Bulek Bali

V. Wenno
Nawalaprana
Published in
3 min readSep 17, 2017

Pernah tidak kalian bertemu dengan bule tampan dari Prancis yang menatapmu seperti ingin memakanmu? Atau, bertemu dengan bule dari Belanda yang meminta izin ketika meminta untuk menciummu?

Inilah sedikit pengalamanku di Bali bersama bule.

Perjalanan ke Bali adalah perjalanan yang serampangan. Tidak direncanakan dan menyenangkan. Awalnya ke Bali karena diajak teman kenal di Kampung Inggris, Berlin. Kami menuju Bali dengan bermodal nekat, ingin ketemu bule. Haha.

Di Bali, yang kusuka adalah selalu ada cerita yang tidak biasa di tempat ku tumbuh. Melihat bule mabuk bugil, di cat-call warga lokal padahal pakaian bule lebih terbuka dari pada Aku, duduk di pantai sebelum shubuh, ataupun digonggong anjing tengah malam.

Aku pun terbiasa tidur pagi. Karena malam di Bali sangatlah indah untuk dilewatkan.

Di Bali, pengalamanku yang paling nyata adalah berkomunikasi dan observasi tentang bule. Aku sempat mengamati mereka lekat-lekat. Bule, sekarang aku mendefinisikan mereka sama seperti manusia umumnya. Spesialnya, mereka tidak seperti yang selalu didoktrin.

Malam itu Aku dan Berlin akhirnya beranjak ke suatu tempat ramai. Aku menyukainya. Sendiri diantara asing yang tak menyapa sungguhlah nyaman.

Di tempat itu Aku sempat mengamati berbagai letak, dan akhirnya menjatuhkan hati kepada ruang di atas gedung. Aku pun melihat bule berdansa dan berkenalan. Tak sedikit bule lokal bersanding bersama mereka.

Bule, ternyata ada yang tidak tampan juga. Ada yang nakal, ada pula yang sopan.

Amat jarang bule yang memilihku, mereka umumnya mencari perempuan “eksotis” di Bali. Namun, ada seorang yang memerhatikanku sejak tadi di lantai dansa.

Berkemeja, celana, dan sepatu.

Ciri bule kaya berlakon.

Kami pun berkenalan, Eric namanya. Dari Prancis. Dia lebih muda dariku, namun pakaiannya sangat necis untuk bergaya ke tempat receh. Dia mengajakku untuk menari dan mengajarkanku cara menari. Matanya tidak lepas dariku, tiap ada lelaki yang mendekat, Dia secara halus berlagak. She is mine.

He is so humble, even wilder than I got.

Malam itu, akhirnya lewat hingga pukul 4. Temanku sudah bertemu dengan teman barunya, Aku pun pulang dengan langkahku ke hotel menyusuri petak Legian.

Namun sepi.

Tidak ada kendaraan online dapat menyusuri jalan itu. Jarang sekali ditemui orang di jalan. Seperti biasa sok berani.

Lalu tiba-tiba ada seorang bule yang membuatku takut. Dia selalu menengok ke belakang, ke arahku. Lalu Berhenti tepat di sebelahku membuatku ingin lari.

But actually, he said. “I’m sorry scared you. May I be with you at your hotel? I don’t like to see a woman walking alone in the middle of the night.”

Dia. Si bule belanda yang dipanggil Bruce oleh murid ski nya di skotlandia. Dulunya Bruce adalah seorang mahasiswa teknik industri. Sebuah kegemaran bagiku, yang ingin melanjutkan studi di Belanda untuk bertanya kepadanya.

Dia bercerita tentang mantannya, yang seasal denganku. Bruce juga bercerita tentang dua anjing di rumahnya. Atau tentang neneknya yang sekarang sedang berlibur seorang diri.

Saat Aku takut karena digonggong anjing, Dia malah menjinakkannya dengan memerintah anjing tersebut untuk duduk.

Sampai ketika kita berada di jembatan. Dia mengatakan dengan halus padaku, “Can we have a kiss?”

Dengan kaget bercampur wajah ingin menahan tertawa karena masih terbata bertutur inggris, aku mengatakan “I’m sorry, tonight is not the right time.”

Namun, Dia dengan gagahnya tetap mengantarku ke tempatku menginap walaupun sudah ditolak untuk bercumbu.

Bruce adalah representasi the real man versi bule bagiku.

Aku mengingatnya.

(IMG, 17 September 2017)

--

--

V. Wenno
Nawalaprana

Pikiranku menetapkan ilusi belaka. Aku suka Kamu, Sunyi.