Pembaca Yang Sombong

Banyak baca, banyak ilmu. Harusnya semakin berilmu, semakin merunduk. Kok malah sombong?

Alvaryan Maulana
Nama Nama Kebon
3 min readAug 18, 2023

--

Saya tengah merasa berdosa, setidaknya terhadap teman-teman dan kenalan online saya. Saya menolak untuk berbagi katalog bacaan berbahasa Indonesia yang lumayan lengkap dengan koleksi yang unik dan bisa diakses secara cuma-cuma. Saya melakukan gatekeeping terhadap katalog tersebut.

Tapi saya pikir perlu juga untuk melakukan pembatasan akses, dalam artian saya tidak usah gembar-gembor. Toh tautan itu sudah ada di sana sejak kapan tahu. Sudah tersedia secara gratis, mungkin selama 10 tahun terakhir. Saya tidak menemukannya, tidak pula mengupayakannya. Jadi menjaganya tetap ekslusif adalah sebuah hal minimal yang bisa saya lakukan.

Dengan begitu saya tidak menjadi seseorang yang sombong akan bacaan yang saya punya. Ya, kan? Kalau saya membahas katalog itu, kesannya saya punya banyak bacaan dan sudah membaca banyak hal. Padahal tidak juga. Saya punya banyak bacaan, tapi tidak banyak yang saya baca. Di antara sedikit yang saya baca itu, lebih sedikit lagi yang saya selesaikan pembacaanya.

Mungkin makna dan tujuan membacanya bergeser menjadi sekedar pamer bacaan. Tapi syukurnya itu porsi yang sedikit sekali muncul dalam kadar kesombongan dan penyakit hati saya. Kenapa syukur? karena saya punya penyakit hati dan kesombongan yang lebih parah: membaca untuk menulis.

Sepertinya sudah jadi kebiasaan bahwa saya baru akan membaca sesuatu kalau ada yang mau ditulis. Entah itu pekerjaan, pekerjaan sampingan, atau proyek personal yang tujuannya sekedar menyenangkan diri sendiri. Di luar itu, ya saya ndak banyak membaca.

Akibatnya, bacaan saya terbatas betul. Terbatas pada subjek-subjek yang berhubungan dengan pekerjaan dan rutinitas saja. Untungnya memang jadi lebih fokus dan informasi yang harus saya proses jadi lebih compact sehingga upaya yang harus dikerahkan tidak besar. Pekerjaan saya pun memang butuh banyak tahu tentang sebuah hal dibanding tahu banyak hal.

Konsekuensinya, referensi dan bacaan saya menjadi membosankan, dan itu-itu saja. Seakan-akan dunia itu berputar dalam rotasi subjek yang saya geluti. Seperti pepatah Abraham Maslow: If you only have a hammer everything looks like a nail. Saya saja sampai malu menyebutkan apa subjek-subjek yang membelanggu saya kurang lebih 4–5 tahun ke belakang.

Akhirnya tidak banyak bacaan-bacaan lain, di luar yang saya butuhkan untuk menulis, yang saya baca dengan seksama. Ya ada untungnya sih bermain media sosial, jadi artikel-artikel singkat yang waktu bacanya hanya 4–5 menit masih bisa saya baca. Tapi itu kan terbatas sekali informasinya.

Tapi bacaan-bacaan lezat, yang daging-daging semua, yang ditulis puluhan tahun lalu dengan pendekatan etnografi selama 20 tahun luput dari radar saya. Padahal jumlahnya banyak betul, dan isinya masih relevan hingga sekarang. Bahkan sebagian besar menjelaskan perjalanan peradaban manusia dan sejarah negara ini hingga sekarang.

Kembali lagi ke pikiran saya, bahwa membaca untuk menulis itu adalah hal yang sombong dan arogan, menjadi semakin menguat. Sudah saatnya pikiran seperti itu harus saya buang jauh-jauh. Karena selain perbuatan buruk (mengingat sombong itu buruk), juga karena menghalangi saya dari bacaan-bacaan yang segar, yang mungkin tidak saya butuhkan untuk menulis apapun, tapi bisa menambah dimensi baru benak saya.

Sudahlah. Kembalikan saja aktivitas membaca itu ke fungsi aslinya, membuka wawasan, memberikan perspektif baru, mengisi pikiran supaya hati merunduk seperti ilmu padi, dan sebagai sebuah hiburan. Kalau membaca semata-mata hanya untuk mencari referensi penulisan, sombong namanya. Mana tidak membuka perspektif baru, dan tidak menghibur sama sekali.

Oleh karena itu, katalog tersebut tidak saya bagikan. Supaya niat saya tiap kali mengunjungi katalog tersebut, benar-benar untuk mencari bacaan dan hiburan. Bukan untuk mencari bahan tulisan, apalagi untuk sekedar pamer bacaan.

--

--