Pandemi dan Efeknya Terhadap Kegiatan Pembelajaran

Aldi Dwi Putra
MTI Insights
Published in
8 min readJun 17, 2020

Penulis: Aldi Dwi Putra & Zahra Kinanti

“Segala kebijakan yang ditetapkan dalam pembelajaran sepatutnya mengedepankan prinsip keadilan dari berbagai aspek. Keadilan tersebut sepatutnya dapat dirasakan dengan baik oleh mahasiswa sebagai pengguna dari fasilitas pendidikan tinggi”

Seperti sektor lain yang tetap berjalan walaupun via online, sektor pendidikan juga tetap berjalan seperti sedia kala namun dengan banyak perubahan. Seluruh kegiatan pembelajaran yang tadinya dilakukan secara tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan sangat mendadak. Begitu pula dengan kegiatan praktikum dengan asisten laboratorium. Praktikum yang tadinya dilakukan secara interaktif melalui tatap muka sekarang dilakukan secara online dengan berbagai keterbatasan.

Permasalahannya, PJJ sendiri tidak memiliki standar tertentu yang dapat digunakan oleh berbagai pihak dan akibatnya setiap pihak yang terlibat memiliki pandangan tersendiri terhadap PJJ. Misalnya, dosen mata kuliah A menggunakan video conference untuk menyampaikan materi, sedangkan dosen mata kuliah B menggunakan grup whatsapp untuk menyampaikan materi. Keduanya menyampaikan materi dengan media yang berbeda dan tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ini baru berbicara terkait 2 orang dosen dan sehingga dapat dibayangkan bagaimana perbedaan yang ada di tingkat fakultas atau bahkan di tingkat universitas.

Namun demikian, perbedaan tersebut ada dan perlu dimaklumi karena transformasi tersebut terjadi sangat cepat sehingga dosen yang sangat berpengalaman sekalipun mengalami kesulitan. Adanya paksaan untuk berubah tanpa ada dorongan dari dalam diri sendiri tentu saja bukan merupakan hal yang. Terlepas dari perbedaan tersebut perlu diingat bahwa baik dosen, mahasiswa, maupun institusi ketiganya tidak memiliki persiapan yang matang dalam menghadapi PJJ.

Lalu, semester lalu PJJ sudah berjalan sekitar 2–3 bulan. Apa saja masalah/kendala yang muncul pada pelaksanaannya?

Berikut merupakan beberapa masalah yang muncul selama PJJ.

1. Lunturnya kecerdasan sosial dan emosional

Ketika PJJ, idealnya mahasiswa perlu mempersiapkan diri mulai dari niat hingga pakaian yang dikenakan. Namun, kerap kali mahasiswa tidak 100% fokus terhadap materi yang disampaikan dosen, entah membalas obrolan di grup LINE atau salah fokus dengan reaksi dan tingkah laku dosen yang tak terduga ketika mengajar. Kita bisa saja mematikan microphone dan video kita untuk melakukan aktivitas lain dan kuliah sambil ‘rebahan’. Tentang lunturnya etika, pembelajaran tidak hanya tentang aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan psikomotor. Saat di kelas, kita diajarkan untuk menghargai dosen dengan memberikan atensi penuh saat di kelas, izin ketika ke toilet, bahkan hingga etika tentang titip absen. Tentu saja kita akan kehilangan sebagian aspek afektif dan psikomotor dalam pembelajaran. Kecerdasan sosial dan emosional ditunjukkan juga dengan empati dengan sesama teman kita di kelas, seperti menanyakan kabar tentang kondisi dan perasaan yang sedang dialami saat ini.

“Semua ini tidak hanya tentang kecerdasan kontekstual, tetapi juga kecerdasan sosial dan emosional”

2. Device untuk mengakses materi pembelajaran

Terdapat perbedaan yang signifikan secara finansial pada lingkup mahasiswa. Terdapat mahasiswa yang tergolong berasal dari keluarga berpendapatan tinggi sehingga mampu dengan mudah menyediakan fasilitas device pendukung untuk belajar dari rumah. Sebaliknya, terdapat mahasiswa yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah sehingga sulit menyediakan device pendukung pembelajaran jarak jauh. Tidak dapat dipungkiri pasti ada saja keluarga mahasiswa yang terdampak pandemi sehingga pendapatan menjadi berkurang dari kondisi normal biasanya. Prinsip keadilan yang akan dibahas adalah terkait perbedaan spesifikasi device yang dimiliki masing-masing mahasiswa. Tentu saja laptop seharga 3 juta akan berbeda dengan laptop seharga 11 juta yang mana akan memengaruhi performasi kerja laptop terutama untuk menggunakan software untuk gambar teknik, SAP designer, SPSS, dan lainnya.

3. Kondisi internet non unlimited

Permasalahan lain yang ada selain ketiadaan device pendukung adalah layanan internet berbasis kuota. PJJ sangat bergantung pada akses internet untuk kepentingan mengunduh bahan pembelajaran baik berupa presentasi, dokumen tulisan, video interaktif, maupun live streaming. Mengingat tidak semua mahasiswa mampu menggunakan internet dengan tipe unlimited, maka hal ini juga termasuk ke dalam permasalahan karena mahasiswa perlu mengeluarkan uang tambahan untuk membeli kuota agar bisa mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Ditambah lagi masalah apabila terdapat kondisi di mana internet unlimited namun kecepatannya rendah.

4. Koneksi internet yang tidak stabil

Salah satu metode populer yang digunakan dosen adalah metode synchronous learning dimana dosen dan mahasiwa akan melakukan voice/video call agar penyampaian materi di kelas online bisa semirip mungkin dengan penyampaian materi di kelas fisik. Namun, terdapat mahasiswa yang lokasi rumahnya tidak didukung oleh koneksi internet yang stabil. Hal ini menyebabkan pembelajaran menjadi tidak efektif karena baik kualitas suara maupun gambar menjadi terganggu sehingga mahasiswa tidak bisa mendapatkan materi pembelajaran.

5. Sistem ujian yang kurang sesuai

Penyelenggaraan ujian jarak jauh seharusnya tidak hanya memindahkan ujian fisik menjadi ujian online. Jika ujian fisik memerlukan waktu pengerjaan selama 2 jam, maka ujian online dengan soal yang sama memerlukan waktu lebih dari 2 jam untuk menyesuaikan permasalahan teknis yang mungkin muncul seperti mati lampu maupun mati internet. Selain itu, soal yang dibuat pun perlu didesain sedemikian rupa agar tidak menjadi soal yang bertipe “cukup googling saja” alias jawabannya dapat ditemukan dengan melakukan pencarian di internet. Dosen perlu memanfaatkan PJJ untuk menguji kemampuan analisis dan berpikir kritis mahasiswanya dengan cara membuat soal yang tidak bisa dijawab hanya dengan melakukan pencarian di internet.

Selain itu, dosen perlu untuk memantau ujian secara langsung karena ketiadaan dosen saat ujian akan menyulitkan mahasiswa apabila terdapat masalah teknis selama ujian berlangsung. Adanya pemantauan langsung oleh dosen akan mempercepat penyelesaian masalah teknis yang muncul serta memberikan rasa aman bagi mahasiswa sebagai peserta ujian.

6. Kondisi psikologis mahasiswa

Resiliensi diri mahasiswa dalam menghadapi situasi pandemi ini tentu berbeda-beda. Kondisi psikologis mahasiswa yang berbeda-beda akan memengaruhi performasi belajar. Ada mahasiswa yang telah menerima segala kondisi ini, ada juga yang belum. Mahasiswa dengan karakter extrovert akan lebih sulit menerima lock down ini sedangkan mahasiswa introvert akan cenderung lebih menerima kondisi ini. Perbedaan juga dapat dilihat dari mahasiswa yang telah berhasil pulang ke rumah dan ada yang tetap di daerah perantauan di Bandung karena tidak dapat pulang ke kampung halaman. Kondisi mahasiswa yang nyaman di rumah berada di dekat orang tua tentu akan berbeda dengan kondisi mahasiswa yang hingga saat ini masih berada di perantauan.

7. Kerja kelompok yang kurang optimal

Kerja kelompok yang pada awalnya bisa dilakukan bersama-sama dengan tatap muka, sekarang hanya bisa melalui online meeting. Dengan tugas berkelompok, kelompok cenderung bukan bekerja bersama namun mengerjakan bagian masing-masing untuk tugas bersama. Dengan demikian, kita belum tentu paham dengan bagian yang dikerjakan oleh teman kita yang lainnya. Tantangan yang dihadapi untuk kerja kelompok virtual ini adalah komunikasi yang intensif dan efektif.

Anggap ketujuh masalah di atas sudah 100% mencerminkan seluruh permasalahan selama PJJ. Lalu apa yang patut dilakukan untuk memperbaikinya?

Perlu diingat, mahasiswa bukan satu-satunya pihak yang dirugikan terkait PJJ. Dosen dan prodi sekalipun juga dirugikan akan adanya peristiwa ini. Daripada saling menyalahkan, lebih baik saling merangkul bukan?

Untuk itu, berikut merupakan hal-hal yang dapat dilakukan terkait perbaikan PJJ.

1. Mengedepankan prinsip keadilan

Memastikan bahwa setiap mekanisme dan sistem yang diterapkan harus dapat diakses dan digunakan oleh seluruh mahasiswa sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Hal ini dapat diterapkan apabila akan menghadapi ujian. Dosen mengharapkan mahasiswa untuk menginstalasi software A. Namun, pada akhirnya terdapat beberapa mahasiswa yang tidak dapat menginstalasi software tersebut. Bijaknya, dosen mengedepankan prinsip keadilan dengan memberikan ujian dengan alternatif software yang dapat diakses oleh seluruh mahasiswa tanpa terkecuali. Solusi lain juga dapat dilakukan dengan memberikan ujian berkelompok dengan minimal terdapat satu mahasiswa yang memiliki software yang ditetapkan. Dengan demikian, tidak ada yang tertinggal.

2. Kerjasama prodi, dosen, dan mahasiswa

Sebagai pihak yang paling berkuasa di dalam sistem pendidikan di TI ITB, prodi perlu mengumpulkan data komprehensif terkait keadaan mahasiswa baik secara finansial maupun emosional. Data finansial yang dibutuhkan perlu mencakup ada tidaknya device pendukung pembelajaran serta ada tidaknya koneksi internet unlimited yang stabil. Data tersebut nantinya dapat digunakan sebagai dasar pemberian subsidi bagi mahasiswa yang membutuhkan. Disisi lain, dosen diharapkan membantu pengumpulan data melalui kelas-kelas dan mahasiswa perlu saling mengingatkan satu sama lain untuk mengumpulkan data tersebut. Selain itu, prodi juga diharapkan dapat secara proaktif melakukan pengumpulan data terkait kondisi psikologis mahasiswanya. Prodi juga dapat membuka layanan konseling agar mahasiswa dapat bercerita secara lengkap terkait keadaan yang dialaminya.

Hal yang perlu diperhatikan adalah melakukan survei terkait kondisi mahasiswa dilakukan secara berkala. Tidak hanya menanyakan kondisi mahasiswa, namun mahasiswa juga diberikan ruang untuk melakukan evaluasi berkala terkait pembelajaran jarak jauh yang dieksekusi oleh desain sehingga kedua entitas sama-sama dapat melakukan perbaikan yang berkelanjutan. Selain itu, perlu diadakan pertemuan online antara mahasiswa dan pihak prodi untuk saling terbuka dengan apa yang bisa prodi bantu dan apa yang dibutuhkan mahasiswa saat ini.

3. Menggunakan metode asynchronous learning dalam menyampaikan materi pembelajaran

Metode asynchronous learning dapat mengatasi banyak masalah sekaligus. Dengan metode ini, maka mahasiswa yang tidak memiliki internet dapat pergi ke suatu tempat yang menyediakan wifi dan mengunduh semua materi pembelajaran sekaligus sehingga tidak diperlukan biaya tambahan untuk instalasi wifi di rumah sendiri.

Masalah kedua yang dapat diselesaikan adalah internet yang tidak stabil. Metode synchronous learning memaksa mahasiswa dan dosen untuk online pada waktu yang sama dan tetap online selama waktu pembelajaran. Tentu saja hal tersebut menjadi mustahil bagi mahasiswa maupun dosen yang tidak memiliki koneksi internet yang stabil.

Masalah ketiga yang diselesaikan adalah ketiadaan device pendukung. Dapat dibayangkan jika dalam 1 keluarga terdapat 3 orang anak yang ketiganya merupakan pelajar, dapat dibayangkan masalah yang akan muncul jika hanya terdapat 1 buah laptop untuk ketiganya. Dengan demikian, metode synchronous learning tidak bisa diterima dengan baik oleh mahasiswa dengan keadaan tersebut.

4. Pemberian feedback untuk menjaga motivasi mahasiswa

Dalam keadaan seperti ini, sangat sulit untuk menjaga motivasi dan semangat belajar. Sehingga, dosen perlu memberikan tugas secara berkala dan yang terpenting memberikan penilaian terhadap tugas tersebut. Pada prinsipnya, tantanganlah yang akan menjaga motivasi seseorang. Dalam hal ini, tugaslah yang akan menjaga motivasi seorang mahasiswa. Poin penting dari pemberian tugas adalah: mahasiswa menerima feedback akan pekerjaannya, sehingga baik mahasiswa maupun dosen akan tetap berada pada jalur yang tepat. Pertanyaan seperti “apakah tugasnya masuk penilaian?” akan dikembalikan kepada dosen sesuai selera masing-masing.

5. Memberikan rekomendasi website belajar

Perlu dipahami bahwa tidak setiap dosen terbiasa membuat video mengajar maupun membuat materi belajar secara khusus untuk mendukung PJJ. Pada kasus ini, disarankan bagi dosen untuk mencari sumber belajar online yang dapat diakses secara gratis. Dosen cukup memberikan rekomendasi kepada mahasiswanya untuk belajar dari sumber tersebut sehingga dosen hanya perlu memberikan tugas dan feedback untuk memastikan bahwa semua pihak berada pada jalur yang benar.

Penutup

Dengan segala masalah dan solusi yang ada, terdapat beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari segala proses PJJ ini. Kecerdasan menggunakan teknologi oleh dosen dan mahasiswa meningkat dibandingkan sebelumnya. Hal ini dapat menjadi refleksi untuk mengoptimalkan kembali online learning ketika pembelajaran telah kembali dilakukan dengan tatap muka. Dengan mengombinasikan keduanya, pembelajaran akan lebih efektif.

Selain itu, kita menjadi tersadarkan akan pentingnya sebuah pertemuan. Saat ini kita tidak dapat bertemu langsung dengan sesama teman kita, dengan dosen, bahkan tidak dapat merasakan suasana gedung kelas yang biasa menjadi rumah kedua kita. Kita menjadi sadar akan pentingnya komunikasi dan saling memahami satu sama lain. Tanpa kita sadari, selama kuliah tatap muka dilaksanakan, interaksi dosen dan mahasiswa sejauh ini juga hanya sebatas interaksi di kelas saja. Barangkali mahasiswa yang dapat berinteraksi di luar kelas hanya mahasiswa tertentu saja yang memang sudah kenal karena suatu urusan. Hal ini yang menjadikan physchological safety mahasiswa di kelas menjadi sangat rendah. Masalah utamanya adalah kita tidak pernah mengetahui bagaimana persepsi dosen terhadap mahasiswa dan dosen tidak pernah mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap dosen. Pada akhirnya, kita terjebak pada persepsi masing-masing tanpa mengetahui persepsi lain yang kemudian menyebabkan mahasiswa menjadi takut salah ketika bertanya, takut salah dalam berpendapat, bahkan takut dianggap meremehkan kuliah.

PJJ ini menjadi momen kita untuk merefleksikan hubungan komunikasi yang seharusnya mendekatkan yang jauh, bukan menjauhkan yang dekat. PJJ menjadi momen bersama untuk saling memahami satu sama lain. Dengan membangun komunikasi yang baik secara virtual antara dosen mahasiswa, pada akhirnya ketika new normal dan kembali belajar tatap muka, diskusi dalam kegiatan pembelajaran akan jauh lebih hidup karena physchological safety yang meningkat.

Saatnya kita kembalikan pertanyaannya, apakah dosen dan mahasiswa sepakat untuk saling memahami satu sama lain?

Referensi

https://www.mckinsey.com/industries/public-sector/our-insights/getting-the-next-phase-of-remote-learning-right-in-higher-education

https://hbr.org/2017/08/high-performing-teams-need-psychological-safety-heres-how-to-create-it

https://cft.vanderbilt.edu/guides-sub-pages/blooms-taxonomy/

--

--