Nomer Berapa Nih Ya?

Alvaryan Maulana
Nama Nama Kebon
Published in
2 min readNov 30, 2020

Saya berpikir keras soal kontribusi perspektif kewilayahan yang diupayakan tempat saya sehari-hari berada ini dalam memotret realita yang lebih nyata dibanding angka-angka statistik, misalnya memotret konflik Poso, sengketa lahan di berbagai tempat yang kalau saya tuliskan akan panjang, atau ya mungkin kalau tidak mau nanggung-nanggung, konflik di Papua yang sudah berkepanjangan.

Tentu saja naif pula untuk percaya bahwa tempat saya sehari-hari ini akan melepaskan biasnya. Mau dilabel seteknokratis apapun, tetap saja tempat ini punya agenda, punya misi yang dititipkan, dan ketika tidak dilakukan hanya akan membawa masalah bagi orang-orang yang tidak melakukannya.

Suka tidak suka, sistemnya begitu. Sehingga benar kata orang-orang, mustahil untuk melakukan perubahan sistemik dari dalam, apalagi perubahan yang instan. Perubahan sistemik dilakukan dengan sistemik pula, perlahan-lahan, pasal demi pasal, tahun demi tahun. Tapi tulisan ini tidak bicara soal melakukan perubahan sistem.

Saya hanya berkecil hati saja bahwa bahkan untuk bisa memotret realita tersebut, tempat ini tidak punya kemampuan. Konflik-konflik besar tadi, yang secara lokus menjadi sebuah lokasi yang selalu disebut, tidak teridentifikasi.

Lain soal jika teridentifikasi tapi kemudian diabaikan. Meski pun akan ngebatin, tapi saya bisa paham kenapa dan apa penyebabnya. Lah, ini mampu melihat saja tidak. Apa sebegitu boundednya realita yang ada di tempat ini ya? Mau tidak mau saya jadi khawatir.

Tentu saya bisa bilang bahwa arah dari tempat ini, setidaknya di petak yang saya huni sehari-hari, punya arah yang bisa jelas dan bertanggungjawab. Memang tidak akan memuaskan karena masih jauh sekali dari cita-cita besar, tapi kalau ditarik garis proyeksi, arahnya ke sana kok.

Tapi bukan berarti pula saya boleh terlena pula kan dalam upaya yang sebisanya-semampunya ini. Benar, bahwa sebagai sekrup, atau mungkin sekarang sebagai obeng, ada aturan main yang harus dipatuhi dan diikuti. Namun terlena bukan sebuah kata yang baik dalam arena latih-tanding. Bahasa gaulnya, menormalisasi. Memberikan pengecualian-pengecualian,

“ya emang begitu.. ya susah.. ya mau gimana lagi”

Bisa jadi ini bentuk frustrasi saya pula. Bisa jadi ini pembelaan saya terhadap upaya yang rasanya kok sudah berdarah-darah tapi tidak kok sepertinya tidak jadi apa-apa ya.

Mengutip Taylor Swift “This is me trying, at least I am trying”

Kadang saya merasa menjadi pahlawan kesiangan pula, seakan-akan hanya saya sendiri saja yang merindukan ruang hidup yang lebih baik. Mungkin kalau ditarik garis rata-rata, ruang hidup saya jauh di atas garis rata-rata. Tapi percakapan ini bukan soal saya dan kami-kami yang berada jauh di atas gari rata-rata kan?

Tidak usah jauh-jauh. Setiap hari saya lewat, setiap hari saya lihat. Dan setiap menyaksikan, muncul perasaan bersalah sekaligus amarah yang kemudian menjadi dorongan untuk berbuat sesuatu. Tapi begitu sampai meja, saya kembali menjadi orang tak berdaya yang terkerangkeng kerangka acuan kerja.

Semoga saja Emma Goldman dan almarhum Bapak saya benar,

“kalau idealisme lo ga bisa lo biayai sendiri jadinya idealisme lo gampang dibeli orang”

Tapi bagaimana bisa tahu bahwa itu bukan cuma pembenaran yang dikarang-karang?

--

--