Alasan Lain Jarang Menulis

Ide topik tulisan sih ada-ada aja, angle-nya bingung, menyelesaikannya jauh lebih bingung

Alvaryan Maulana
Nama Nama Kebon
2 min readApr 8, 2024

--

Belakangan saya menyadari bahwa menulis caption Instagram terasa lebih mudah bagi saya. Takarir, selain lebih pendek, juga secara naluriah langsung menuju inti utamanya. Tidak memberikan ruang (atau karakter) untuk latar belakang dan konteks yang bertele-tele. Langsung saja ke pesan utamanya.

Saya kira faktornya hanya itu saja. Ternyata ada faktor lain yang tidak saya sangka-sangka, dan baru kepikiran malam ini saat saya berusaha membaca beberapa esai dari penulis-penulis yang saya ikuti. Faktor lain itu adalah audiens, atau pemirsa dari tulisan saya.

Saat menulis di Medium, atau artikel dalam kanal lain, saya tidak punya bayangan yang jelas soal calon pembaca saya. Tidak ada identitas yang jelas soal kepada siap pesan ini akan saya sampaikan. Gambaran kasar dan umum tentu saja ada soal para calon pembaca ini, tapi beneran umum.

Berbeda jika saya menulis caption. Saya tahu persis siapa saja yang akan membaca. Lebih lagi saya tahu persis siapa saja yang akan berkomentar. Jika unggahan saya tentang topik A, saya bisa prediksi siapa yang akan berkomentar. Jika tentang topik B, maka ada kelompok pemirsa lain yang saya perkirakan akan meninggalkan komentar.

Bayangan soal calon pembaca atau audiens tulisan itu membuat saya tidak terlalu sulit mencari konteks, analogi, kasus, atau peristiwa yang akan diulas. Karena teman saya di Instagram hanya itu-itu saja, maka contoh yang sifatnya keseharian bisa saya gunakan, karena toh akan ada yang relate. Bisa juga saya menggunakan topik yang sifatnya kedaerahan, karena ya toh sebagian pertemanan di Instagram saya punya latar belakang daerah yang mirip-mirip.

Hal ini berbeda saat menulis artikel. Meski saya berusaha untuk membayangkan calon pembaca dan membangun skenario soal kepada siapa saya akan meyampaikan pesan yang ditulis, tetap ada kecenderungan untuk menulis seumum dan se-general mungkin, sehingga akhirnya mengambang. Akibatnya tulisan saya tidak lagi tajam, malah cenderung bertele-tele.

Ya, mungkin ini permasalahan penulis pemula (atau penulis amatir) seperti saya. Bukannya sibuk membaca dan riset lebih banyak agar bisa menulis lebih tajam dan lebih variatif, malah sibuk mencari-cari alasan jarang menulis.

Berbeda dengan penulis profesional danpara penulis favorit saya. Membaca tulisan mereka, saya menangkap kesan bahwa mereka sudah berhasil menyelesaikan tantangan ini. Bukan dengan mendefinisikan pembaca yang mereka sasar sebagai pertimbangan bahan tulisan. Justru, sepertinya mereka cenderung tidak perduli soal siapa yang akan membaca tulisan mereka, dan pembaca mana yang akan relate dengan tulisan yang dihasilkan.

Ya kalau penulis sudah terkenal mah, sudah tidak takut tulisannya tidak dibaca siapa-siapa.

Omong-omong, apakah prinsip menulis untuk diri sendiri masih laku, ya? Sepertinya dalam kasus saya sudah tidak lagi relevan. Efek katarsisnya sudah selesai kalau menulisnya masih untuk diri sendiri dan tidak dibaca siapa-siapa. Sudah saatnya menulis untuk orang lain. Meski ternyata menentukan calon pembaca itu merupakan tantangan tersendiri pula, selain tantangan untuk menyelesaikan tulisannya.

Mudah-mudahan kecenderungan saya untuk lebih mudah menulis caption Instagram dan sosial media itu bukan pertanda bahwa bakat saya adalah sebagai content creator slash social media strategist, alih-alih penulis.

--

--