#2 Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan

V. Wenno
Nawalaprana
Published in
3 min readSep 30, 2019

Sulit rasanya meluangkan waktu membaca buku saat media lain tampak lebih ringkas dan menarik dalam mengemas suatu konten. Buku kedua yang Saya baca tidak termasuk dalam booketlist kemarin karena Saya baru saja membeli buku tersebut saat berjalan-jalan ke Kineruku. Buku ini merupakan tulisan salah satu jurnalis favorit Saya setelah Andreas Harsono. Cak Rusdi panggilannya.

Saya mengenal Cak Rusdi pertama kali setelah membaca buku berdongeng sufi miliknya yang berjudul “Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya”. Setelah membaca buku tersebut, Saya mendapat kabar bahwa beliau telah wafat karena terserang penyakit. Buku kedua beliau yang Saya baca diterbitkan setelah beliau meninggal.

Dalam kata pengantar buku ini, kita akan diberikan suatu akar masalah dari jurnalistik di Indonesia yang diperoleh dari kritik terhadap media di Indonesia, seperti;

1. Gagalnya publik dijangkau secara umum dan media secara khusus.

2. Minimnya tradisi kritik-autokritik pada pekerja media.

3. Tendensi anti-kritik dari jurnalis dan pekerja media.

Buku ini secara garis besar mendeskripsikan terkait ensiklopedia yang dimiliki oleh Cak Rusdi setelah 25 tahun bergelut di dunia jurnalistik. Ensiklopedia sederhana itu diuraikan menjadi 38 artikel yang ditulis beliau dari tahun 2007–2016.

Menurut Saya, buku ini merupakan refleksi dalam dunia jurnalistik seperti catatan milik Andreas Harsono yang dibukukan dengan judul Agama Saya Adalah Jurnalisme pada tahun 2010.

Dalam cerita terkait kompas dan Jacob Oetama, terdengar nama jurnalis lawas bernama Jus Soema Dipraja. Jus menentukan sikap penentangan permintaan maaf kompas terhadap pemerintah untuk tetap dapat terbit kembali. Sikap tersebut menurut Jus melanggar etiket pers sebagai watch dog. Jus pun memilih keluar dan berhenti dari kariernya sebagai jurnalis, Dia merasa sudah tidak tertarik terhadap dunia media yang penuh kemunafikan pada masa silam.

Pada pembahasan awal, mulai masuk terkait permasalahan pertama. Profesi sebagai jurnalis mengalami krisis kepercayaan oleh publik di berbagai belahan dunia. Survei yang di langsungkan Gallup di Amerika Serikat wartawan berada pada peringkat ke 6, di Selandia Baru berada pada urutan terakhir dari 10 profesi yang dipercaya publik dan The Huffington Post Canada wartawan berada pada urutan ke 25 dari 35 profesi.

Ketidakpercayaan terkait hadir karena ditikam oleh wartawan itu sendiri. Media menjadi pabrik kerupuk dan wartawan, sekilas tampak seperti pembunuh bayaran sebab dengan sukarela menjadi tumbal kepentingan tertentu.

Pada buku ini, terdapat beberapa bahasan terkait Freeport dan LPDS, Krakatau Steel yang ingin diakuisisi Archelor-Mittal serta politisasi lainnya yang dilakukan oleh wartawan ataupun pimpinan redaksi. Seperti kata Kwee Hin Houw, bahwa opini harus lain dengan berita. Menulis berita bukan okupasi wartawan karena berhak berpendapat, namun menyajikan kebenaran yang universal.

Berikut terdapat istilah-istilah yang dikenalkan:

  1. The clicking monkeys, menurut Daru Priyambodo (Pimred Tempo.co pada masanya) adalah julukan untuk orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk menyebarluaskan hoax ke sana-kemari, me-retweet, ataupun memuat ulang di media sosial”. Namun, pada dewasa ini sang clicking monkeys bukan hanya berasal dari pembaca namun sudah menjangkiti pewarta kini.
  2. Kloning, istilah untuk menyebut kelakuan wartawan yang saling tukar-menukar catatan liputan.
  3. Kredibilitas, akurasi dan verifikasi merupakan poin penting lainnya yang perlh diperhatikan dalam menulis berita.
  4. Brand jurnalistik, merupakan istilah ketika wartawan diundang dan dibiayai oleh sebuah perusahaan.

(Ditulis 20 Desember 2018)

--

--

V. Wenno
Nawalaprana

Pikiranku menetapkan ilusi belaka. Aku suka Kamu, Sunyi.