Memahami Quarter Life Crisis: Reshaping Crisis into Purpose

Kefira Sutantio
MTI Insights
Published in
7 min readDec 5, 2020

Diantara kita pasti ada yang pernah melakukan ini setidaknya sekali. Melihat feeds LinkedIn, lalu melihat job update terbaru teman seangkatan. Atau bertukar halaman profile dengan rekan sejawat yang sudah punya prestasi segudang. Ada pula teman yang baru juga lulus sudah diterima di perusahaan X. Sulit rasanya untuk tidak merasa insecure dan berujung pada membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Waktu masih SMA, rasanya ingin cepat-cepat lulus kuliah, cari kerja, jadi orang dewasa yang kaya. Planning hidup sudah runtut, dari ijab kabul sampai punya rumah sendiri di usia 30 tahun. Namun ketika umur berangsur mendekati kedewasaan, milestone-milestone tersebut rasanya mulai kabur. Kita mulai meragukan diri sendiri.

Kerap kali kita dihantui dengan perasaan tidak mampu, tidak puas dengan pencapaian selama ini, lalu bingung harus menentukan apa untuk langkah kehidupan kita selanjutnya.

Fenomena ini tidak lain adalah quarter life crisis (QLC). Meskipun ada kata ‘quarter’, krisis ini tidak serta merta terjadi pada seperempat total panjang umur seseorang. Dapat dibilang bahwa krisis ini muncul dalam proses menjadi dewasa, di usia 20 an dan bahkan bisa berlanjut hingga usia 30 tahun-an.

Coba perhatikan pertanyaan berikut. Apakah masih bingung tentang jalur karir apa yang harus dipilih? Apakah tidak yakin bahwa kemampuan dan mata pencaharian akan bisa menghasilkan uang yang cukup untuk membeli rumah? Apakah aku bisa menikah sebelum usia sekian? Mungkin salah satu dari pertanyaan tersebut pernah singgah di benak kita setidaknya sekali selama masa kuliah. Menurut sebuah studi yang dilakukan LinkedIn, 72% dari young professionals di Inggris mengaku telah mengalami QLC. Fenomena ini lebih umum dari yang dibayangkan.

Psikolog Dr. Alex Fowke mendefinisikan QLC sebagai periode “insecurity, doubt, and disappointment surrounding your career, relationships, and financial situations.” Setelah melewati periode remaja, seseorang di usia 20 awal membuka lembaran baru menjadi manusia dewasa seutuhnya. Mereka mulai bekerja kemudian menjumpai tuntutan tinggi yang tidak pernah dirasakan saat masih menjadi seorang remaja. Akibatnya, orang-orang muda mulai meragukan diri sendiri dan mengalami stress dalam menghadapi tekanan proses menjadi dewasa.

Pemicu QLC

Tiga poin utama menjadi pemicu QLC mencakup karir, hubungan, dan keadaan ekonomi. Tentunya ketiga hal ini sangat relevan untuk orang-orang muda yang baru memulai karir. Secara umum, milestone-milestone penting kehidupan manusia terjadi di rentang usia 20-an, dari karir pertama, rumah pertama, pernikahan, dan mempunyai anak. Di masa modern ini, memiliki rumah yang layak sebelum memutuskan menikah hampir menjadi keharusan. Lalu, untuk memiliki rumah harus bagaimana? Artinya harus memiliki income yang cukup untuk mendanai DP rumah. Jika ditarik mundur terus, pertanyaan ini akan tidak ada habisnya. Income yang cukup berasal dari pekerjaan dengan gaji tinggi, apakah trayektori karir sekarang akan mampu untuk mencapai hal tersebut? Belum lagi tanggungan finansial yang lain dan seterusnya.

QLC tidak pernah hilang meski bertahun-tahun telah berlalu, namun, tuntutan kehidupan masa sekarang membuat QLC terjadi secara lebih intens. Biaya hidup zaman sekarang semakin tinggi. Salah satu indikator adalah harga rumah yang terus mengalami kenaikan. IHPR (Indeks Harga Properti) yang dikeluarkan oleh BI terus mengalami pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 3.22% setiap tahunnya. Memang kalah cepat dengan kenaikan upah gaji bersih pegawai yang rata-ratanya sebesar 4.53%, namun perlu diingat, harga rumah berlipat-lipat dibandingkan gaji bulanan karyawan. Hal ini menjadi salah satu kegelisahan yang dapat men-trigger QLC.

Selain concern ekonomi, struktur pendidikan yang serba cepat mengakibatkan QLC tersulut dalam diri seseorang. Barlett (2016) dalam studinya mengemukakan bahwa rata-rata umur depresi telah menurun dari usia 40–50 menjadi pertengahan 20-an. Sistem pendidikan modern dan tuntutan sosial yang serba terburu-buru membuat seseorang “dipaksa” memilih jalur karirnya secepat mungkin di usia 17–18 tahun. Pada periode tersebut, kepribadian dan visi kita belum terbentuk secara seutuhnya, kita belum tahu apa yang ingin kita lakukan untuk seumur hidup namun sudah dipaksa untuk mengambil keputusan. Maka itu, periode figuring out menjadi bergeser ke usia 20 tahun awal selepas lulus kuliah dan berlanjut hingga usia 30.

Berhubungan dengan situasi meragukan diri sendiri, banyaknya pilihan jalur karir yang tersedia juga menjadi faktor yang berkontribusi kuat. Remaja diminta untuk bermimpi besar, harus mimpi setinggi mungkin dan percaya dapat mencapainya. Ketika telah sampai pada tahap itu, ternyata mimpi besar juga datang dengan tanggung jawab besar. Banyak yang ternyata tidak siap, meskipun sudah memiliki ekspektasi yang tinggi untuk menghadapi dunia dewasa. Kesenjangan ini berpotensi mengakibatkan kekecewaan, kegelisahan, dan pada akhirnya menjerumuskan seseorang ke dalam QLC.

Untuk disimpulkan, akar masalah dari QLC dapat disimplifikasi sebagai kombinasi dari betrayal of expectations dan peer pressure.

Apa yang tadinya menjadi mimpi idealis tiba-tiba rasanya begitu jauh. Semakin seseorang bertambah dewasa, ekspektasi yang dibangunnya ketika remaja hancur terpukul oleh realita. Ternyata tidak semudah itu. Banyak orang usia 20-an menjadi merenungkan kembali pilihan hidupnya. Ada yang concern akan jalur karir nya, ada yang meragukan kompetensinya dalam bidang yang ditekuninya selama ini.

Menanggapi QLC

QLC tentu bukanlah akhir dari segalanya, namun justru pintu gerbang menentukan arah dalam kehidupan.

Rasanya QLC adalah disrupsi dari hari-hari remaja yang tanpa beban, tapi kabar baiknya QLC siklus yang bersifat dinamis dan temporer. Di tengah segala ketidakpastian, QLC dapat dipandang sebagai pengingat bahwa dalam keadaan yang rasanya tidak ada jalan keluar, tekad kuat dan keyakinan akan membawa kita mampu melewatinya.

Psikiater Oliver Robinson mengkategorikan dua jenis QLC yaitu locked-in type dan locked-out type. Locked -in type adalah QLC yang terjadi akibat ketidakpuasan berada secara statis dalam satu hal, entah itu pilihan karir, komitmen, atau pasangan. Sementara locked-out type bermula dari burnout akibat usaha yang tidak kunjung membuahkan hasil. Kedua siklus ini dapat terjadi di saat yang berbeda dan tentunya tidak mutually exclusive. Coba kenali, dimanakah posisi para pembaca sekarang?

Entah sekarang ini berada pada tahap yang mana, diharapkan QLC dapat mencapai tahap resolution. Darain Faraz, Careers Expert di LinkedIn, berbagi tips untuk mengalahkan QLC:

  1. Berhenti membandingkan diri dengan orang lain

Perasaan gagal dan underachieve dapat berkembang pesat jika kita terus membandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Setiap orang memiliki definisi sukses yang berbeda, trajectory menuju sukses tersebut tentu memiliki pola yang berbeda pula. Semua orang berjuang dengan caranya masing-masing dan berada pada tahap yang berbeda-beda dalam perjalanannya. Penting untuk terus mengingat bahwa apapun yang memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi diri sendiri sudah cukup.

2. Mengidentifikasi root cause

Besarnya tekanan finansial, tekanan untuk sukses dari keluarga dan bahkan dari pemikiran diri sendiri membuat kita sulit untuk melihat situasi secara big picture. Perluas pandangan, lalu dengan objektif mencari apa faktor terbesar yang membuat diri kita paling merasa tidak yakin. Mungkin itu finansial, hubungan personal, atau trajektori karir yang sedang dijalani sekarang. A problem well defined is a problem half-solved, mengenali root cause dengan baik akan mempermudah penyelesaiannya juga.

3. Bersikap baik terhadap diri sendiri

Seringkali kritikus tertajam untuk diri kita tidak lain adalah diri kita sendiri. Di kala itu, penting untuk mengingat hal-hal positif seperti achievements yang pernah kita raih dan kesulitan yang sudah berhasil kita lewati. Eksplor kembali hal-hal yang secara tidak sadar kita tinggalkan dalam proses menjadi dewasa, entah itu hobi atau olahraga tertentu yang pernah memberikan kepuasan bagi diri kita. Jadikan kesempatan ini untuk get in touch dengan diri kita sendiri. Hidup adalah siklus antara hal baik dan hal buruk, krisis tidak akan berlangsung selamanya.

4. Berdiskusi dengan orang lain

Pandangan yang kita miliki atas masalah yang sedang dilalui sering kali subjektif dan penuh bias. Berdiskusi dengan orang lain dapat membantu memberikan rasionalisasi terhadap ketidakpuasan yang kita rasakan. Orang dekat seperti keluarga dan teman-teman yang suportif akan memberikan dukungan moral yang diperlukan. Selain mereka, mendapat masukan dari orang yang berkecimpung di industri yang sama juga dapat memberikan outlook yang bermanfaat.

5. Riset, riset, riset

Ketika sudah memahami akar masalah dan mendiskusikan keresahan dengan orang-orang yang relevan, langkah selanjutnya adalah untuk meng-assess segala kemungkinan yang ada. Lakukan riset terhadap opsi-opsi yang tersedia dan gali passion sendiri. Brainstorm kegiatan-kegiatan yang bisa membawa perubahan pada ketidakpuasan yang telah diidentifikasi. Mulai dari goal-goal kecil terlebih dahulu sebelum membuat perubahan radikal seperti mengubah pilihan karir. Jika diperlukan, carilah bantuan kepada lembaga finansial profesional atau pada mentor yang tepat.

Penutup

QLC, terlepas namanya, sebenarnya adalah periode yang hampir dilewati oleh semua orang. Mengenali diri sendiri adalah langkah awal untuk memandang secara objektif masalah yang kebanyakan hanya ada dalam pikiran kita. Ingat, kita tidak sendiri, dan kita bisa mengarahkan krisis menjadi sesuatu yang lebih produktif.

Memahami krisis yang tengah dihadapi dapat menjadi pemicu untuk menciptakan perubahan positif dalam kehidupan.

Bibliography

Barlett, Christopher P. “Exploring the correlations between emerging adulthood, Dark Triad traits, and aggressive behavior.” Personality and Individual Differences, vol. 101, 2016, pp. 293–298, https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0191886916304226. Accessed 21 November 2020.

Beaton, Caroline. “Why Millennials Need Quarter-Life Crisis.” Psychology Today, 12 September 2017, https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-gen-y-guide/201709/why-millennials-need-quarter-life-crises. Accessed 21 November 2020.

Hosie, Rachel. “The Age You’re Most Likely to Have a Quarter-Life Crisis.” Independent, 15 November 2017, https://www.independent.co.uk/life-style/quarter-life-crisis-age-most-likely-job-work-relationships-linkedin-career-house-money-a8054616.html. Accessed 21 November 2020.

Robinson, Oliver. “How to Turn Your Quarter-Life Crisis into Quarter-Life Catalyst.” https://www.oliverrobinson.info/consultancy. Accessed 21 November 2020.

“Ternyata Kenaikan Harga Rumah Beda Tipis dengan Gaji Karyawan.” okefinance, 18 September 2020, https://economy.okezone.com/read/2020/09/18/470/2279844/ternyata-kenaikan-harga-rumah-beda-tipis-dengan-gaji-karyawan. Accessed 21 November 2020.

--

--