Akhir Pekan Jelang Akhir Tahun

Telaah conditioning pikiran di hari libur

Alvaryan Maulana
Nama Nama Kebon
4 min readNov 25, 2023

--

Sudah lama sekali Jakarta tidak hujan seperti siang ini. Air pembawa kehidupan ini seperti melepas rindu ke Bumi. Energinya dahsyat, deras, dan tidak terbendung, saking lamanya tidak bertemu dan menjadi satu.

Tidak seperti hari Sabtu di minggu-minggu sebelumnya, hari ini terasa berbeda. Ada beberapa setting yang sudah lama tidak terjadi. Istri saya pergi kuliah tatap muka, setelah berminggu-minggu kuliah via Zoom; hujan deras; yang tadi sudah saya sebutkan; dan rasa malas dan penat yang sebelumnya tidak menghampiri.

Sudah lumayan lama saya tidak merasa penat. Mungkin sebenarnya ada, tapi ada hal lain yang menguasai pikiran saya, sehingga tidak ada kesempatan untuk merasakannya. Mengingat saya lumayan passionate dan ikhlas dalam bekerja, saya mengamini saja bahwa kerjaan di kantor sedang hectic-hectic-nya.

Saya tahu persis pekerjaan yang sudah berlarut-larut ini adalah sebuah hal yang urgent. Yang saya tahu, pikiran itu tidak milik saya seorang saja. Secara kolektif mungkin orang-orang satu kantor mengamini dan ikhlas bahwa kita sedang dalam fase-fase paling memuakan.

Praktis, beberap waktu ke belakang, akhir pekan hanya sebuah extended version dari hari kerja dengan beberapa penurunan intensistas. Sudah beberapa minggu saya memulai hari Sabtu dengan menyusun to-do list yang haru diselesaikan sebelum Senin tiba, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di hari Senin.

Sekali pun ada weekend yang tidak tidak produktif saya mewajari saja karena toh hakikatnya hari libur bagi kelas pekerja ya untuk beristirahat. Hanya saja, selalu ada perasaan bersalah (guilt) jika pada satu akhir pekan itu saya tidak ngapa-ngapain. Rasa bersalah itu muncul kepada diri sendiri. Karena saya tahu persis, jika saya tidak menyicilnya, besar kemungkinan saya akan kelabakan sendiri di weekdays berikutnya.

Yang berbeda di akhir pekan ini adalah, pikiran bersalah itu tidak muncul. Situasi dimana saya merasa buang-buang waktu dan tidak menyicil pekerjaan tidak muncul akhir pekan ini. Saya sudah niatkan dan merencanakan untuk beristirahat full akhir pekan ini.

Pendaran terakhir sebelum rehat

Ada kelakar di antara teman-teman saya soal “penyakit” tidak bisa berhenti bekerja dan berpikir ini. Saya termasuk salah satu orang yang “sakit kalau tidak kerja”. Saya tidak membenci penyematan tersebut, tapi tidak mau juga berbangga diri di sana.

Memang ada kesan yang “wah” ketika disematkan gelar seperti itu. Seakan-akan mengamalkan prinsip yang dikutbahkan oleh para productivity guru di media sosial. Grinding hard, hustling, dan hanya beristirahat sejenak seakan-akan menjadi resep sukses multi-billion dollar business. Ya dari sana saja sebenarnya sudah tidak relevan. Boro-boro multi-billion dollar. Semiliar rupiah saya saja tidak punya.

Dorongan produktivitas dan “tidak bisa” berhenti bekerja itu tidak sepenuhnya lahir dari motif ekonomi. Tentu motif ekonomi dan pendapatan selalu ada untuk urusan yang mendasar praktikal. Tapi dalam kasus saya, dorongan itu lahir dari pikiran hidup dengan misi.

Kebetulan keluarga tempat saya tubuh dihuni oleh bapak-ibu yang di dalam hidupnya punya misi. Saya punya contoh seumur hidup yang memberikan gambaran dan pengalaman langsung bahwa ada cara hidup sembari mengembang misi, dan pengembanan tersebut tidak musti mengorbankan kehidupan personal dan kebahagiaan.

Bisa dibilang bapak saya malah berbahagia di dalam misinya tersebut. Beliau tahu mau melakukan apa, menjadi apa, dan bagaimana jalannya. Saya, meski belum sekokoh beliau, mulai menyadari dan mengetahui apa dan mau menjadi apa, sembari memikirkan berbagai rute mengenai cara menjalankannya.

Salah satu jalannya itu yang ternyata membutuhkan untuk “bekerja terus”, buka laptop terus, baca berbagai hal — disaat banyak film di Netflix dan platform lain untuk ditonton. Jadi ketika saya mengendorkan diri di akhir pekan, saya merasa sedang mengkhianati misi seumur hidup saya, mengkhianati keinginan yang saya pilih sendiri.

Rehat akhir pekan ini sepertinya adalah sebuah momentum pergeseran saya dari titik newbie ke early0stage of professional mission driven person. Jika para pelari jarak jauh pemula gila-gilaan memporsir tubuhnya, maka para pelari profesional sudah mampu melihat bahwa istirahat adalah bagian tidak terpisahkan dari latihan.

Agaknya, dengan semakin serius dan berat kehidupan profesional saya, kehidupan yang mengemban misi yang saya karang-karang sendiri ini, mulai muncul kesadaran bahwa tidak bisa digeber terus dan butuh istirahat. Ibarat kata, main sepakbola sebagai hobi tentu tidak akan butuh istirahat. Tapi para pemain bola profesional tentu akan menjadwalkan istirahat di dalam rutinitasnya.

Nah, sekarang yang jadi pekerjaan rumah adalah bagaimana cara beristirahat yang baik tersebut. Setiap pergantian musim pertandingan (off-season) para atlit beristirahat, namun menjaga kondisi tubuhnya tetap fit tanpa memporsisnya secara berlebihan.

Harusnya hal-hal seperti ini juga ada dong untuk orang-orang yang sehari-hari memporsir otaknya? Pertanyaan sederhananya: apa conditioning untuk otak pekerja yang sehari-hari memeras pikiran di saat off-season alias akhir pekan? Mungkin itu jawaban yang harus saya cari berikutnya.

Saya menemukan beberapa profesional yang menceritakan conditioning mereka untuk tetap berfungsi dengan baik. Tapi ada baiknya hari ini saya mulai bertanya dulu saja, tidak buru-buru mencari jawaban.

--

--