Keajaiban (Short Story)

Natasha Chen
Natasha Chen
Published in
20 min readJan 21, 2017

Aku melangkahkan kakiku yang panjang kedalam suatu gedung bertingkat berwarna putih. Didalamnya terdapat banyak perempuan dan lelaki yang juga mengenakan warna putih dan hijau yang dominan sebagai baju kerja mereka. Aku tersenyum singkat kearah beberapa orang tersebut yang kukenal. Mereka selalu membalas senyumanku dengan senyuman juga karena mereka tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk menyapaku ini.

Tapi walau mereka memberiku senyuman terbaik mereka, aku masih bisa merasakan tatapan prihatin dan kasihan yang ditujukan untukku. Tatapan yang selalu mereka berikan padaku ketika melihatku. Selalu.

Aku masuk kedalam lift dan memencet angka tiga sebagai tempat tujuanku. Didalam lift ada beberapa orang lain bersamaku, menunggu pintu lift terbuka dilantai yang dituju. Ada yang membawa serangkaian bunga, ada juga yang membawa sekeranjang berbagai jenis buah. Ada seorang ibu yang menyuruh anak perempuannya, yang kuduga masih berumur lima tahun, untuk tetap diam dan tenang selama berada disini. Ada sepasang perempuan dan lelaki muda yang terlihat sangat mesra dan bahagia sedang bersama-sama mengelus perut buncit sang perempuan. Mereka terlihat sangat bahagia sehingga tanpa sadar aku juga mengelus perutku yang masih datar ini berkali-kali. Aku hanya tersenyum geli melihat kelakuanku ini, begitu juga pasangan muda itu yang kebetulan memergokiku melakukan hal yang sama dengan mereka.

“ini pertama kali kau datang kesini?” tanya sang wanita dengan nada yang lembut. Senyumnya tetap tidak hilang ketika dia bicara.

“ah bukan. Aku bukan..” kalimatku tidak selesai karena dipotong oleh wanita itu.

“ah kau tidak usah malu hanya karena suamimu tidak ikut pemeriksaan kandunganmu yang pertama kalinya. Suamiku dulu juga begitu. Pikirannya kerja, kerja, dan kerja mulu.” sang wanita menatap kearah lelaki yang sekarang masih ada disebelahnya. Suaminya hanya bisa menggaruk kepalanya seperti orang salah tingkah.

“kamu nginget aja sih tentang masa lalu. Udah jangan diingat-ingat terus entar anak kita dendaman lagi sifatnya.” bujuk sang suami sambil menggandeng erat istrinya. Aku hanya bisa tertawa sopan melihat kelakuan pasangan ini.

Begitu sampai di lantai tiga aku keluar dari lift setelah mengucapkan sampai jumpa kepada dua orang itu.

**

Hari libur memang selalu membuat tempat ini ramai dipenuhi penjenguk. Karena mereka hanya datang sekali dua kali dalam beberapa bulan atau bahkan untuk pertama kalinya, banyak dari mereka yang hampir mengelilingi satu gedung ini karena mereka tidak mengetahui letak pasti ruangan yang ingin mereka tuju. Berbeda dengan diriku. Aku berjalan dengan penuh keyakinan. Aku tahu kapan aku harus berbelok ke kanan, ke kiri atau lurus terus. Karena tempat tujuanku digedung ini tidak pernah berubah.

Aku berhenti didepan ruangan yang dipintunya tertuliskan angka 572 dan tulisan ‘tidak boleh diganggu’. Aku masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu karena itu hanyalah perbuatan sia-sia. Hanya ada satu orang didalamnya yang tidak akan mendengar apalagi menjawab ketukanku ini. Tulisan tidak boleh diganggu itu hanya bertujuan untuk menjauhkan orang-orang iseng yang suka mengintip kamar orang.

Tanpa sadar aku tersenyum ketika melihat kedalam ruangan itu. Hening. Tidak ada yang berubah. Walau yang selalu kuharapkan adalah sebaliknya. Tapi aku bisa tersenyum karena aku mendengar suara ‘biip biip’ yang teratur yang menandakan masih adanya kehidupan didalam ruangan ini. Walau suara biip biip yang hanya menunjukkan detak jantung yang teratur itu bukanlah sebuah perubahan yang positif menurut para dokter.

Aku meletakkan tasku di meja sebelah tempat tidur dan mulai duduk disisi ranjang. Ranjang itu tidak kosong, tentu saja. Ada seorang pria yang berbaring dengan tenang diranjang tersebut.

Aku mengusir rambut-rambutku kebelakang telinga karena menghalangiku untuk melihat wajah tampan yang sedang menutup matanya ini. Tidak pernah aku merasa bosan menatapnya mau sampai kapanpun juga.

“apa kabarmu? Maaf aku jarang datang akhir-akhir ini. Pekerjaan benar-benar mengekang gerakan seseorang bahkan sampai larut malam.”

Tidak ada jawaban. Bahkan sedikit gerakan juga tidak. Tapi aku tetap melanjutkan percakapanku lagi.

“kuliah? Aku sudah cuti sejak dua tahun yang lalu. Aku bosan belajar mulu jadi kukira lebih baik aku bekerja saja.” aku yakin kalau dia bisa, dia pasti mencubit kedua pipiku sekarang juga sampai merah. Dulu itu yang dia lakukan ketika aku mengeluh tentang kuliahku dan lebih memilih untuk bekerja membantunya mencari nafkah. Tapi setelah itu kami berdua hanya akan saling tertawa. Karena dia tahu aku sangat menghargai kesempatan untuk bisa berkuliah dan dia tahu aku hanya mengisenginya belaka. Sayang, dia tidak bisa melakukan cubitan itu sekarang.

Aku mengubah posisiku menjadi tidur meringkuk disebelahnya. Aku melingkarkan tangan kanannya menutupi tubuhku. Hangat. Aku menaruh kepalaku didadanya yang sudah tidak bisa dibilang empuk dan nyaman lagi. Dia sudah terlalu kurus sehingga yang sekarang terasa hanyalah tulang-tulang rusuknya. Tubuhnya yang wangi lemon dulu juga sudah berubah menjadi bau obat dan zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan dia setengah hidup seperti ini. Setelah diam beberapa lama menikmati mendengar detak jantungnya barulah aku mulai berkata lagi,

“hei Kyle.. Apa kau tidak berniat bangun lagi hanya sekedar untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada calon istrimu ini hah?” tanyaku tanpa melihat kearah mukanya.

**

Aku ingin kau memelukku lagi. Aku ingin berdiri disampingmu sebagai seorang istri yang sah. Aku ingin punya anak denganmu seperti pasangan muda itu. Tapi jika itu semua terlalu susah untuk dikabulkan, Tuhan, izinkan aku untuk melihatnya hidup seperti manusia normal bukan seperti ini. Lebih mudah melihatnya hidup bahagia dengan orang lain daripada melihat dirinya terbaring koma ataupun meninggal. Itulah isi doaku selama tiga tahun ini tanpa absen. Dan aku akan terus berdoa seperti ini sampai dia terbangun kembali dan menampilkan senyuman khasnya untukku.

**

Ada sebuah janji yang terbentuk antara aku dan Kyle sewaktu anak-anak. Sesama anak yang berasal dari panti asuhan berjanji yang lebih tua akan berusaha mengeluarkan yang lebih muda dari panti asuhan ini dan hidup saling membantu sampai akhir hayat.

Saat itu aku berumur tujuh tahun dan Kyle berumur dua belas tahun. Pemikiran yang luar biasa untuk anak yang baru berusia dua belas tahun bukan? Tapi kondisi kami memang memaksa kami semua untuk dewasa sebelum waktunya. Tidak ada orangtua atau sanak saudara yang membantu kami bertahan hidup. Keluarga yang bisa kami miliki hanyalah anak-anak yang sama seperti kami, terlahir untuk hidup sendirian.

Menurut Kyle saat itu aku adalah keluarganya, dan keluarga itu tidak boleh ditinggalkan. Karena itulah dia menciptakan janji tersebut.

Tepat setelah Kyle berumur tujuh belas tahun dia pergi keluar dari panti asuhan yang memang menjadi kewajiban setiap anak panti. Aku tidak tahu kemana dia pergi atau dimana dia tinggal. Dia tidak memberitahu apapun padaku. Disaat itulah aku meragukan Kyle ingat tentang janjinya yang dulu. Apalagi pada saat itu Kyle sudah jarang berbicara denganku. Dia sibuk dengan segala urusannya.

Setelah lima tahun Kyle pergi datanglah saatnya untukku pergi meninggalkan panti asuhan ini juga. Usiaku sudah mencapai tujuh belas tahun juga saat itu. Jujur, aku takut. Aku merasa belum siap untuk bertahan hidup diluar sendirian. Karena memang dulu aku selalu bersama-sama Kyle ketika aku harus pergi keluar.

Aku keluar dari panti asuhan tepat di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Aku sudah selesai mengemasi barang-barangku ketika ibu pengurus panti memanggilku untuk menemui seseorang. Dia bilang orang yang akan kutemui adalah orang yang selama ini kutunggu. Siapa?

Ibu panti membawaku masuk kedalam ruangan yang didalamnya terdapat seorang lelaki muda berpakaian kemeja putih seperti orang kantoran. Lelaki itu berambut pendek dimana saat itu sedang ngetrend rambut gondrong ala Beatles. Aku tidak merasa mengenalnya. Aku tetap menjaga jarak dengan lelaki itu ketika ibu panti meninggalkan kami berdua sendiri.

“kau lupa denganku, Kay? Aku datang untuk menjemputmu.” tanyanya sambil sedikit tertawa.

Aku ralat kata-kataku. Aku kenal orang ini. Kyle. Kyle datang menjemputku. Saat itu aku langsung berlari kearah Kyle dan memeluknya erat, mencoba memastikan apa Kyle yang ada dihadapanku ini hanya sebuah bayangan saja. Kyle membalas pelukanku dengan sama eratnya, seakan mengetahui kesepianku selama ini dan berniat meminta maaf dengan pelukan itu. Perlahan dia mendekatkan wajahnya di telingaku dan berbisik, “selamat ulang tahun yang ketujuh belas, Kay, maaf aku tidak punya hadiah apapun untukmu.”

Kyle salah waktu itu. Aku sudah mendapat hadiah terbaik yang pernah kudapat dari dirinya selama ini. Dia ingat kepadaku, kepada hari ulang tahunku, juga kepada janji yang dibuat padaku dulu.

**

Kyle mengajakku tinggal dikontrakannya, lebih tepatnya dia menyewakanku satu kamar di apartemen tempat dia tinggal, bersebelahan persis dengan kamarnya. Dia bercerita bahwa dia terus memohon mati-matian kepada pemilik apartemen itu agar tidak memberi kamar yang dia sediakan untukku ke penyewa lain. Dan untungnya pemilik apartemen itu menyukai Kyle yang baik dan sopan santun nya sehingga dia mau memenuhi permintaan Kyle.

Aku hanya bisa terus tersenyum mendengar semua ceritanya itu. Ternyata selama ini Kyle tidak pernah melupakanku. Seperti aku tidak pernah melupakannya juga.

**

Selama setahun tinggal bersamanya, perlahan perasaan dihatiku pun mulai berubah. Aku tidak bisa menganggapnya sebagai seorang kakak lagi saja, tapi sebagai seseorang yang tidak pernah absen dihatiku. Aku mulai menyukainya. Dan aku berharap Kyle juga mempunyai rasa yang sama padaku.

Diulang tahunku yang kedelapan belas lagi-lagi dia memberiku hadiah yang mengejutkan. Kyle mendaftarkanku kesalah satu universitas dekat apartemenku yang terkenal karena prestasinya dibidang kesenian, pelajaran kesukaanku.

Kyle telah menabung selama lima tahun setelah dia pergi dari panti untuk kuliahku, hanya untuk kuliahku. Walau dia bilang aku mendapat beasiswa separuh karena nilaiku bagus, tapi tetap saja, uang setengahnya lagi jumlahnya pasti bukan main banyaknya mengingat dia hanya pegawai biasa yang sudah harus membiayai kehidupan untuk dua orang. Tanpa bantuan siapapun.

Melanjutkan ke kuliah adalah suatu hal yang bahkan tidak pernah berani kuimpikan ketika tidur di malam hari, tapi Kyle berhasil mengabulkannya seperti ibu penyihir di cerita cinderella.

Aku melirik kearah kyle sambil masih memasang tampang kaget dan dia hanya memasang senyuman indahnya yang tidak pernah berubah dari dulu. Saat itu kusadari, aku akan selalu lupa bagaimana caranya menangis jika senyum itu berada disampingku.

**

Ya, aku benar-benar sudah jatuh kearahnya ketika umurku delapan belas tahun. Tapi aku tidak berani mengatakannya. Aku berusaha untuk tidak pernah menunjukkan perasaanku sama sekali yang membuat kelakuanku menjadi terlihat aneh dimatanya. Dan ketika dia terus ngotot menanyakan ada apa dengan diriku… Tanpa sadar aku bilang padanya aku sedang menyukai seseorang tapi aku berhasil tidak bilang siapa orang yang kusuka.

Sejak saat itu dia juga jadi sama anehnya sepertiku. Dia menghindariku tapi terkadang aku menangkapnya sedang menatap diriku. Tatapan yang tidak bisa kuketahui apa artinya. Akhirnya aku dan Kyle sama-sama tidak kuat menahan kelakuan aneh kami dan berusaha saling jujur kepada satu sama lain. Kita harus jujur kepada keluarga bukan? Tapi aku tidak yakin apa Kyle masih menganggapku keluarga jika dia tahu aku menyukainya. Aku takut dia akan merasa jijik akan perasaanku.

Aku mengatakan perasaanku sejujur-jujurnya, bahwa aku tidak bisa menganggapnya sebagai seorang kakak lagi, tapi sebagai seorang lelaki. Kyle terlihat kaget dengan kata-kataku, reaksi yang sudah kuduga. Aku menutup rapat mataku menunggu kalimat pengusiran muncul dari mulut Kyle. Bukan kata-kata dingin menusuk yang kudapat, melainkan kehangatan tubuh Kyle. Kyle memelukku erat sampai-sampai aku bisa mencium aroma tubuhnya yang selalu membuatku merasa nyaman. Ragu-ragu aku membalas pelukan Kyle.

Ketika beberapa menit telah berlalu Kyle melepaskan pelukannya dan mulai menatapku. Dia tidak tersenyum, dia juga tidak terlihat kesal. Aku ingin menanyakan apa yang sedang dia pikirkan. Tapi saat aku melihat wajah Kyle semakin mendekati wajahku, otakku otomatis membeku begitu juga tubuhku. Aku hanya bisa terus memelototi Kyle tanpa henti. Waktu terasa sangat lama. Dan sangat menegangkan.

“tutup matamu, Kay. Kalau tidak aku tidak bisa melanjutkan hal ini.” katanya sambil mengeluarkan tawa khasnya. Renyah dan menggoda.

Aku lupa cara menutup mata saat itu. Aku terlalu gugup dengan semua ini. Setelah tidak adanya perubahan tingkah lakuku, akhirnya Kyle memutuskan menutup mataku dengan tangannya sendiri.

Saat itulah kami berdua berciuman pertama kali.

**

Hubunganku dengan Kyle semakin baik dan semakin dekat sejak saat itu. Tentu saja kami tetap tidak melewati batas walau kami punya rasa lebih. Kyle menginginkanku untuk fokus ke kuliahku dulu. Dan aku menghargai keputusan Kyle tersebut.

Ditempat kuliah aku banyak bertemu dengan orang-orang baru. Banyak lelaki lain yang menjadi temanku selain Kyle. Dan Kyle mulai menjadi paranoid sendiri sejak dia tahu hal itu.

Kyle dengan jujur mengatakan kegundahan nya padaku. Katanya banyak teman-temanku yang lebih tampan, lebih kaya dan lebih sempurna dari dirinya sehingga dia takut aku meninggalkan dirinya. Aku tidak tahu kenapa dia bisa berpikiran seperti itu. Berpikiran untuk mengganti Kyle yang sudah selalu ada bersamaku sejak kecil dengan lelaki lain yang baru kukenal beberapa bulan lalu yang mungkin memang lebih sempurna dari dirinya itu gila.

Apa dia tidak tahu aku selalu menahan rasa cemburu juga ketika melihat dia sedang berdekatan dengan wanita lain? Dasar laki-laki.

**

jadi begitulah hubungan kami berdua. Kadang aku yang cemburu, kadang Kyle yang cemburu. Kadang aku marah pada Kyle, kadang Kyle marah-marah sendiri juga. Tapi tentu saja senyum tidak pernah hilang ketika kami sedang berdua.

Kebahagiaan mulai hilang saat hari pertama aku berusia dua puluh tahun. Terjadi kecelakaan mobil yang mengenaskan dalam perjalanan pulang Kyle hari itu. Membuat Kyle tidak pernah membuka matanya lagi sampai saat ini.

Disamping tubuh Kyle yang terbaring ditanah terdapat sebuah kotak hadiah untukku. Sebuah kalung indah bertuliskan double K, gabungan huruf depan namaku dan nama Kyle. Tapi karena kecelakaan itu huruf double K itu pun pecah menjadi K dan K sendiri. Persis seperti hubunganku dengan Kyle, dimana sekarang Kyle meninggalkanku untuk sementara sehingga aku harus hidup sendiri.

Selama tiga tahun Kyle tertidur banyak terjadi perubahan dalam hidup. Aku harus mulai mencari pekerjaan untuk membiayai rumah sakit Kyle. Aku terpaksa melepas kamar yang kusewa untuk penyewa lain sehingga sekarang aku tinggal di kamar Kyle. Kuliah juga kuhentikan sementara waktu. Tadinya aku berniat untuk benar-benar berhenti, tapi setelah mengetahui kondisiku mereka bersedia memberiku cuti untuk mengurus kyle. Walau batas waktu cutiku akan habis di tahun ini. Jika aku tidak kembali ke kampus tahun ini, maka hilanglah kesempatanku untuk berkuliah lagi. Tapi ini semua tidak masalah untukku. Asalkan malaikatku bisa tetap berada disampingku.

**

Aku bangkit dari pelukan Kyle yang selalu menenangkanku sejak dulu. Kulirik kearah bagian bawah wajahnya yang sekarang sudah hampir tertutup oleh rambut rambut halus disekitar dagunya. Sudah saatnya untuk mencukur wajah Kyle lagi, pikirku.

Aku berjalan kekamar mandi mengambil sebaskom air hangat, pisau cukur, juga shave foam. Perlahan kuseka wajahnya dengan handuk yang telah kurendam di air hangat. Lalu aku mulai menaruh shave foam dimukanya dan menggerakkan pisau cukur yang kupegang kekiri dan kanan. Aku senang melihat pertumbuhan rambut ataupun kumis Kyle yang menandakan Kyle hidup sepertiku. Mungkin sekarang Kyle hanya sedang mengalami mimpi yang sangat indah sehingga dia menolak untuk bangun terlalu cepat.

**

Huahmm.. Ya ampun! Tanpa sadar aku jatuh tertidur ketika selesai mencukur Kyle! Hari ini aku memang lelah sekali.

Kulirik kearah jam tanganku yang berwarna putih sederhana, jarum-jarum didalamnya sudah menunjuk keangka sepuluh dan dua belas. Pukul sepuluh malam tepat. Aku sudah tertidur selama empat jam ternyata.

Sepertinya aku akan menghabiskan ulang tahunku yang ini sama seperti tiga tahun kemarin, sendirian dan hanya memandangi Kyle tanpa henti. Sebenarnya jam besuk sudah lama lewat, tapi begitu pihak rumah sakit tahu ini hari ulang tahunku mereka membolehkanku menghabiskan waktu bersama Kyle seperti ini. Aku kembali membaringkan tubuhku untuk mendapatkan waktu tidur beberapa jam lagi.

“Kay..” aku mendengar sebuah suara yang memanggilku. Suaranya kecil dan lemah, tapi aku bisa mengenalinya! Aku turun dari ranjang dan mundur beberapa langkah untuk melihat kearah sesuatu, memastikan aku tidak berhalusinasi.

Dan demi Tuhan.. Aku melihat warna hijau kebiru-biruan yang berasal dari mata Kyle. Kyle membuka matanya!! Apa ini semua nyata? Sekarang Kyle sedang mengerjapkan matanya berkali-kali. Aku sendiri membeku ditempat melihat semua gerak-gerik Kyle.

“Kay..” dia kembali mengulang menyebut namaku. Tatapannya terlihat masih belum fokus sehingga dia tidak mengetahui keberadaanku. Aku menghampirinya dan memegang tangannya yang masih tergeletak lemas di sisi ranjang.

Kyle mengedipkan matanya sekali lagi, dan sekarang dia menatap kearah manik mataku. “Kay..” panggil nya sekali lagi dengan senyumannya yang selama tiga tahun ini hanya bisa kuimpikan.

“aku disini Kyle.” jawabku. Akhirnya aku bisa merasakan genggaman balik dari tangan besar dan hangat ini.

“I miss you.” Kyle menggerakkan tangannya menelusuri setiap inci wajahku, seperti memastikan aku tidak kenapa-kenapa. Kebiasaan yang selalu dilakukannya dari dulu ketika melihatku setiap pulang kerja. Aku tidak bisa menahan tangis bahagiaku sekarang ini. Kyleku kembali.

“aku harus memanggil dokter memberitahu kau sudah sadar. Tunggu sebentar ya.” aku teringat kata-kata dokter yang berkata seandainya Kyle sadar, aku harus langsung memberitahunya untuk penanganan lebih lanjut. Tapi Kyle malah menahan tanganku sehingga aku tidak bisa berjalan keluar dari pintu.

“tidak perlu, Kay. Aku tidak perlu dokter.” Kyle berusaha membuat dirinya menjadi posisi duduk, tapi tenaganya masih terlalu lemah sampai-sampai aku harus membantunya.

“kamu yakin?” tanyaku khawatir.

Kyle tersenyum dan mulai mengelap pipiku yang basah karena air mata dengan punggung tangannya.

“benar. Lebih baik sekarang kau hilangkan bekas airmatamu itu. Kau kan bukan bayi lagi.”

“aku menangis salah siapa?” aku menggembungkan pipiku dan Kyle hanya tertawa. Rasanya aneh. Baru beberapa menit yang lalu Kyle dalam keadaan koma, sekarang dia sudah bisa mengisengiku.

Aku memeluk Kyle erat ketika dia masih tertawa. Aku bisa merasa tanganku benar-benar gemetar seakan takut Kyle yang sekarang sedang kupeluk hanyalah mimpi belaka. Mimpi yang selalu membuatku bangun dengan bantal yang basah. “Jangan pernah pergi lagi Kyle.” gumamku.

Kyle tidak menjawab. Dia hanya membalas pelukanku, mengelus punggungku lembut berusaha menenangkanku. Seperti ketika dia memelukku di panti asuhan itu.

**

Sejak Kyle terbangun, kami berdua langsung mengobrol tanpa henti. Baik tentang sesuatu yang penting seperti aku telah melepas kamarku untuk orang lain juga tentang mukaku yang katanya sudah berkeriput sekarang. Menyebalkan.

“jadi sekarang kau tinggal dimana?” Kyle bertanya sambil menggelitik daerah lenganku. Rasanya menyenangkan.

“kamarmu.” jawabku singkat.

Kyle terlihat kaget dengan jawaban yang kuberikan. Tentu saja, kalau tidak disana aku bisa tinggal dimana lagi?

“ehm.. Kalau begitu, kamu membereskan seluruh kamarku?”

“kalau yang ingin kamu tanyakan majalah-majalah porno yang kau taruh di lemari pakaian, semua buku itu sudah berakhir di tempat loak atau mungkin dengan pemilik barunya.”

“kau kejam sekali Kay. Itu koleksi-koleksiku selama bertahun-tahun, bahkan ada beberapa milik temanku. Dan kau membuangnya seperti sampah.”

“itu merusak otakmu, kau tahu?” aku ingat aku muntah semalaman ketika tidak sengaja melihat sekilas majalah milik Kyle.

“tapi itu kebutuhan setiap pria kau tahu? Atau kau berniat mengisi kebutuhanku itu makanya kau sengaja membuang itu semua?” Kyle berbisik di telingaku sambil memindahkan kedua tangannya ke wajahku.

Aku tidak menjawabnya karena tiba-tiba saja mukaku terasa memerah. Apa ini akibat mendengar kata-katanya? Lalu Kyle hanya kembali tertawa keras melihat mukaku.

“tenang saja. Aku tidak akan menyentuhmu sampai kau lulus kuliah, kau lupa dengan itu?” Kyle mengelus pelan puncak kepalaku. Tapi bukannya tenang, aku malah jadi semakin tegang karena Kyle menyebutkan tentang kuliahku. Kyle belum tahu aku sedang cuti dari kuliah.

“Kyle, tentang kuliah..” ucapku ragu.

“ya? Oh ya, aku lupa aku sudah tertidur selama tiga tahun. Kau pasti sudah lulus tahun lalu. silly me.” Kyle menepuk kepalanya.

“aku tidak kuliah sejak kau.. kau tertidur. Tapi aku masih bisa kembali belajar tahun ini.”

“maksudmu?” Tanya Kyle.

“ya, things getting heavier when you were not around. Aku harus bekerja dari pagi hingga malam, sehingga aku tidak mungkin tetap meneruskan kuliahku.” Aku mencoba menghindari kata-kata yang akan membuat Kyle merasa bahwa perawatan dirinyalah penyebab aku harus bekerja siang malam. Aku tidak ingin Kyle terluka.

Tapi sepertinya Kyle tetap menyadarinya. Matanya langsung mengeluarkan aura bersalah dan kesedihan yang mendalam. “Kay bodoh.. kau menghabiskan tiga tahun terbaikmu hanya untuk menghasilkan uang untuk mempertahankanku tetap hidup.”

“Kyle, aku tidak pernah menyesalinya. Sama sekali.” Ucapku lirih. Aku merasa Kyle ingin menangis, tapi dia menahannya mati-matian. kata-kataku tadi tidak didengar Kyle. Dia hanya menatap kearah tembok putih yang menghiasi ruangan ini, tidak mampu menatapku. Kyle memiliki rasa tanggung jawab yang sangat besar dalam dirinya. Dan sekarang dia pasti merasa dirinya tidak berguna. Bodoh! Kenapa bisa-bisanya aku mengungkit tentang masalah kuliahku itu? Aku memberi beban diotaknya yang baru saja bisa bekerja seperti semula.

“aku pasti bisa mengejar ketinggalanku, Kyle. Kau tidak usah khawatir. lagipula.. sekarang kamu sudah sadar kembali. kita bisa kembali ke kehidupan kita semula. Kau bekerja, aku melanjutkan kuliahku dan menunggumu pulang setiap sore lalu kita makan malam bersama.” Bujukku. kami pasti bisa kembali seperti dulu. Setelah itu akan tiba satu hari dimana aku lulus dari kuliah, lalu Kyle akan melamarku menjadi istrinya, dan akhirnya aku akan mempunyai sebuah keluarga. Sesuatu yang sangat aku dan Kyle inginkan. Hal yang tidak bisa kami miliki dulu sewaktu kami kecil. A real family.

Lalu tiba-tiba Kyle menatap kearahku dan memelukku.

“aku mencintaimu, Kay. Lebih dari apapun yang kau bayangkan.” Kyle membisikkan kalimat itu tepat dikupingku.

“aku juga.” Balasku.

**

setelah itu kami kembali mengobrol seperti biasa, tapi entah kenapa Kyle terlihat mencurigakan. Sebentar-sebentar dia melirik kearah jam dinding. Dia bersikap tidak tenang juga gugup. Ada apa dengan dirinya? Sekarang sudah jam sebelas lewat lima puluh menit, tidak ada yang aneh dari itu… Ah, aku tahu!

“Kyle, kamu tidak memberiku apa-apa nih?” candaku.

“memangnya hari ini ada apa?” tanyanya polos. Dia pasti hanya berpura-pura tidak tahu tentang ulang tahunku. tadi aku sudah memberitahu Kyle tentang tanggal hari ini.

“ini hari ulang tahunku yang kedua puluh empat.”

“ah, aku baru sadar. Selamat ulang tahun yang kedua puluh tiga, Kayla Nadia. Maaf, selama tiga tahun ini aku tidak memberimu apa-apa.” Sebuah ciuman mendarat dijidatku. Aku bingung, Kyle benar-benar tidak ingat sebelumnya? Kalau begitu apa alasannya memperhatikan jam dengan begitu detil? Ah, mungkin aku saja yang terlalu mencurigai semua gerakan Kyle.

“Kyle, kamu mau apa? Biar kubelikan?” tanyaku semangat. Biasa dia yang selalu memberiku sesuatu dihari ini, sekarang biar aku yang membuat dia bahagia.

“kok aku? Kan kamu yang ulang tahun?”

“gak apa-apa. Aku mau kasih kamu sesuatu.”

Kyle menggaruk-garukan kepalanya dan melihat kesekeliling ruangan seakan mencari ide tentang barang yang ingin dia minta. Begitu dia melihat kearah jam lagi, dia langsung menampakkan muka cerah seperti sudah diberi ilham. Apa dia mau minta kubelikan jam?

“aku mau minta dua hal. Boleh kan?” aku menganggukan kepalaku.

“pertama, ini..” Kyle tidak melanjutkan kata-katanya lagi karena bibirnya sekarang tertutup oleh milikku. Kyle menciumku dengan lembut.

Ini ciuman kedua kami, dan rasanya sama seperti yang pertama. Lembut, menyenangkan, juga memberi rasa nyaman.

Setelah selesai dengan ciumannya, dia langsung memelukku erat. Jujur, aku lebih tidak bisa bernafas karena pelukannya dibanding ciumannya.

“yang kedua yang kuinginkan…” ucapnya sambil masih meletakkan kepalanya dibahuku. lagi-lagi kalimatnya terputus dalam waktu yang cukup lama. Aku memilih untuk ikut diam, sehingga yang terdengar hanyalah suara detak jam, suara alat-alat elektronik yang ada, juga suara detak jantung kami berdua.

“relakan aku pergi, Kay.” Ucapnya pelan, tapi masih bisa tertangkap oleh pendengaranku dengan jelas.

Pergi? Kyle mau pergi kemana? Kalimat Kyle benar-benar sangat tidak jelas artinya. Tapi entah kenapa, aku merasa tubuhku tiba-tiba mengeluarkan gejala-gejala yang muncul ketika aku ketakutan, Gemetaran, tangan dan kaki terasa dingin sesaat. padahal aku belum paham apa maksud kalimat Kyle ini. Kenapa aku bisa ketakutan terlebih dahulu?

“kamu mau pergi kemana? Ke klub? Mencari majalah-majalahmu yang sudah kuloakkan lagi?” tebakku asal-asalan sambil mencoba menenangkan diri. Tapi bukannya tambah tenang, aku malah merasa tangan dan kakiku terasa semakin dingin dan berkeringat.

Kyle menjauhkan mukanya dari pundakku dan menghadap kearahku sehingga aku bisa melihat wajahnya secara sempurna. Pipinya sekarang basah karena air mata yang berjatuhan keluar dari mata hijau kebiru-biruannya. Tapi Kyle juga memasang senyuman dimukanya. dia tersenyum, tapi juga menangis. Seperti sedang menahan airmatanya untuk mengalir lebih banyak.

“aku harus pergi Kay.” Ucapnya sekali lagi.

“ya, kamu mau pergi kemana dulu? Kau tidak bilang kau mau pergi kemana, bagaimana bisa kuizinkan kau pergi.” Aku mencoba mengelap airmata kyle tapi mereka terus berjatuhan tanpa henti.

“kau tahu aku harus pergi kemana Kay.”

“aku tidak tahu.” walau kalimat penolakan yang keluar dari mulutku tapi tubuh dan hatiku sepertinya setuju dengan kalimat Kyle. Aku tahu persis tempat yang akan dituju Kyle. Terbukti dengan keluarnya airmataku tiba-tiba tanpa henti.

“gak tahu.. Kyle, aku gak mungkin tahu kamu mau pergi kemana kalau kamu tidak bilang. Berhentilah bermain tebak-tebakan seperti ini.” Aku mencoba melihat Kyle tanpa tertutup oleh selubung airmata. Aku benar-benar tidak tahu.. tapi kenapa aku bisa menangis seperti ini?

Kyle menempelkan dahinya ke dahiku dan menutup matanya. “aku tidak bisa kembali kesampingmu, Kay. Aku tidak bisa menemanimu lagi.”

“kau bicara apa Kyle? Sekarang kau ada didepanku, menaruh tanganmu dimukaku dan kau bilang kau tidak bisa kembali ke sampingku lagi? Itu aneh.” Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Tidak mengerti..

kyle menatap sekali lagi kearah jam dinding, sekarang sudah jam 11.55. Lima menit lagi maka hari esok berubah menjadi hari ini.

“kalau begini caranya kau gak boleh pergi Kyle. Aku gak izinin kamu pergi.” Aku balik memegang muka Kyle yang sekarang terasa… dingin? Bukan hanya mukanya, tapi juga tangannya. Seluruh badannya!

“Kyle, kamu kenapa? Badanmu dingin.. biar kupanggilkan dokter untuk mengecek.” Teriakku panic. Jantungku berdebar sekencang yang bisa dihasilkan oleh otot-otot jantungku.

Kyle mendudukanku kembali diranjang dengan kedua tangannya. Dia kembali memelukku.

“maafkan aku Kay. Sejak hari pertama aku kecelakaan, aku sudah diberitahu oleh suatu sosok, bahwa kehidupanku yang ini sudah berakhir dan saatnya untuk beralih ke kehidupan yang lain. Seharusnya aku langsung pergi hari itu, meninggalkan tubuhku sehingga ragaku akan mati total. Tapi aku tidak bisa. Aku.. aku melihat dirimu yang mengguncang-guncang tubuhku histeris hari itu. Kau tidak bisa melepasku, begitu juga aku tidak bisa melepasmu Kay. Karena itulah aku bersikap egois, mencoba mempertahankan ragaku tetap hidup walau aku tahu aku tidak akan pernah bisa bangun lagi.”

“tapi tidak kusangka keegoisanku malah akhirnya merusak hidupmu. Kau mengorbankan segalanya untukku, untuk perawatan tubuhku yang sudah tidak bisa dipakai lagi. Aku membuatmu tidak bisa maju ke masa depan, terus terikat dengan masa lalu. kau terus menangis mengharapkan aku akan membuka mataku kembali. aku menghancurkan hidupmu karena aku tidak mau berpisah denganmu.”

Aku mengencangkan pelukanku kepada Kyle. Seluruh badanku terasa sangat lemas kecuali tanganku yang sekarang sedang berpegang erat pada piyama Kyle. “Kyle.. kumohon.. jangan tinggalkan aku Kyle. Please! Aku.. aku tidak pernah keberatan terus merawatmu ditempat ini, bahkan sampai tua. Asalkan aku bisa merasakan kehadiranmu disampingku.” Ucapku terbata-bata. Isakku semakin menjadi-jadi. Tuhan, kenapa dari ratusan juta manusia yang ada didunia ini, Kau harus mengambil satu-satunya manusia yang penting untukku secepat ini? Satu-satunya matahariku, Tuhan..

Aku tidak ingin hidup ditengah kegelapan.

“lalu sosok itu kembali datang dan memberitahuku, bahwa aku diizinkan untuk berbicara denganmu selama dua jam.. untuk terakhir kalinya. Tidak kusangka ini hari ulangtahunmu. Maafkan aku Kay, harus membuatmu menangis di hari ulang tahunmu.” Kyle tidak kehilangan senyumannya walau menangis. Padahal aku tahu, dia sama sakitnya denganku. Tangannya benar-benar sudah sedingin es sekarang, kulitnya berubah menjadi semakin pucat dan putih. Tapi mata Kyle tidak kehilangan sinarnya, sinar yang selalu menghangatkan hatiku saat badai sebesar apapun menerjangku.

Giliranku yang melirik kearah jam sekarang. Jam 11.58. tinggal dua menit lagi Kyle akan pergi dan tidak kembali selamanya.

“aku gak bisa Kyle.” Aku teringat semua kenanganku bersama Kyle. Hampir tidak ada hari aku merasa hidup didunia ini tanpa Kyle disampingku. Dan sekarang aku harus merelakannya pergi. Bagaimana bisa kulakukan hal itu?

“kay.. dengarkan aku.” sekali lagi dia mencium keningku, meninggalkan jejak dingin dikulitku.

“walau matahari hilang dari langit birumu, ingatlah bahwa masih ada bulan yang membantumu melawan kegelapan. Matahari memang sudah tidak terlihat, tapi dia akan membagi sinarnya untuk bulan. Dan melalui bulanlah kau akan merasakan kehangatan matahari lagi. Matahari tidak pernah sepenuhnya hilang dari langitmu.” Aku mengerti maksud kata-kata Kyle. Dia tidak akan pernah sepenuhnya hilang dari hidupku. Kenangan akan dirinya masih tetap ada diotakku, membuatku lebih tabah menghadapi kepergiannya.

Untuk terakhir kalinya, aku mencoba menatap ke mata hijau kebiru-biruannya, langit biruku. “aku tidak akan pernah melupakan matahariku.”

Sesaaat setelah aku selesai mengatakan hal itu, tiba-tiba hpku berbunyi. Aku ingat aku memang menyalakan alarm pukul 12.00. agar aku sadar sekarang aku sudah berumur dua puluh empat tahun, lebih dewasa dari sebelumnya. Hanya sebagai keisengan belaka. Tidak kusangka suara alarm itu akan menjadi penanda perpisahanku dengan Kyle.

Tiba-tiba rasa ngantuk yang luar biasa menyerangku. Kedua kelopak mataku langsung menutup tanpa bisa kulawan sama sekali. Tubuhku terjatuh kearah ranjang begitu tanganku melepas Kyle. Tapi aku merasa tubuhku tidak langsung terjatuh kearah ranjang, melainkan kearah sebuah bahu dan dada yang bidang. Tempat kesukaanku untuk melamun dulu. Bau lemon yang khas mulai memenuhi hidungku dengan cepat. Suara serak dan sedikit tawa khasnya menjadi nina boboku untuk malam ini. “terima kasih Kay..” bisik Kyle untuk terakhir kali.

**

Aku terbangun karena panggilan dari para suster dan dokter yang sekarang mengelilingi sekitarku. Mereka ingin aku minggir dari ranjang itu memberi ruang untuk dokter mendekati Kyle. Salah satu suster memapahku pelan menuruni ranjang dan meletakkan tubuhku di sofa yang terletak di sebelah dinding.

Lalu suster itu kembali dan bergabung bersama kumpulan yang terdiri dari satu dokter dan dua suster lain disamping ranjang Kyle. Mesin yang menunjukkan detak jantung Kyle sekarang mengeluarkan bunyi juga garis datar dan rata, membuat dokter dan suster tersebut semakin panic.

Dokter mulai mengecek nadi Kyle dengan menggenggam pergelangan tangannya. Sementara ketiga suster lain mencoba mengatur infus dan selang pernafasan Kyle.

Setelah itu, dokter merangkak naik kearah tubuh Kyle, menekan dadanya dengan irama dan tenaga yang teratur. Mencoba mengembalikan nyawa ke tubuh itu lagi, atau paling tidak membuat organ-organ tubuhnya berfungsi lagi.

Aku hanya menatap kearah semua usaha dokter dan suster itu. Aku tidak bergerak, aku tidak mengeluarkan suara, bahkan menangis seperti orang-orang kebanyakan ketika menghadapi kejadian seperti ini. Aku hanya melihat dengan diam. Karena aku tahu itu semua percuma. Kyle sudah tidak ada lagi. Aku telah merelakan matahariku untuk terbenam diufuk senja.

**

aku berjalan keluar dari ruangan yang selama tiga tahun ini lebih sering kukunjungi daripada kamar Kyle. Sebelum aku menutup pintu kamar itu, aku membalikkan badanku dan menatap untuk terakhir kalinya keruangan itu. Sekarang ruangan itu sudah kosong dan siap dipakai oleh pasien lain.

Kusapa para suster dan dokter yang selama ini sudah banyak membantuku sambil memberi sedikit hadiah atas bantuan mereka selama ini. Ini adalah terakhir kalinya aku akan mengunjungi rumah sakit ini.

Aku memilih untuk mengkremasi jenazah Kyle dibanding menguburnya. Selain karena aku tidak punya uang untuk membelikannya tanah dipemakaman umum, kurasa mengkremasinya lebih sesuai dengan amanat terakhir Kyle. Dia tidak ingin aku terikat oleh dirinya.

Sekarang tubuh Kyle sudah menyatu dengan setiap tetes air yang berada didalam lautan karena aku menebarkan abu dirinya kelaut. Dia tidak akan terkekang dibawah tanah dan menderita didalam peti mati yang sangat sempit. Kyle bisa menjelajah kemanapun yang dia mau karena air laut tidak pernah berhenti disuatu tempat saja. Semoga saja jiwa Kyle bisa berlaku sebebas tubuhnya, tidak terkekang oleh apapun, bahkan diriku.

Ketika kuceritakan aku sempat mengobrol dengan Kyle selama dua jam kepada dokter, tidak ada yang percaya. Kata dokter, tidak ada tanda-tanda perubahan gelombang otak yang biasanya terjadi ketika seseorang bangun dari koma yang panjang. Dan jika memang Kyle sempat sadar pun, tidak mungkin dia bisa berbicara dan berlaku seperti orang biasa, karena otot-otot tubuhnya sudah terlalu lama tidak digerakkan.

Semua orang yang kuceritakan hal itu bilang aku hanyalah bermimpi, khayalan yang dibentuk otakku karena terlalu mengharapkan Kyle kembali sadar.

Tapi aku tetap percaya. Itu semua bukanlah mimpi. Pelukan itu, ciuman itu, air mata itu, semua itu terlalu indah dan rumit untuk diciptakan oleh sebuah otak manusia saja.

Lalu ketika aku terbangun dihari itu, diseluruh tubuhku tercium wangi lemon yang lembut dihidung menutupi setiap jengkal tubuhku seakan seseorang memelukku erat semalaman sehingga wangi tubuhnya menempel didiriku. Wangi lemon milik Kyle dulu.

Biar orang lain mempercayai apa yang ingin mereka percayai, sementara aku mempercayai, yang terjadi malam itu adalah sebuah hadiah luar biasa dari Tuhan untukku dan Kyle.

--

--

Natasha Chen
Natasha Chen

Co-Founder of Ascendio Foundation. Just a Young Girl who loves tech.