2021: Berkebun

Alvaryan Maulana
Nama Nama Kebon
Published in
11 min readJan 19, 2021

2020 adalah tahun yang sedih. Tidak perlu dijelaskan sepatah kata pun, akan ada persetujuan kolektif mengenai betapa menyedihkannya tahun itu. Saking menyedihkannya, semangat untuk menatap tahun baru, tahun 2021, nyaris nihil. Bagi sebagian orang, 2021 hanyalah 2020 versi 2.0 karena tidak akan ada yang tiba-tiba berubah hanya lewat pergantian tahun.

Bagi sebagiannya lagi tentu saja pergantian simbolik itu tak lain adalah sebuah coping mechanism. Tidak bisa disalahkan pula. Seperti halnya Richard Parker yang bisa jadi hanya karangan Pi semata untuk bertahan hidup, hal-hal simbolik itu tidak bisa dibilang tidak dibutuhkan. Mungkin optimisme kosong itu masih bisa memberikan optimisme dan setidaknya motivasi untuk menjalani hari-hari. Bayangkan bagaimana Pi bisa hidup 200 hari di tengah samudera tanpa pendampingan Richard Parker?

Meski sebenarnya saya yakin lebih banyak tidak perduli dibanding yang perduli dengan hal simbolis begitu. Penanda macam itu bukan yang dibutuhkan. Maksud saya, siapa yang butuh selebrasi di tengah keadaan suram begini? Siapa yang bisa berbahagia jika roda kehidupan yang selama ini mapan tiba-tiba hancur? Siapa yang bisa meniup terompet di tengah sunyi rumah yang seketika sepi dan bahkan kosong? Kesedihan kolektif menghantui peradaban, nyaris seluruh peradaban, kecuali orang-orang ignorant dan para politisi dan penguasa yang malah mencari celah untuk mengeksploitasi duka.

Saya kira selain menjadi tahun penuh kesedihan, tahun 2020 juga bisa menjadi tahun penuh kemarahan. Menurut saya ndak apa-apa kita marah berjamaah. Harus bahkan. Maksud saya, apa bisa kita tidak marah dengan hal-hal yang terjadi di tengah kesedihan kita? Ketidakjelasan, drama pencitraan, tarik ulur kepentingan, yang begitu-begitu ternyata lebih besar porsinya dibanding hal yang lebih esensial: memastikan kesedihan dan kebingungan ini tidak berlarut-larut.

Faktor yang membuat petaka ini semakin buruk bukan dari atas semata. Saya percaya itu. Banyak juga orang-orang akar rumput yang menjadi sumber petaka. Entah karena merasa hidupnya selebar daun kelor saja sehingga pikirnanya sempit, entah karena kapasitas kognitifnya terbatas sehingga menjadi bodoh sekali, entah karena ketidakmampuan mengendalikan diri, atau ya karena sesederhana setan tidak pernah ingkar janji untuk menganggu hati anak-cucu Adam. Beberapa dari kita memang menjadi setan di tahun yang sedih ini.

Bagaimana tidak disebut setan? Sudah tahu kemampuan menanggulangi petaka ini terbatas, masih saja pergi jalan-jalan, masih saja beramai-ramai bersenda-gurau dengan alasan bosan dan suntuk di rumah. Mungkin yang model begitu itu model yang beruntung karena tidak terkena badai, tidak harus dicolok tenggorokannya untuk bernafas, tidak harus mengalami penguburan tanpa pemandian.

Tapi setan sesungguhnya tentu saja mereka yang memanen untung di tengah duka, di atas mayat-mayat yang berkelimpangan karena mereka lalai dan abai. Udahlah menderita, bantuan malah ditilep, atau terpaksa membusuk karena bela-belain harus makan sarden. Padahal yang dibutuhkan bukan kaleng sarden. Ya saya jadi penasaran, mereka itu beneran tahu tidak sih apa yang dibutuhkan?

Nyaris setahun duka ini berlangsung, yang kita temukan hanya seremoni dan drama murahan yang memecah belah. Di bawah sudah terbelah, di atas sana cuma tertawa-tawa. Ya sesekali ada yang dimasukan ke dalam bui, tapi itu mungkin bagian dari transaksi. Sementara kita-kita yang tidak ada urusan dengan transaksi itu harus membayar akibatnya. Drama paling murahan yang pernah saya tonton: Pemerintah Provinsi A dan Pemerintah Provinsi B bertengkar dan saling sindir karena infografis data pasien. Semacam ingin bilang bahwa rumah sakit di Provinsi A penuh karena penduduk masyarakat Provinsi B. Memalukan sekali. Sampah lah itu pokoknya. Setiap hari ada nyawa yang berpulang, kuburan penuh, ada harapan yang patah karena tidak terlayani kemudian tidak terolong, tapi mereka malah bertengkar karena urusan rumah sakit mana merawat warga mana.

Makanya saya tidak heran jika di satu-satunya ruang publik yang tersisa dan buka saat pandemi ini: sosial media, isinya orang-orang marahan semua. Ya bagaimana tidak. Sudahlah hidup penuh petaka dan cobaan, kemudian ada pula negara yang menggagahi dengan semena-mena. Itu baru perkara petaka saja ya. Belum lagi hal-hal yang sudah lama terjadi. Rumah dihancurkan, sawah diinjak traktor, kehidupan digusur, siapa yang tidak marah? Siapa yang tidak benci ketika satu-satunya hal yang dilakukan adalah menebar bibit kebencian itu? Yang paling baru: orang lagi mengungsi disuruh pindah demi konten humas. Apa ndak sakit jiwa? Apa ndak semakin tertanam kebencian itu?

Tapi buat saya pribadi, tahun paling sedih tetap tahun 2017, bukan tahun 2020. Poin saya: sebenarnya kesedihan bisa hadir di tahun berapa pun. Mungkin yang sekarang ini sedihnya berjemaah, sehingga lebih terasa.

Sementara sedih saya di tahun 2017 itu sunyi. Sampai suatu hari saya ngobrol dengan adik kelas saya yang lincah, Yufi Priadi, soal grief. Adik kelas saya itu memberikan tautan video percakapan Stephen Colbert dan Anderson Cooper mengenai luka yang mereka alami. Setelah menonton video itu kemudian saya paham bahwa luka itu akan selalu ada. Sayangnya luka itu tidak kelihatan lagi sehingga orang-orang tidak tahu bahwa ada yang hilang di dalam diri. Makanya mereka bilang lebih baik luka seperti ini ada jejak di wajah sehingga sehari-hari akan ada yang selalu bertanya “are you okay?” sehingga mereka bisa menjawab “No I am not, becaue I am not”.

Perandaian saya tidak sampai sejauh itu, sih. Tidak masalah sebenarnya jika luka itu tidak terlihat. Tapi setidaknya saya menitipkannya kepada manusia lain supaya ada yang tahu bahwa ada lubang yang besar dan tidak bisa dijahit lagi di diri saya. Kadang saya mencium kebingungan harus merespon seperti apa. Saya ndak berharaplubang yang ditinggalkan itu ada yang bisa mengisi karena ya ndak mungkin juga. Tapi setidaknya lukanya berkurang lah sakitnya dengan bertanya setiap hari “are you okay” tanpa perlu melihat lukanya. Setidaknya ada yang tahu bahwa saya tidak baik-baik saja sejak hari itu sampai hari ini.

Cukup kali ya soal dukanya.

Lanjut ke alasan kenapa tulisan ini telat sekali: karena saya kehilangan motivasi dan visi dalam menulis hal ini. Sebenarnya aneh sih karena dari akhir tahun saya bersemangat mengingat apa yang saya tulis tahun lalu cukup memuaskan bagi saya pribadi. Tapi mungkin karena saya kebanyakan melihat orang berduka kemudian marah yang tidak berhenti-henti membuat motivasi itu hilang-hilang timbul. Baru setelah duapuluh hari saya punya niat lagi membuka file ini.

Selain duka dan kemarahan tahun 2020 juga memberikan banyak pelajaran. Perjumpaan, perpisahan, kesimpulan, pertanyaan baru, sebenarnya turut hadir sepanjang tahun 2020. Saya yakin sebagian dari kita juga belajar bahwa kopi dalgona tidak enak dan belajar pula bahwa ada garis yang tegas antara yang namanya hobi dengan kelatahan.

Kalau harus spesifik dan serius maka pelajaran yang menurut saya layak dituliskan adalah pelajaran dari Agora, kelompok baca tulis saya. Pelajarannya adalah “tidak masalah berhenti sejenak, dan pelan bukan sebuah kesalahan”. Menjalani kehidupan di dunia yang serba cepat dan serba ingin segera ini membuat “berhenti” dan “pelan” menjadi punya makna negatif. Seakan-akan, “ngapa-ngapain” adalah indikator keberhasilan. Illusion of producitvity. Ya sebenarnya ini turunan rumus lama sih: If you get tired, learn to rest, not to quit.

Sekilas ini terdengar seperti pembenaran karena kegiatan yang minim. Di luar Festival Tetangga yang bintang lima, setelah itu hanya ada sedikit kegiatan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ada tiga kali diskusir, beberapa kali AKA, dan mencoba konten-konten lain. Tapi jelas by number sempat membuat beberapa pertanyaan soal “Agora lagi istirahat ya?” muncul. Untung tidak ada yang nanya “Agora bubar ya?”

Gak, cuy. Agora tidak akan bubar. Mungkin ini bukan pendapat bersama, meski sebagian sudah memvalidasi. Tapi saya tidak khawatir-khawatir amat bahwa Agora akan bubar karena saya punya cukup keyakinan bahwa kamerad saya ini juga tidak akan berhenti?. Itu pelajaran kedua dari Agora, sih. Bahwa ketika sudah ada pondasi, manifesto, niat, atau apapun lah itu namanya keberjalanan jadi lebih jelas saja. Konon sih katanya mau jadi aktivitas seumur hidup alias life time activity. Ya kita lihat saja

Lalu ada juga pelajaran yang menjadi alasan untuk mem-private akun Twitter saya. “i pensieri stretti& il viso sciolto”, alias closed thoughts and an open face. Mungkin ada modifikasi di sana-sini, tapi sikap itu membantu banyak hal. Tidak hanya peran saya di Agora, peran di tempat lain, di masyarakat (ceilah), di pekerjaan, bahkan di dalam insitusi keluarga. Ya melawan status quo itu bukan pekerjaan mudah lah intinya.

Kalau dirangkai sebagai satu kesatuan, pelajaran-pelajaran itu jadinya begini: karena saya sudah punya pilihan pertempuran dan penderitaan saya sendiri, maka setidaknya saya bisa sabar dan fokus menjalaninya. Masuk akal, tidak? Dengan kata lain, apapun pilihannya akan selalu sub-optimum Memlilh itu urusan pertama dan yang paling gampang. Yang lebih sulit: menderita atas pilihan sendiri itu tapi terus menjalaninya.

Terserah nanti penderitaan (dan luka) itu mau dibagaimanakan. Tapi belajar dari Aan Mansyur, katanya penderitaan itu bisa diwarnai dengan krayon yang dipinjam dari anak-anak kelak. Nah sebelum nyari krayon anak, ada yang duluan harus dicari kan?

Saya ndak tahu, dicari, atau ditumbuhkan? Ditumbuhkan as in berkebun? Dengan diberi pupuk, disirami air, dibebaskan dari hama dan gulma. Apa yang dipetik tentu saja tergantung apa yang ditanam. Tapi apa yang ditanam juga tidak bisa sembarangan. Tanahnya cocok tidak? Kelembabannya cocok tidak? Ada yang butuh cahaya matahari yang banyak, ada juga yang tidak perlu diapa-apakan tumbuh-tumbuh saja. Pokonya macam-macamlah pertimbangan dan hal yang harus dilakukan dalam berkebun itu. Nah, best part dari berkebun adalah merebahkan diri pada padang rumput.

Apalagi ya catatan-catatan sebelum saya masuk ke hal-hal trivial nih? Oh iya, saya mau menyebrang pulau awal tahun ini. Ya ini langkah pertama dari perjalanan yang akan sangat panjang sih. Kata ibu saya, potong rambut dulu sebelum menyebrang pulau, entah apa hubungannya. Buang sial?

Tahun 2020 ini identik juga dengan ponakan saya. Namanya Chelsea. Ia terlalu kecil tahun lalu sehingga tidak cukup signifikan untuk dituliskan. Beda dengan tahun ini. Ia sudah jadi bagian signifikan dalam hidup saya. Sehari-hari aktivitas saya adalah merengek kepada ibunya (adik saya) untuk dikirimkan foto baru kesehariannya. Seperti ada ketakutan dalam diri saya bahwa tiba-tiba ia menjadi dewasa kemudian berlari mengacuhkan saya. Jangan cepat besar ya, nak…

Lalu ada catatan juga untuk sobat overthinking dan super anxious. Bagian ini mungkin lemah dan biased ya. Tapi hasil refleksi dan observasi saya, overthinking itu adalah produk otak, imajinasi. Mungkin stimulusnya berlebih, mungkin influx informasinya overflowed sehingga cukup untuk membangun realita baru yang mengisi kekosongan informasi dalam kehidupan. Nah itu tuh yang bahaya, ketidak ketidaktahuan kita isi dengan ketakutan atau ekspektasi hasil imajinasi tadi.

Cara mengakalinya bagaimana? Mungkin bisa dengan mencoba stimulus indera-indera yang lain, supaya tidak melulu berpikiran bahwa hal-hal baik itu hanya terbatas seperti dalam preferensi yang kita imajinasikan saja. Padahal ada bentuk-bentuk kebaikan lain yang ada disekitar kita tapi tidak pernah terasa dan tidak pernah dilirik karena sudah kadung diselimuti imajinasi yang sebenarnya juga karang-karangan kita saja. Kebayang gak sih maksudnya?

Intinya begini deh: sesempurna apapun imajinasi karangan diri sendiri, tetap tidak akan terasa senyata kehidupan yang sebenarnya. Meski tidak sempurna, meski tidak seindah karangan kepala, but at least it is real. Bisa jadi karena terlalu asik dan terkesima dengan imajinasi dalam kepala jadi melewatkan hal-hal baik yang sebenarnya sudah ada di sekitar: di para bapak satpam penjaga komplek, di mobil parkir di depan rumah, di kursi teras rumah, di meja makan, di kursi goyang, di sofa di depan tv, di jalan menuju kantor, di rest area yang selama ini cuma dilewati saja, atau ya di langit-langit kamar lewat tengah malam. Coba saja.

Oke masuk bagian trivial yang seru-seru.

Kalau dipikir-pikir bagian ini sudah lose it’s purpose ya? hahaha. Tahun lalu saya tulis dalam format pointer begitu karena tulisan saya kepanjangan sementara banyak sekali hal yang ingin saya tuliskan. Sementara tahun ini tulisan saya tidak panjang sama sekali. Jadi ya ini tinggal bentuknya saja, fungsi utamanya sudah kehilangan makna awalnya. Tapi ndak apa-apa. Saya kira format begini membantu memudahkan saya untuk melakukan pelacakan mengenai hal-hal apa saja yang ingin saya sampaikan sebagai rekapan sekaligus kesimpulan penutup tahun.

  1. Lagu favorit saya tahun 2020? More and More dari Twice. Alasannya personal, sih. Sangat personal. Album itu dirilis saat semua orang berdiam diri di rumah dan saya berdiam diri di rumah saya. Ada catatan panjang mengenai kenapa More and More adalah lagu favorit saya di tahun 2020. Tapi karena butuh dipersingkat maka alasannya: rejuvenated. More and More adalah simbol rejuvenasi.
  2. Sebuah komik dengan judul Yugami-kun ni wa tomodachi ga inai (Yugami doesn’t have a friend) adalah sarana yang baik untuk membawa ketenangan hidup. Jika keluhan dari diri sendiri bahwa hidup ini ndak jelas dan ndak menyenangkan, saya sarankan baca komik ini. Jika anda tidak suka diri anda, saya sarankan baca komik ini. Jika anda merasa dunia tidak adil, silahkan baca komik ini. Jika anda merasa hidup anda butuh orientasi, silahkan baca komik ini.
  3. Saya tidak banyak menonton film di tahun 2020. Entah kenapa ya intensitas saya menonton film jauh menurun. Padahal banyak screening film online dan sudah ada klub filmnya pula. Kalau disuruh memilih satu film yang paling saya suka yang saya tonton tahun 2020 maka pilihan saya jatuh pada Be With You (2018). Sumpah beb. Kacau.
  4. Kalau series: Bojack Horseman. Saya yakin banyak yang sudah tahu tokoh ini tapi tidak meluangkan waktu untuk menonton. Saran saya tonton segera, supaya anda tidak benci-benci amat dengan diri anda karena anda bisa membenci Bojack sebagai makhluk paling bajingan di jagad raya.
  5. Series Korea Selatan perlu jadi kategori sendiri ya? Pilihan saya Weightlifting Fairy Kim Bokjoo! (2016) Menurut saya ini adalah belasan jam terbaik dalam hidup saya. Ringan, tapi so much fun. Penuh pesan tapi tidak menggurui. Sederhana tapi tetap memberikan ruang untuk menikmati imajinasi.
  6. Lalu lanjut ke Kpop. Kalau seluruh artis Kpop diranking, maka posisi pertama dalam list saya dihuni oleh Day6. Go listen to Day6. Menurut saya ini band yang ga ada obatnya. The complexity of the music, kemampuan bernyanyi yang jauh di atas rata-rata dan tentu saja motivasi mereka dalam bermusik: menciptakan musik yang comfort people. Mulia sekali. Kalau dalam list perempuan: Kwon Jinah. Otherworldly lah pokoknya.
  7. Kalau tiap tahun butuh soundtrack, maka soundtrack saya tahun kemarin: Narsha, I’m in Love.
  8. Saya membuat moto sendiri dalam bekerja: always complaint always deliver. Maksudnya supaya saya tetap bisa deliver meski dalam mengerjakannya pakai misuh-misuh dulu. Ya bisa aja sih kerja tanpa misuh-misuh, tapi ngapain?
  9. Saya jarang sekali Jumatan, bahkan sampai sekarang. Pilih-pilih masjid banget. Udah kangen, tapi takut konyol juga. Tapi masa iya ibadah konyol? Kata orang bakal mati syahid kalau meninggal dalam niat beribadah? Tapi saya lebih banyak takutnya.
  10. Investasi terbaik yang bisa diberikan untuk diri sendiri: kursi kerja yang serius. Kalau terlalu mahal, bisa belikan air diffuser. Supaya tetap chill. Bebauan yang enak ternyata buat mood bisa baik pula.
  11. Tapi tentu saja mood saya menjebol plafon kalau (redacted) (redacted) (redacted). Maksimum, meski katanya lebay. Tapi I mean it.
  12. Buku puisi Aan Mansyur yang baru bagus sekali. Ya seimbang lah dengan Melihat Api Bekerja. Silahkan beli dari toko buku independen ya, supaya membantu industri buku kita agar lebih sehat.
  13. Oh saya sudah punya m-banking setelah bertahun-tahun masih bolak-balik anjungan tunai mandiri untuk transaksi. Dengan begitu akhirnya saya paham kenapa belanja online itu nikmat sekali. Cash out, cash out, lalu miskin. It’s everything that I want, but never what I really need….
  14. Jangan main Among Us dengan orang asing. Esensi dari Among Us adalah saling mengenal satu sama lain: apa dusta dan dosa yang paling sering diucapkan. Bermain Among Us dengan teman-teman baik juga mengajarkan kita untuk mengeakui kesalahan, atau ya mengajarkan kita untuk mengungkap aib teman. Tergantung teman macam apa yang diajak main. Syukur-syukur bisa menjadi sarana counseling, atau ya pelepas stress dan alat bantu untuk menutup luka yang masih menganga. Ye gak?
  15. Kalau masih punya waktu, saya sarankan untuk mempelajari apa saja kewajiban dan individu dalam demokrasi. Supaya kontribusi kita terhadap negara ini bukan sekedar jadi objek pajak saja. Emangnya mau negara ini begini-begini terus? jalannya masih panjang dan yang namanya Ratu Adil itu ndak akan pernah ada. Move your ass or die in vein.
  16. Kata Olga, orang pintar pasti bucin. Kata Olga juga, saya pinter banget.
  17. Jangan lupa baca Bismillah sebelum jalan, apalagi jalan jauh.

Ada yang baca sampai selesai? Terima kasih ya! It means a lot.

--

--