01 Only Yesterday — Studio Ghibli

V. Wenno
Nawalaprana
Published in
2 min readMay 16, 2020

--

Shot from Netflix

Akhir-akhir ini emosiku diutak-atik dengan cerita dari Studio Ghibli. Aku kira film-film garapannya membuatku bertanya tentang jati diri, kerendahan hati, ataupun moralitas.

Aku merasa jungkir-balik saat menonton Only Yesterday. Selain karena karakter Taeko Okajima yang berusia 27 tahun, polemik keluarganya ataupun kegemaran berkebun di desa sangatlah mengusikku. Aku menyukai alur cerita Taeko dewasa yang cemas akan masa depannya karena Taeko kecil.

Taeko kecil menyajikan pengalaman geli dan jenaka saat remaja. Aku tertawa melihat gelagat Taeko dengan cinta monyetnya, belum lagi teman-teman yang jahil mengerjainya.

Lalu ada cerita unik tentang menstruasi. Dulu saat aku masih di sekolah dasar, menstruasi menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Kami perempuan akan berbisik, dan menjadi malu jika diketahui laki-laki. Belum lagi perempuan yang saat itu sudah menstruasi akan dikucilkan, disebar berita hoaks tentang perubahan tubuhnya, bahkan dijauhkan oleh teman.

Perkara keluarga yang dimiliki Taeko terlihat sederhana tapi terasa realis. Saat Sang Ayah menamparnya karena Taeko melakukan perihal yang tidak disukai Ayahnya, aku hampir saja menangis. Dulu aku pernah membelot dan balik menanyakan alasan papaku melarangku, lalu aku diberikan jawaban dengan tamparan di wajahku.

Saat Sang Ayah yang memegang kendali semuanya, bahkan mimpi Taeko untuk berlakon tertahan Ayahnya. Aku juga sering tidak diizinkan ini-itu. Aku awalnya sempat dilarang untuk kuliah di Bandung, saat sekolah dulu aku selalu mengikuti lomba secara diam-diam. Mungkin papaku juga tidak tahu kalau aku pernah lolos tes masuk di STIS.

Taeko dewasa menyajikan problematika (baca: drama) khas usia 20-an. Mungkin jika Taeko masih kuliah akan diawali dengan pertanyaan kapan wisuda dulu ketimbang kapan nikah oleh keluarganya. Selain itu, Taeko juga merasa baik-baik saja dengan pekerjaannya, walaupun sebenarnya dia lebih menyukai berkebun.

Fragmen yang mengusikku adalah ketika Taeko menyukai tinggal di desa, namun belum secara permanen. Bahwa karir dan kehidupannya di Kota lebih sesuai untuk dipilih ketimbang berhuni di tempat yang dia sukai itu. Apakah tinggal di desa hanyalah menjadi pelipur lara dan bukan bentuk dari kehidupan konstan? Pertanyaan itu lalu terlintas di kepalaku.

Aku merasa keresahan Taeko relevan dengan drama orang dewasa saat ini. Bahwa mimpi adalah privilese untuk digapai, bahwa menjadi dewasa adalah hal yang menyebalkan, bahwa kita lalu dipaksa untuk menikmati kedewasaan itu.

Adegan favoritku adalah raut wajah Taeko saat mengingat masa kecilnya. Respon orang lain yang mendengar ceritanya malah bersyukur bahwa masa kecilnya lebih baik dibandingkan Taeko. Namun aku melihat keceriaan di wajah Taeko, seolah-seolah yang berlalu mengajarinya bagaimana caranya Taeko hidup hingga saat ini.

Selain kisahnya yang menarik, animasi dan alunan lagu yang disajikan juga memanjakan untuk ditonton.

Depok-16 Mei 2020

--

--

V. Wenno
Nawalaprana

Pikiranku menetapkan ilusi belaka. Aku suka Kamu, Sunyi.