi beserta khasiatnya

  • Remdesivir: antivirus (menghambat proses replikasi virus SARS-CoV-2).
  • Actemra (Tocilizumab): antibodi monoklonal (berikatan dengan reseptor IL-6 sehingga menghambat sinyal IL-6 yang mengakibatkan penurunan produksi mediator inflamasi).
  • Gammaraas (injeksi Imunoglobulin): pendorong antibodi tambahan
  • Favipiravir: antivirus (menghambat secara selektif RNA polimerase virus, sehingga transkripsi dan replikasi virus terhambat).
  • Oseltamivir: antivirus (untuk influenza dengan menghambat neuraminidase -enzim yang digunakan untuk pelepasan virus dari sel yang terinfeksi). Fun fact: SARS-CoV-2 tidak memiliki enzim neuraminidase. Awalnya obat ini diberikan karena sulitnya membedakan gejala Covid-19 dengan influenza. Saat ini disarankan untuk tidak digunakan rutin, tapi kemenkes masih belum memutuskan penarikan obat tersebut.
  • Azithromycin: antibiotik untuk bakteri yang memiliki aksi antiinflamasi (digunakan dalam kondisi ringan, sehingga diharapkan kondisinya tidak menjadi parah). Fun fact: sama seperti oseltamivir, obat ini disarankan untuk tidak digunakan rutin karena obat ini adalah antibakteri yang jika digunakan secara rutin, dapat memunculkan resistensi antibiotik.
  • Ivermectin : obat cacing (Beberapa pihak menggunakan obat ivermectin sebagai terapi COVID 19. Namun obat ini masih belum teruji BPOM)

Bagaimana obat-obat tersebut diproduksi?

  • Actemra (Tocilizumab/TCZ)
    TCZ adalah antibodi monoklonal rekombinan dari subkelas IgG yang diproduksi menggunakan teknologi DNA rekombinan. Antibodi ini terdiri dari 2 rantai berat dan 2 rantai ringan dengan 12 ikatan disulfida intra-rantai dan 4 antar-rantai dengan total berat molekul 149 kDa. Proses produksi diawali dengan pengembangan genetik untuk memilih plasmid rekombinan dan sel inang yang tepat. Selanjutnya adalah pembuatan master dan working cell bank, serta melakukan fermentasi dalam bioreaktor. Setelah itu dilakukan isolasi antibodi, purifikasi, karakterisasi, dan formulasi sebelum akhirnya dipindahkan ke botol kaca.
  • Gammaraas (injeksi imunoglobulin)
    Pembuatan injeksi imunoglobulin melibatkan proses isolasi dari protein plasma dengan pengendapan bertahap dan fraksinasi menggunakan etanol. Setiap industri dapat melakukan teknik pembuatan yang beragam, namun secara umum proses pembuatan IGIV mencakup serangkaian presipitasi, sentrifugasi, filtrasi, dan tahapan lain yang dirancang untuk menghilangkan virus patogen.
  • Favipiravir
    Favipiravir merupakan obat antivirus yang diproduksi melalui sintesis kimia dimana terdapat berbagai jalur sintesis untuk produksi favipiravir, yaitu ada yang menggunakan bahan awal methyl 3-amino-6-bromopyrazine-2-carboxylate, 3-hydroxypyrazine-2-carboxamide, atau 3-aminopyrazine-2-carboxylicacid.
  • Oseltamivir
    Pada awalnya, oseltamivir diproduksi secara sintesis menggunakan asam shikimat. Kapsul oseltamivir dibuat dengan mencampurkannya dengan bahan tambahan lainnya (seperti bahan pengisi, pengikat, dan penghancur) yang dimasukkan ke dalam cangkang kapsul.
  • Azithromycin
    Azythromycin adalah antibiotik semisintetis yang berasal dari erithtomycin, yaitu produk dari bakteri Streptomyces erytherus. Tablet azithromycin dibuat dengan mencampurkannya dengan bahan tambahan lainnya yang dicetak menjadi tablet.
  • Ivermectin
    Ivermectin diperoleh dari modifikasi avermectin, yaitu zat yang berasal dari kultur Streptomyces avermitilis. Tablet ivermectin dibuat dengan bahan tambahan yang kemudian dicetak menjadi tablet

Industri Manufaktur Farmasi Indonesia Saat Ini

Sejauh ini, Indonesia memiliki 226 industri farmasi obat dengan rincian 221 farmasi kimia, 4 produk biologi (pengembang DNA, RNA, Protein), dan 1 industri farmasi vaksin. Di satu sisi, industri bahan baku farmasi Indonesia hanya berjumlah 9 industri dengan rincian 6 farmasi kimia, 2 bahan farmasi biologi, dan 1 farmasi vaksin. Sejauh ini ketergantungan Industri Indonesia terhadap bahan baku impor cukup tinggi mencapai 90%. Untuk obat terkait COVID-19 sendiri, ketergantungan bahan baku berkisar antara 100% untuk Favipiravir, 100% untuk Tocilizumab, 60% untuk Oseltamivir/Tamiflu, 100% untuk Intravenous immunoglobulin, dan 2% untuk Azithromycin.

Impor bahan baku memang merupakan bagian dari globalisasi bisnis untuk menekan biaya produksi obat di Indonesia namun menyebabkan ketergantungan untuk industri. Di sisi lain, Industri research-based di Indonesia yang berkaitan dengan farmasi masih sangat sedikit.

Hambatan Industri Farmasi Berkembang di Indonesia

Terdapat cukup banyak hambatan yang dihadapi industri farmasi dalam perkembangannya di Indonesia. Indonesia masih sangat bergantung dengan impor dalam memproduksi obat-obatannya. Biaya litbang yang mahal dan proses uji praklinik dan uji klinik yang memerlukan beberapa tahun. Ditambah lagi dari segi teknologi, Indonesia belum dapat dikatakan memiliki teknologi yang mutakhir dalam memproduksi bahan baku obat, sehingga harga bahan baku obat akhirnya tidak dapat bersaing dengan negara lain seperti India dan Tiongkok.

Sebelum COVID-19 hal ini tidak terlalu menjadi perhatian karena dinilai tidak terlalu menguntungkan apalagi jika ditargetkan untuk pasar dalam negeri. Pada tahun 2016, valuasi pasar farmasi Indonesia saat ini hanya berkisar pada Rp 65 triliun dimana dinilai angka tersebut kurang menarik sebelum pandemi. Angka tersebut berhasil terdongkrak naik akibat pandemi COVID-19. Pertanyaannya, bagaimana prospek industri farmasi setelah pandemi usai?

Jika ditinjau dari sisi industri farmasi, saat ini impor bahan baku farmasi (bahan aktif) atau Active Pharmaceutical Ingredients (API) Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar antara 90 persen hingga 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat dependen dengan luar negeri jika bicara masalah sumber daya. Bicara sumber daya, Indonesia juga masih terbilang kurang dari sumber daya manusianya, terlihat dari upaya penelitian dan pengembangan bahan baku obat yang masih minim. Andaikata Indonesia telah berhasil mengatasi dua masalah di atas, kita masih harus memproduksi dengan biaya yang sangat mahal. Perlu beberapa waktu untuk dapat mencapai economies of scale. Untungnya hal ini seharusnya tidak akan menjadi masalah di masa depan ketika kapasitas produksi bahan baku obat dalam negeri kita sudah semakin membesar.

Sedangkan dari sisi regulasi, bahan baku obat dan makanan di Indonesia diatur dengan jelas oleh BPOM. Peraturan mengenai sertifikasi dan pengedaran bahan baku obat dapat dilihat pada Peraturan badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 tahun 2020 tentang Rencana Strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2020–2024. Di dalamnya disebutkan bahwa terdapat lima tantangan utama yang akan dihadapi

  1. Kesehatan
    Menjamin produk obat dan makanan yang beredar memenuhi standar keamanan, manfaat/khasiat, dan mutu.
  2. Sosial
    Meningkatkan kepercayaan publik terhadap kualitas produk obat dan makanan yang beredar.
  3. Ekonomi
    Mendorong daya saing industri Obat dan Makanan dengan semakin mudahnya perizinan dan sertifikasi obat dan makanan dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan dan mutu produk, termasuk jaminan produk halal, dukungan pengembangan obat dan makanan baru, serta mendorong ketersediaan bahan baku dalam negeri melalui riset, meniadakan penyelundupan dan peredaran produk ilegal dan palsu, serta memperluas penggunaan teknologi dalam pengawasan obat dan makanan.
  4. Keamanan nasional
    Meningkatkan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran/kejahatan Obat dan Makanan yang merupakan kejahatan kemanusiaan, termasuk bioterorisme.
  5. Teknologi
    Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan berbasis teknologi informasi untuk menghadapi tren peredaran obat dan makanan daring di era Revolusi Industri 4.0.

Rekomendasi

Berdasarkan beberapa hal diatas, kami dapat memberikan beberapa rekomendasi. Menurut sudut pandang ilmu farmasi, berikut beberapa rekomendasi yang dapat diberikan:

  • Memperbanyak industri bahan baku obat. Tidak hanya obat yang berbasis reaksi kimia, tapi juga obat yang berbasis bioteknologi.
  • Penelitian mendalam mengenai obat bahan alam, dikarenakan Indonesia merupakan negara yang terletak di kawasan subtropis. Indonesia memiliki 20.000 spesies tumbuhan. Obat bahan alam dapat menjadi alternatif pengobatan berbagai penyakit di samping penggunaan obat berbahan dasar sintesis kimia — isolat bahan alam bisa juga didapatkan dari hewan.
  • Kerja sama dengan pihak luar untuk mengembangkan kemampuan riset bahan baku obat di Indonesia, serta memberikan kesempatan bagi SDM untuk memperoleh transfer ilmu dan teknologi tentang pengembangan dan produksi bahan baku obat.
  • Memanfaatkan bahan baku herbal yang melimpah di Indonesia
    Mengeksplorasi potensi obat-obatan tradisional untuk penggunaan lazim sehari-hari bersama obat-obatan modern. Pemerintah perlu mendorong penambahan industri fitofarmaka, saat ini mungkin jumlah perusahaan fitofarmaka masih dapat dihitung jari. Ini merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku obat dari negara lain.

Sedangkan dari segi keilmuan perindustrian, sebetulnya pemerintah Indonesia dapat memperluas pengembangan industri bahan baku obat lintas pihak seperti yang dilakukan oleh PT Pertamina dan PT Kimia Farma Tbk dalam pengembangan bahan baku benzene untuk obat parasetamol . Namun, diperlukan strategi technology catch up pada Industri farmasi yang dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu:

  1. Strategi Reverse Value Chain : industri manufaktur Indonesia dapat melirik bagaimana manufaktur farmasi yang sudah ada, dan dapat berkutat terlebih dahulu pada proses downstream. Dalam hal ini manufaktur farmasi kemudian dapat memahami produk lebih mendalam dan keluar dengan hasil
Strategi reverse value chain

2. Applications Pioneering Strategy : Pada strategi ini, perusahaan dapat membuat produk baru dengan menginovasikan cara penggunaan teknologi yang ada.

3. Technological Learning : Internal peruasahaan perlu mengupayakan aktivitas tecchnological learning untuk meningkatkan kapabilitas sumber daya perusahaan. Hal ini juga dapat dicontoh pada PT. Bio Farma dimana beberapa kali mengirim perwakilannya untuk belajar di mancanegara untuk mengetahui secara langsung bagaimana perkembangan industri farmasi di negara terkait.

Selain beberapa hal diatas, upaya investasi terhadap Research & Development farmasi Indonesia perlu digalakkan untuk mendorong pertumbuhan riset yang signifikan. Untuk kedepanya, industri farmasi juga dapat menargetkan pasar mancanegara sehingga akan lebih berprospek dalam jangka panjang.

Sumber :

Ariana, Lutfah. (2015). Technological Catch Up. LIPI Press: Jakarta

European Medicine Agency. Summary on compassionate use. April 2020. Retrieved From. https://www.ema.europa.eu/en/documents/other/summary-compassionate-use-remdesivir-gilead_en.pdf

FDA: Fact Sheet For Health Care Providers EUA of Remdesivir. Retrieved from https://www.fda.gov/media/137566/download

Guo, Q., Xu, M., Guo, S. et al. The complete synthesis of favipiravir from 2-aminopyrazine. Chem. Pap. 73, 1043–1051 (2019). https://doi.org/10.1007/s11696-018-0654-9

Immune globulin intravenous (human), 5% liquid gammaplex: for replacement therapy of primary humoral immunodeficiency. (2011). P & T : a peer-reviewed journal for formulary management, 36(6), 2–16. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3138361/

Jawapos.com. (2021). Obat-obatan Terapi Covid-19 Makin Langka dan Mahal. Retrieved from https://www.jawapos.com/kesehatan/09/07/2021/obat-obatan-terapi-covid-19-makin-langka-dan-mahal/

Martinus, Yaspen. (2021). Kasus Covid-19 Masih Tinggi, Cadangan Obat Setahun Punya Kemenkes Habis Kurang dari Sebulan Retrieved from

https://wartakota.tribunnews.com/2021/07/20/kasus-covid-19-masih-tinggi-cadangan-obat-setahun-punya-kemenkes-habis-kurang-dari-sebulan

Rezkisari, Indria. (2021) Kemenkes Laporkan Tiga Obat Covid Kosong Stok. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/qw8a3q328/kemenkes-laporkan-tiga-obat-covid-kosong-stok

Sheppard, M., Laskou, F., Stapleton, P. P., Hadavi, S., & Dasgupta, B. (2017). Tocilizumab (Actemra). Human vaccines & immunotherapeutics, 13(9), 1972–1988. https://doi.org/10.1080/21645515.2017.1316909

--

--