Pandemi, Industri, dan Kesejahteraan

Bagaimana masa depan yang akan kita hadapi? Apakah lockdown merupakan solusi yang tepat?

Thariq Izzah
MTI Insights
8 min readMar 21, 2020

--

Kemunculan COVID-19, yang kini sudah dinyatakan sebagai pandemi, benar-benar memiliki potensi dampak pada semua yang kita tahu hingga saat ini. Bagi beberapa orang, pandemi ini memaksa mereka untuk dapat melakukan sebagian besar aktivitas dari rumah, termasuk belajar dan bekerja. Kondisi seperti ini membuat kita tidak bisa beraktivitas seperti biasa, tidak bisa bertatap muka, berkumpul, dan menggagalkan segala rencana penting yang membutuhkan kehadiran orang banyak. Kita hanya bisa pasrah. Namun, itu semua tidak seberapa. Bagaimana nasib orang-orang lainnya? Bagaimana dampaknya terhadap keseluruhan umat manusia?

Disrupsi Ekonomi dan Industri Tahan Banting

Sejak kemunculannya pada bulan Desember 2019 di Kota Wuhan, Tiongkok, COVID-19 sudah menginfeksi sekitar 300.000 orang di dunia. Dengan jumlah kematian di dunia yang sudah mencapai 10.000 orang, tidak diragukan lagi pandemi ini sudah mendisrupsi bagaimana umumnya orang menjalan kesehariannya. Banyak aktivitas menjadi terhenti, ekonomi dunia pun diprediksi akan mengalami resesi. Dilansir dari CNBC, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2020 menjadi 2,4%, dari prediksi sebelumnya yakni 2,9%. Angka tersebut menunjukkan penurunan yang cukup signifikan.

Pasar saham di dunia pun kini menurun drastis. Terhitung sejak awal tahun 2020, pasar saham Amerika menurun 10,79% (S&P 500 Index), pasar saham Eropa menurun 19,29% (STOXX Europe 600), dan pasar saham Jepang turun 16,17% (Nikkei 225 Index). Bahkan, di Indonesia, IHSG melorot 14,89% secara year to date.

Saat ini benar-benar bukan waktu yang tepat untuk menanam saham ya…

Secara makro, ekonomi terdisrupsi, in a bad way. Namun, bagaimana bila kita melihat secara tersegmen? Industri mana saja yang terdampak dengan keberadaan virus corona ini? Karena industri adalah pemberi nilai tambah demi memenuhi kebutuhan pasarnya, mari kita lihat kebutuhan manusia secara mikro dengan konsep Piramida Maslow.

Piramida Kebutuhan Maslow (sumber: simplypsychology.org)

Seperti terlihat pada Piramida Maslow, kebutuhan manusia memiliki banyak tingkatan. Menurut teorinya, manusia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan dari tingkat terbawah hingga tingkat paling atas. Meskipun teori ini masih bisa diperdebatkan, mari kita telan dulu secara logika. Keberadaan virus corona akan memberikan efek terkait ancaman terhadap kesehatan manusia which is kebutuhan pada tingkat kedua terbawah. Di saat-saat seperti ini, hal ini dapat dikonfirmasi dengan fenomena orang-orang memiliki kecenderungan untuk melakukan panic buying, baik itu untuk makanan pokok, masker, dan hand sanitizer. Lagi-lagi, saat ini semuanya akan fokus untuk memenuhi kebutuhan tingkat bawahnya. Lalu, bagaimana dengan kebutuhan pada tingkat atas?

Orang terisolasi dalam waktu yang lama akan merasa kebutuhan sosialnya tidak terpenuhi, membuat kebutuhan untuk esteem dan aktualisasi diri akan tidak terlalu dilihat. Hal ini disebabkan kebutuhan pada tingkat dua dan tiga terancam tidak terpenuhi. Pada masa-masa isolasi diri, orang cenderung tidak akan terpikir untuk mencari experience seperti travelling, makan-makan di tempat mewah, menikmati konser musik, dan menonton pertandingan sepakbola. Kecuali ada kasus lain yang masih tetep aja ngumpul rame-rame ya.

Orang juga akan cenderung tidak akan merasa butuh untuk membeli barang-barang mewah dan membuat perayaan seremonial (terus yang mau nikah gimana dong..) since health is their number one priority right now.

Kebutuhan-kebutuhan yang tidak lagi diprioritaskan itu yang menjadi dasar suatu industri akan menurun atau bahkan mati selama periode darurat pandemi ini. Industri yang sifatnya rekreasi akan menurun: pariwisata, perhotelan, serta kafe dan restoran. Virus corona ini juga memaksa industri penerbangan untuk mati suri mengingat banyaknya negara yang melakukan lockdown dan mempersulit penerbitan visa bila urusannya tidak penting-penting amat. Industri pertunjukan dan olahraga juga akan mati untuk sementara waktu since COVID-19 membuat konser-konser dibatalkan, liga sepakbola dan basket ditunda, bahkan Piala Eropa yang diselenggarakan 4 tahun sekalupun harus ditunda jadi tahun depan. Industri-industri yang jatuh ini adalah industri yang membutuhkan kehadiran orang banyak dalam mendapat revenue, ketika kehadiran orang banyak bertentangan dengan himbauan social distancing.

Masalahnya bukan terletak pada revenue saja, tetapi juga biaya untuk menjalankan industri tersebut. Dilansir dari New York Times, Bureau of Economic Analysis menyatakan terdapat lima industri yang berisiko jatuh karena biaya upahnya yang tinggi: industri restoran, perhotelan, seni dan olahraga, transportasi udara, dan hiburan. Di saat merebaknya pandemi ini, permintaan terhadap industri ini menurun secara drastis. Padahal, industri ini tidak dapat membubarkan tenaga kerjanya begitu saja.

Lima Industri Berisiko Saat Pandemi (sumber: New York Times)

Namun, beberapa industri akan tetap hidup dan tahan banting. Industri makanan dan minuman pokok yang tidak mementingkan experience dan kemewahan akan tetap dibutuhkan. Industri pertanian dan peternakan harus terus berjalan untuk memenuhi kebutuhan stok makanan. Industri manufaktur yang menyediakan produk-produk esensial untuk kehidupan sehari-hari juga tidak akan mati. Tak lupa, industri logistik dan transportasi yang berperan penting dalam mengantar makanan, minuman, dan barang-barang dari produsen ke para konsumen yang dipaksa mengisolasi diri di rumah. Industri kesehatan juga tidak akan mati, karena yha.. tau sendiri lah ya kondisinya kek gimana.

Bahkan, kebutuhan terhadap interaksi sosial yang semakin tinggi membuat komunikasi jarak jauh menjadi sangat dibutuhkan sebagian besar orang. Pandemi virus corona ini pun membuat permintaan terhadap industri telekomunikasi dan teknologi virtual meningkat tajam. Bahkan, dilansir dari CNBC, Zoom Video Conference, perusahaan yang bergerak di bidang teleconference, mengalami peningkatan saham sebanyak 74% di tahun ini. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi pasar saham secara keseluruhan. Seiring dengan itu, penyebaran virus corona juga sangat mendorong konsumsi media digital. Ketika orang lebih sering berada di rumah, orang akan cenderung mengonsumsi media sosial lebih sering. Ini membuat industri media tidak akan mati pada situasi ini, ketika orang-orang sangat membutuhkan informasi dan hiburan yang dapat dikonsumsi dari rumah.

Kesimpulannya, pandemi ini akan mengubah cara kita semua untuk hidup selama beberapa waktu. Pandemi ini akan mengubah kebutuhan dan prioritas kita. Perubahan kebutuhan ini membuat rantai suplai berbagai industri terdisrupsi. Naik turunnya industri pun terjadi karenanya. Jadi bagi yang bermain di pasar modal, lets be aware of this. Jangan tanam modal di industri-industri yang akan jatuh karena pandemi.

Pandemi Mengubah Cara Industri Melakukan Proses Bisnisnya

Dengan adanya imbauan pemerintah agar perusahaan memberlakukan kerja dari rumah untuk para pekerjanya, para pejabat korporasi pun harus berpikir bagaimana perusahaan dapat tetap beroperasi dan memperoleh profit. Tentu, tidak semua perusahaan melakukan ini, apalagi sebagian besar perusahaan manufaktur masih membutuhkan operator untuk mengoperasikan mesin-mesinnya secara manual. Ini bertolak belakang dengan perusahaan-perusahaan teknologi yang sudah biasa memberlakukan kebijakan bekerja secara remote.

Perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai kuat dalam menjaga kesehatan dan keselamatan pekerjanya akan berpikir dengan keras bagaimana cara agar para pekerjanya dapat bekerja dari rumah. Secara infrastruktur dan modal, seharusnya perusahaan-perusahaan besar dapat mengakomodasi hal ini. Rapat dengan video conference, akses database dari jarak jauh, dan fasilitas chat dan dokumentasi dengan sistem informasi yang terintegrasi. Tapi, lagi-lagi pertanyaan bisnis ini tercuat: “Apakah ‘investasi’ yang perlu dilakukan ini akan menuai benefit yang lebih besar daripada cost-nya?”

Hal ini ditambah sulitnya pengawasan bila suatu tim bekerja terpisah secara remote di rumahnya masing-masing. Tidak ada yang tahu apakah orang tersebut online saat ditanyai progress pekerjaannya. Tidak ada yang bisa memastikan apakah koneksi internet yang dimiliki pekerjanya sudah cukup memadai. Dan paling penting, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pekerja tersebut benar-benar bekerja dari rumah. Perubahan proses bisnis dimana aktivitas tidak bisa dimonitor secara langsung ini membuat perusahaan perlu untuk menetapkan key performance indicator (KPI) by results. Results yang benar-benar dapat terlihat secara individu, jelas, dan tidak dapat dimanipulasi.

Kesejahteraan Pekerja Dipertanyakan

Kebijakan work from home dari perusahaan hanya dapat diberlakukan pada para pekerja kantoran berkerah putih. Berbeda dengan pekerja berkerah biru yang perlu langsung terjun ke lapangan untuk melakukan pekerjaannya. Hal ini yang membuat para pekerja berkerah biru tidak dapat bekerja dari rumah dan harus masuk kantor. Kesenjangan pun timbul dimana orang yang bisa bekerja dari rumah sambil bermalas-malasan menerima gaji yang tentu lebih besar dari orang yang mesti bekerja keras seharian di lapangan. Fenomena kesenjangan ini diperburuk dengan fakta sebagian pekerja berkerah biru yang seringkali mendapat upah harian atau mingguan. Bahkan, dilansir dari Reuters, di Perancis, terdapat protes massal yang dilakukan oleh serikat pekerja buruh perusahaan Amazon. Mereka menuntut untuk diliburkan dari pekerjaannya karena merebaknya virus corona ini.

Buruh yang sudah mendapat gaji tetap saja protes sampai segitunya. Lalu, bagaimana dengan pekerjaan yang mata pencahariannya bersifat harian?

Sebut saja.. para pengemudi ojek online, pedagang asongan, pemilik warung kelontong, tukang becak, tukang servis kecil-kecilan, supir taksi dan angkutan kota, penjual pulsa, pedagang sayur, tukang gerobak baso, kuli bangunan, pengemudi truk, guru les yang dibayar per jam, dan pekerja-pekerja lainnya yang mendapat uang secara harian. Pekerja-pekerja ini bisa dikategorikan sebagai self-employed workers atau pekerja informal yang bekerja untuk diri mereka sendiri. Dilansir dari Databoks, menurut BPS, terdapat 74,1 juta pekerja informal di Indonesia, sekitar 57% dari seluruh angkatan kerja di Indonesia. Lalu, bagaimana sebagian besar angkatan kerja ini beserta tanggungannya dapat tetap hidup dengan adanya lockdown?

Ini yang membuat lockdown bukanlah suatu opsi untuk Indonesia saat ini, ketika belum ada jaminan kesejahteraan apabila para pekerja ini tidak diperbolehkan bekerja.

Hal inilah yang perlu menjadi perhatian dari pemerintah Indonesia. Seandainya ada lockdown selama 14 hari, berapa jaminan yang perlu dikeluarkan pemerintah agar mereka dapat tetap hidup dengan tenang? Namun apabila tidak ada lockdown dan risiko penularan virus meningkat, berapa dana dan fasilitas kesehatan yang perlu pemerintah sediakan? Lagi-lagi ini tradeoff yang harus diperhitungkan oleh pemerintah untuk menjamin kesejahteraan warganya. Kita tidak bisa mengabaikan hal ini. Semoga ini bisa jadi bahan perenungan untuk kalian para pelajar dan pekerja kerah putih yang terus menuntut dan meneriakkan pemberlakuan city lockdown.

Penulis:

Thariq Izzah Ramadhan (TI’16)

Editor:

Ilham Muzakki (TI’16)

Ilustrasi:

Martin Bangun Christmas (TI’17)

Referensi

--

--