Cita-Cita Usia 32

Apa sudah bukan waktu untuk menentukan cita-cita baru?

Alvaryan Maulana
Nama Nama Kebon
5 min readFeb 16, 2024

--

Sejujurnya tulisan ini lahir dari tiga pikiran (dan perasaan) yang bergerumul di Jumat malam saat semua beban pekerjaan (boleh) ditutup. Pertama sebagai bentuk kompensasi dan pelarian dari perasaan tidak produktif seminggu ke belakang. Kedua sebagai bentuk hiburan karena memang hiburan saya yang begini-begini. Ketiga sebagai bentuk curahan hati karena ada kesulitan (belum sampai kegagalan, tapi agak merasa gagal) yang sedang saya hadapi.

Ini soal cita-cita saya menjadi scholar. (Setelah saya pikir-pikir kata scholar lebih netral dibanding kata intelektual, meski mungkin pada beberapa kasus kata intelektual lebih sesuai dengan konteks yang saya bicarakan). Jadi ini soal cita-cita saya menjadi intelektual.

Pertama, soal sumber dan latar belakang dulu. Saya generasi ketiga dari keluarga yang mengenyam pendidikan tinggi. Kakek dan nenek dari kedua orangtua saya sekolah sampai perguruan tinggi. Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi itu adalah kemewahan yang luar biasa. Jadi, saya luar biasa privileged.

Tapi tidak serta-merta saya merasa punya posisi intelektual dan kelas yang lebih tinggi dari kebanyakan. Intelektual sebagai sebuah kelas masyarakat bukan pre-assigned atau diwariskan melalui garis keturunan. Menurut saya, intelektual sebagai sebuah posisi di masyarakat musti diraih, atau ya paling buruk dilabeli saja pada diri sendiri.

Dalam kasus ini, saya ingin menjadi intelektual karena ya sayang saja sudah menjadi generasi ketiga yang menempuh pendidikan tinggi. Saya sih tidak merasa saya berkewajiban ya. Bukan karena keluarga saya pada sekolah kemudian saya jadi memaksa diri menjadi seorang intelektual. Tapi ya karena saya kepengen saja, memanfaatkan privilege itu.

Kedua, soal cara. Cara menjadi intelektual ya sekolah sampai mentok, kemudian mendaur ulang ilmu yang didapatkan itu dengan mengajar dan melakukan penelitian, juga sekali-sekali pengabdian. Bahasa mudahnya, jadi guru, dosen, atau peneliti. Di perguruan tinggi, atau di lembaga penelitian, atau jadi pegawai negeri yang jabatannya meneliti. Ya begitu lah intinya.

Untuk bisa menggunakan cara tersebut, syaratnya dua: sekolah sampai mentok, kemudian mencari pekerjaan pada posisi-posisi tersebut.

Masalahnya, keduanya tidak kesampaian. Sudah (pernah) diusahakan, sih. Tapi memang tidak kesampaian saja. Ya namanya hidup, namanya nasib. Sekolah tidak mudah dan tidak murah. Meski saya tidak perlu bersoal jawab dengan orangtua saya mengenai pentingnya sekolah, tapi ya tetap saja sekolah sampai mentok itu bukan hal yang mudah dan bukan hal yang murah.

Di zaman serba beasiswa ini, tidak serta-merta semuanya lancar-lancar saja. Apalagi jika sudah ada variabel lain seperti keluarga, pasangan, hingga urusan domestik lainnnya. Bisa ya bisa saja, tapi tidak semua orang mau mengambil pilihan tersebut. Tidak semua orang punya pilihan tersebut.

Keterbatasan pilihan tersebut membuat saya juga tidak lagi punya opsi sekolah sampai mentok di luar negeri. Wah cita-cita dari muda, sekolah ke luar negeri, pengen betul. Waktu sekolah master gagal di luar negeri, saya menghibur diri dengan meyakinkan diri akan ada waktunya nanti saat sekolah doktor. Tapi sekarang, sekolah doktor di luar negeri juga bukan opsi yang saya miliki. Banyak variabel yang akhirnya membuat matematikanya tidak menjadikan sekolah doktor ke luar negeri sebagai sebuah opsi.

Intinya saya gak bisa sekolah doktor keluar negeri karena kondisi dan urusan domestik saya.

Bahkan untuk sekolah doktor dalam negeri saja tidak semudah itu. Sambil bekerja, tidak punya home base untuk “status” tugas belajar, akhirnya menjadikan sekolah doktor di dalam negeri adalah sebuah pekerjaan juga. Tidak seperti kebanyakan orang yang bisa fokus belajar karena nanti ada pekerjaan yang menunggunya di rumah saat pulang. Buat saya (dan mungkin sebagian orang) sekolah doktor adalah bentuk dari pekerjaan yang harus dilakukan sembari tetap harus bekerja mencari penghidupan.

Menggunakan beasiswa pun punya keterbatasannya sendiri. Beasiswa membuat opsi pekerjaan menjadi terbatas sekali. Sementara uang saku yang diberikan beasiswa tidak cukup untuk mengongkosi peran sebagai kepala keluarga yang tidak bisa ditinggalkan dengan stempel tugas belajar.

Sehingga saya perlu memutar otak, apa tidak ada cara lain menjadi intelektual selain sekolah sampai mentok dan bekerja di posisi-posisi tersebut?

Kolektif Agora, 2019

Maka saya sampai ke bagian ketiga, hakikat. Apa sih hakikat menjadi seorang intelektual? Karena lagi viral dan banyak dibahas akibat gorengan politik elektoral yang memperkeruh relasi horizontal rakyat vs. rakyat, saya tidak mau repot-repot menjelaskan hakikat intelektual dalam kehidupan bermasyarakat, dan apa fungsinya dalam kehidupan masyarakat.

Ya tentu perenungan mengenai hakikat, fungsi, bentuk, hingga cara muncul dalam benak saya malam ini. Tapi saya tidak merasa itu relevan dalam tulisan ini, sehingga akan saya lewati saja. Saya langsung lompat ke bagian tindaklanjutnya saja.

Setelah memahami hakikat seorang intelektual, apa cara yang bisa ditempuh jika sekolah sampai mentok dan bekerja di posisi-posisi tertentu tersebut tidak bisa dilakukan? Pertanyaanya jadi begitu, toh?

Ternyata ada pilihan-pilihan lain. Secara hakikat (menurut saya) tetap menjawab fungsi dan peran intelektual di masyarakat. Secara bentuk juga sama menggugahnya dengan apa yang dilakukan para intelektual. Tapi ya rupanya saja yang berbeda.

Saya tidak akan menyebutkan caranya. Tapi kerja-kerja yang dilakukan oleh orang-orang ini lah yang sebenarnya banyak menggugah, mencerdaskan, dan menyegarkan pikiran saya selama ini. Bisa dibilang, kerja-kerja mereka lah yang justru memberikan pengayaan kepada saya dalam perjalan intelektual ini, bukan mereka yang sekolah sampai mentok, bukan juga mereka yang berada di posisi-posisi tertentu itu.

Ya tentu ada dosen-dosen dan peneliti yang punya kontribusi besar dalam perjalanan intelektual saya. Tapi jumlahnya sedikit dan sifatnya sangat personal. Sementara genre intelektual yang lain ini punya pengaruh yang lebih luas sekaligus lebih dalam. Dibanding membaca paper-paper yang menjemukan dan membosankan itu, produk-produk dari genre yang lain ini justru mencerdaskan, sekaligus menyentuh. Mereka adalah gabungan orang pintar dengan orang yang jago berbicara.

Jadi, sepertinya ada addendum dalam cita-cita saya di usia segini. Tapi saya sambil pikir-pikir lagi. Ada tidak ya penulis esai yang tulisannya egois dan narsis begini? Ada tidak ya penulis esai yang personal esainya kelewat personal sehingga bagian esainya tidak lagi punya bobot?

It is easy in the world to live after the world’s opinion; it is easy in solitude to live after our own; but the great man is he who in the midst of the crowd keeps with perfect sweetness the independence of solitude.

Ya, seandainya cita-cita ini gagal bermanfaat untuk orang banyak, saya yakin manfaatnya tetap ada untuk diri sendiri. Karena saya yakin betul, menulis esai, tujuan utamanya, ya untuk diri sendiri, bukan untuk siapa-siapa. Bahwa nanti dibaca orang, itu rumus lama risalah akan menemukan pembacanya saja. Tapi bahwa tulisan itu mewujud, itu tak bukan dan tak lain adalah pergulatan penulisnya sendiri saja.

TL;DR

Karena nyari sekolah S3 yang bisa sambil kerja tapi dapat beasiswa susah, buruh tulis ini menghibur dirinya untuk jadi penulis esai lepasan saja. Supaya gak mulia-mulia amat, ia berkilah bahwa ia menulis esai untuk dirinya saja, bukan untuk orang banyak.

--

--