Polemik Kenaikan Iuran BPJS

Tutup rugi dengan menaikkan iuran, tepatkah?

MTI Insights
MTI Insights
5 min readNov 28, 2019

--

Tahukah kalian? Pemerintah beberapa waktu lalu baru saja mengeluarkan keputusan kontroversial bagi rakyat Indonesia. Pemerintah memastikan untuk menaikkan iuran bulanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kenaikan akan berlaku mulai Januari 2020 untuk peserta mandiri kelas I (dari Rp80.000 menjadi Rp160.000) dan kelas II (dari Rp51.000 menjadi Rp110.000). Pemerintah juga mengusulkan untuk menaikkan iuran Peserta Penerima Upah (PPU) menjadi 5 persen dari upah bulanan dengan nilai maksimum upah 12 juta rupiah, yang masih menjadi wacana. Peraturan Presiden mengenai hal ini dipastikan akan diteken sebelum periode pertama Presiden Joko Widodo selesai.

Sontak, hal ini memicu berbagai tanggapan di masyarakat. Kalangan buruh melalui Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan akan melakukan demo besar-besaran untuk menentang kenaikan tersebut. Kenaikan iuran BPJS dinilai akan memberatkan masyarakat dengan upah minimum provinsi (UMP) yang kecil. Wacana mengenai iuran PPU juga diprotes oleh pengusaha tekstil karena dianggap memberatkan para pemberi kerja. Beberapa pemimpin daerah seperti Bupati Bogor telah menyatakan keberatannya.

Mengapa Pemerintah Mengeluarkan Keputusan Ini?

Sejak menggantikan Askes sebagai penyelenggara jaminan kesehatan nasional pada 2014, BPJS Kesehatan terus menjadi sorotan. Pasalnya, BPJS Kesehatan selalu mencetak nilai defisit keuangan hingga triliunan rupiah. Tahun 2018 terdapat kerugian sebesar 19,4 triliun rupiah. Bahkan, pada tahun 2019, BPJS berpotensi menimbulkan kerugian sebesar 32,8 triliun rupiah. Kerugian yang sangat besar untuk program jaminan sosial yang pada prinsipnya bisa saling menutupi.

Kerugian ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah data peserta yang tidak valid. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, terdapat 27,44 juta peserta bermasalah. Masalah tersebut terdiri atas 17,17 juta peserta dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan) bermasalah, NIK ganda 10 juta, kolom faskes kosong sebanyak 21 ribu peserta, dan sisanya sudah meninggal.

Faktor kedua yakni banyaknya badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS. Terdapat sebanyak 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha. 2.348 badan usaha juga belum melaporkan gaji dengan benar. Faktor ketiga adalah tingkat solvabilitas BPJS Kesehatan yang masih dibawah 100%. Artinya, pemasukan yang diterima belum dapat menutupi biaya yang dikeluarkan.

Memangnya, Bagaimana Pembiayaan BPJS Dilakukan?

Pembiayaan BPJS atau program Jaminan Kesehatan Negara (JKN) sendiri saat ini dilakukan dengan pemberlakuan iuran. Iuran sendiri diberlakukan berdasarkan kategori dari peserta. Terdapat Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan pemerintah, Peserta Pekerja Penerima Upah yang iurannya dibayarkan pemberi kerja dan pekerja, dan Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah yang iurannya dibayar oleh peserta yang bersangkutan. Iuran ini sendiri dibayarkan setiap bulan dalam bentuk premi yang ketentuannya diatur Kementerian Kesehatan.

Dengan iuran tersebut, BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Sementara untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan dibayar dengan sistem paket Indonesia Case Base Groups (INA CBG’s) yang merupakan aplikasi rumah sakit untuk mengajukan klaim kepada pemerintah. Disinilah letak perbedaan tarif iuran dimana terdapat tarif untuk kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Semakin tinggi kelas, semakin nyaman fasilitas lanjutan yang didapatkan. Fasilitas lainnya yang didapat oleh kelas atas salah satunya yaitu fasilitas rawat inap.

Bagaimana Dana Pembiayaan Tersebut Dikelola?

BPJS Kesehatan kemudian wajib membayarkan pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Pembayaran ini besarannya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di suatu wilayah serta mengacu pada standar tarif yang diterapkan oleh Menteri Kesehatan.

Adapun saat ini Fasilitas Kesehatan BPJS hampir mencapai 28 ribu unit. Jumlah tersebut terdiri atas 9,9 ribu puskesmas, 6,5 ribu klinik, dan 2,2 ribu rumah sakit. Tentunya, belum semua Fasilitas Kesehatan sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Peserta pun harus mencari Fasilitas Kesehatan yang termasuk program JKN untuk dapat mengklaim haknya.

Mengapa Program JKN bisa Defisit?

Setelah melihat proses pengelolaan dan pembiayaan, sudah semestinya program JKN ini tidak mengalami defisit. Jumlah iuran sudah seharusnya dapat menutupi seluruh pengeluaran berdasarkan perhitungan risiko kesehatan oleh para ahli aktuaria. Namun, pada kenyataannya, terdapat celah antara besar iuran yang ditetapkan pemerintah dengan angka ideal yang ditetapkan aktuaria. Celah paling besar terdapat pada iuran tingkat III dimana terdapat selisih Rp27.500 yang mesti ditutupi dari tarif hasil penetapan pemerintah yakni Rp25.500. Kondisi ini menimbulkan situasi underfunded program secara terstruktur. Melihat iuran yang sebenarnya underpriced, sudah menjadi hal yang wajar untuk menaikkan iuran.

Namun diluar penetapan iuran yang dibawah angka ideal, terdapat faktor penyebab lain. Saat ini, banyak sekali peserta yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan. Mereka berhenti membayar iuran begitu sudah tidak menggunakannya. Bahkan, pada tahun 2018, total klaim peserta mandiri mencapai Rp27,9 triliun sementara total iuran yang dikumpulkan hanya Rp8,9 triliun. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah BPJS menjadi rugi karena kelalaian dalam membayar iuran oleh pesertanya?

Melihat Sistem Jaminan Sosial di Skandinavia

Bila kita melihat ke negara Skandinavia (sebagian negara-negara di utara eropa), sistem perawatan kesehatan yang setara dan didanai publik berhasil dijalankan. Sistem jaminan kesehatan didanai publik dengan pajak, lebih lagi kebanyakan rumah sakit dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. Fasilitas kesehatan bukan sebatas lembaga kerja sama seperti yang terjadi di Indonesia.

Adapun penganggaran dibagi menjadi perawatan kesehatan pertama dan rujukan. Perawatan kesehatan pertama dalam negara-negara Skandinavia benar-benar gratis. Sebagai contoh, di Denmark, setiap penduduk tanpa terkecuali terdaftar dengan seorang praktisi umum atau general practitioner. General practitioner ini adalah gerbang akses untuk pelayanan spesialis, semacam dokter umum yang dapat merujuk dan memberikan resep. Pemeriksaan oleh dokter umum tidak dipungut biaya sama sekali.

Tentunya, agar sistem kesehatan seperti negara Skandinavia dapat dilaksanakan, perlu adanya alokasi anggaran yang besar serta komitmen dari pemerintah dalam penjaminan kesehatan. Anggaran dalam kasus ini didapatkan dari komitmen rakyatnya untuk membayar pajak. Komitmen yang belum ada disini dimana banyak sekali peserta BPJS yang tidak taat membayar iuran. Komitmen tersebut juga benar-benar didukung oleh value yang dipegang oleh pemerintah. Value kesetaraan, keadilan sosial, dan solidaritas sebagai tonggak berdirinya sistem yang tidak mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu baik itu berdasarkan kelas sosial, pendapatan, dan posisi geografis.

Penutup

Setiap warga negara tentunya mendambakan akses kesehatan yang mudah, murah, dan terjamin kualitasnya. Sudah menjadi kewajiban sebuah negara untuk menghadirkan fasilitas demikian. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki sistem BPJS Kesehatan saat ini. Perbaikan data peserta perlu menjadi perhatian agar target penerimaan iuran dapat terkejar. Selain itu, sumber pendanaan BPJS Kesehatan juga perlu diperhatikan. Bisa jadi iuran saat ini masih underpriced, namun bila kenaikan terjadi terus-menerus, mungkin saja timbul reaksi masyarakat yang lebih besar daripada kenaikan saat ini.

Tidak hanya pemerintah, masyarakat sebagai peserta juga memegang peranan penting dalam perbaikan kinerja BPJS Kesehatan. Pembayaran rutin tepat waktu akan sangat membantu pemerintah selaku regulator dan masyarakat lainnya yang memerlukan pengobatan. Maka, kepedulian masyarakat sangat penting untuk berjalannya sistem jaminan sosial ini. Jangan bayar iuran kalau ada butuhnya saja.

Penulis:

Athollah Iqbal Setyobudi (MR’17) dan Thariq Izzah Ramadhan (TI’16)

Editor:

Ilham Muzakki (TI’16)

Ilustrasi:

Martin Bangun Christmas (TI’17)

Referensi

BPJS Kesehatan. (2019). Ringkasan Eksekutif Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan. BPJS Kesehatan.

CNBC Indonesia. (2019, September 3). 1 Januari 2020 Iuran BPJS Mandiri Kelas I & II Naik 100%! Diambil kembali dari CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190903132913-4-96777/1-januari-2020-iuran-bpjs-mandiri-kelas-i-ii-naik-100

Kemenkes RI. (2019). Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kemenkes RI.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019). Iuran BPJS. Diambil kembali dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/iuran-bpjs/

Khoirunisa, R. (2016, April 12). Perbedaan Fasilitas BPJS Kesehatan Kelas 1, 2 dan 3. Diambil kembali dari Pasien BPJS: http://www.pasienbpjs.com/2016/04/perbedaan-bpjs-kesehatan-kelas-1-2-dan-3.html

Magnussen, J. (2009). The Scandinavian Healthcare System. Healthcare Systems — Scandinavia.

Santoso, B. (2019, September 17). DPR Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan. Diambil kembali dari Suara.com: https://www.suara.com/news/2019/09/17/094723/dpr-tolak-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan

--

--