Cara mengukur usability produk menggunakan framework 5E “Ease of Use”

Sabrina Anggraini
Natuno
Published in
6 min readFeb 2, 2021

Mengukur kegunaan dan menentukan parameter keberhasilan pastinya akan menjadi hal unik bagi setiap produk. Kita bisa menggunakan beberapa framework untuk menjadi guide dalam memetakan ulasannya. Mungkin istilah “Ease of Use” tidak asing sebagai cara lain untuk mengukur kegunaan. Bagaimanapun juga, istilah ini terkesan seperti mempersingkat proses karena kurang memberi arahan yang bisa diterapkan para desainer. Dari sini, kita justru bisa mengembangkannya menjadi 5E; Effective, Efficient, Engaging, Error Tolerant, dan Easy to Learn.

Bagaimana sebenarnya cara kita menerjemahkan 5E ini menjadi parameter yang jelas? Kita butuh menyadari kalau tidak ada yang namanya ukuran universal karena apa yang menjadikan ‘ease of use’ di aplikasi untuk mengelola Human Resources bisa berbeda dari platform streaming untuk hiburan.

Di Natuno, kami percaya bahwa desain produk yang bagus butuh menyentuh parameter keberhasilan yang nyata maupun jelas. Jadi lewat artikel ini, kita bisa menyelami tentang bagaimana setiap ukuran di framework 5E bisa diterjemahkan dalam konteks yang nyata.

Source: stem T4L https://unsplash.com/photos/-PnSpCHYKsw

Source: stem T4L https://unsplash.com/photos/-PnSpCHYKsw

1. Effective (Efektif)

Salah satu istilah yang awalnya tampak ambigu, adalah perbedaan dari efektif dan efisien. Pada akhirnya, tidak begitu susah untuk memahami kalau keefektifan fokus pada apakah user bisa berhasil menyelesaikan tugasnya, sementara efisien lebih fokus kepada bagaimana tugas ataupun tujuan tersebut yang telah berhasil bisa digapai.

Di samping mengukur keefektifan dengan mengamati apakah tujuan user dipertemukan hingga berhasil, kita juga butuh mengukur apakah semua pekerjaannya sudah benar atau belum. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan menilai mana eror yang sifatnya kritis dan non-kritis.

Source: Erick Mclean@Unsplash https://unsplash.com/photos/Rg-fYTQ5Rgw

Eror yang bersifat kritis terjadi ketika user gagal menyelesaikan pekerjaan maupun tugas yang perlu dilakukan dengan app. Sementara eror yang bersifat non-kritis adalah beberapa selipan yang mungkin dijumpai user dalam perjalanan mereka untuk berhasil.

Ini adalah contoh dari parameter yang ditemukan di platform tertentu:

  • User bisa menyelesaikan registrasi dengan lancar dalam waktu kurang dari 3 menit
  • Kurang dari 5% dari total pelanggan mengalami eror ketika booking yang kemudian harus mereka follow-up mandiri dengan menghubungi staf.

2. Efficient (Efisien)

Source: Leon Liu @Unsplash https://unsplash.com/photos/YlfHkHC4s4k

Dalam hal efisien, kita fokus pada bagaimana user bisa mengerjakan maupun menyelesaikan tugas apa tidak. Ini bisa diukur dari total waktu atau kecepatan yang dibutuhkan.

Untuk memfasilitasi ini, kita bisa menggunakan komponen desain seperti menu navigasi yang bisa membantu user menavigasi apa yang mereka cari dengan lebih baik. Contohnya, dalam platform yang bersifat sebagai penyedia info atau pengetahuan, penambahan potongan informasi atau snippets juga akan membantu user untuk mengakses platform dengan lebih mudah tanpa harus bolak-balik.

Ini adalah contoh dari parameter yang ditemukan di platform tertentu:

  • Pengguna merasa bahwa app untuk registrasi asuransi lebih cepat dan mudah, dan akan memilih metode ini daripada harus mengisi form secara manual yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam.

3. Engaging

Source: Meghan Schiereck@Unsplash https://unsplash.com/photos/_XFObcM_7KU

Fase ini mungkin lebih tidak terlihat, ini justru adalah bagian dimana sebuah interface bisa mengundang. Hal yang mengundang dari produk dapat diketahui dari wujud yang tampak jelas seperti visual interface atau grafis. Sebagai perbandingan, elemen yang lebih halus untuk diidentifikasi bisa datang dalam wujud motion atau penggabungan informasi.

Desain motion dapat berperan untuk menunjukkan progres dan pergerakan, sedangkan penggabungan informasi bisa memudahkan user untuk melihat informasi secara sepintas, sehingga menyenangkan bagi user dan memungkinkan mereka untuk lebih terlibat dengan platform.

Konteks dari “Engaging” itu sendiri juga berbeda di setiap produk. Karena SaaS yang digunakan berkali-kali akan terasa berbeda dari website e-commerce yang hanya digunakan sesekali.

Source: Mindspace@Unsplash https://unsplash.com/photos/V71Rm_eEmTE

Contohnya, di Google, mereka memberimu kegiatan untuk bermain dengan dinosaurus ketika kamu sedang menunggu halaman loading. Dalam contoh sebuah artikel berita, kamu bisa memberikan para pembaca semacam komponen “estimasi waktu baca” dan menyediakan bar yang menunjukkan progres untuk membantu user mengestimasikan seberapa lama atau banyak lagi yang butuh diselesaikan.

Walaupun tanda-tandanya tidak sepenuhnya tampak, bukan berarti parameternya sepenuhnya subjektif.

Ini adalah contoh dari parameter yang ditemukan di platform tertentu:

  • Setidaknya 80% dari pelanggan mengekspresikan kenyamanannya dengan melihat home venue sebelum benar-benar mengunjungi pameran.
  • Kurang dari 10% jumlah pembaca keluar dari situs artikel dalam waktu kurang dari satu menit karena meningkatkan pengalaman membaca mereka.

4. Error tolerant (Toleran terhadap eror)

Source: Markus Spiske@Unsplash https://unsplash.com/photos/QLfAIfKFyew

Di kenyataan, eror ataupun kesalahan dapat dicegah. Kecil kemungkinannya jika sebuah produk bebas dari eror 100%. Sekarang pertanyaannya ganti; bagaimana kita menerapkan strategi manajemen risiko terhadap user experience itu sendiri?

Langkah pertama adalah untuk membayangkan segala skenario yang mungkin terjadi dan mendesain halaman eror sebagai bagian interface. Kedua, perlu dicatat bahwa desainer tidak mungkin bisa membayangkan segala kemungkinan skenario kasus saat user mungkin mengalami eror.

Toleransi terhadap eror ini dibagi menjadi dua bagian, pencegahan eror, dan recovery.

Ini ada beberapa prinsip untuk mencegah eror:

  • Membuat sulit untuk mengambil langkah yang salah.
    Ini adalah peran copywriter untuk memastikan kita menggunakan bahasa lugas dengan sedikit jargon yang bersifat teknis. Atau bahkan usaha dari desainer UI untuk mendesain tombol yang bisa dibedakan antara satu dengan lainnya.
  • Membuat sulit untuk mengambil langkah yang tidak valid.
    Contohnya, dalam bentuk entry data, kita bisa melakukan ini dengan memberikan contoh entry data yang ideal. Dalam bentuk perkalian, kita bisa mengurangi pilihannya dan hanya menyediakan entry navigasi yang sesuai.
  • Membuat sulit untuk mengambil langkah kembali.
    Kita bisa menyediakan kemampuan untuk melacak kembali, seperti ‘undo’ atau adanya ‘history’ berfungsi untuk melihat apakah kita bisa kembali ke situasi sebelumnya.

5. System errors in action (Kesalahan sistem)

Sebuah sistem yang eror itu di luar kontrol interface. Apa yang bisa kita lakukan selanjutnya adalah memfasilitasi user untuk bisa pulih dari eror itu.

Ini ada beberapa prinsip dari pemulihan eror:

  • Arahkan user untuk melalui proses pemulihan dari masalah
    Kita bisa belajar ini dari pramugari ketika mereka memfasilitasi penumpang di situasi yang tidak diinginkan.
  • Berikan cara yang mudah diakses untuk mencegah eror. Contohnya, sediakan sebuah tombol untuk membalik langkahmu di lokasi yang mudah dijangkau.

Contoh toleransi pada eror yang bagus:

  • Error prevention (pencegahan eror): Sistem akan memvalidasi pilihan tempat tinggal, makanan, dan tutorial dan memungkinkan pengguna konfirmasi harga untuk pilihan ini sebelum menyelesaikan registrasi.
  • Error recovery (Pemulihan eror): G-mail memungkinkan user untuk ‘unsend’ e-mail mereka setelah 5 detik.

6. Easy to learn (Mudah dipelajari)

Source: Kelly Sikkema@Unsplash https://unsplash.com/photos/iu3MkDoQXDM

Ini cara kita mengurangi kompleksitas, atau penghalang dari entry untuk menggunakan produk.

Kadang ketika kita berbicara tentang belajar, kita seringkali mudah menyimpulkan kalau kita bisa memecahkan masalah dengan menyediakan halaman onboarding dan tooltips.

Ketika itu bisa membantu, kita butuh memastikan kalau user interface bisa menjelaskan bagaimana caranya bekerja. Kita butuh mempertimbangkan kalau produk akan memberi scale, memperluas fitur, atau bahkan memperluas basis pengguna, jadi ada baiknya mendesain user interface yang cukup jelas.

Kita bisa menggunakan ini dengan menenggelamkan diri dalam prediksi. Ini bisa terjadi dengan menggunakan pola interaksi yang tidak asing, tidak memasukkan terlalu banyak pola interaksi untuk fungsi yang serupa.

Metode lainnya adalah membuat bagian ‘support’ atau ‘help’ mudah diakses. Sedia kontrol di lokasi yang sudah ada di benak user.

Contoh dalam mengelola eror dengan baik:

  • User akan bisa membuat katalog e-commerce tanpa membutuhkan instruksi eksternal atau layar berisi bantuan.

Ketika framework bisa membantu, cara terbaik adalah untuk memposisikan dirimu di luar sana. Tentunya dengan harapan kita bisa mengartikan framework ini sesuai konteks produk.

--

--

Sabrina Anggraini
Natuno
Writer for

Design x Travel · Interaction Designer · Sharing stories about Indonesia & the world in theclassicwanderer.com