Manusia itu Bernama Pelacur

V. Wenno
Nawalaprana
Published in
1 min readMar 3, 2017
The battleground You don’t see

Pelacur, identik dengan perempuan tidak baik-baik yang menyambung hidupnya melalui jual raga. Diskriminasi makna sudah berlangsung hingga kini, tanpa ada kepedulian sosial.

Sebuah ironi bahwa perempuan yang menjual tubuh lebih hina daripada Koruptor yang menghisap keringat rakyat, lebih laknat dibanding pekerja cabul lainnya yang menjajakan kehormatannya (baca: kejujuran dan keadilan) sebab serakah.

Pembedaan makna, menjalar kepada perilaku terhadap perseorangan. Beliau diperbolehkan untuk menerima cercaan sosial, dipertanyakan moralitas, bahkan ditolak agama. Lamun pekerja lain, tidak.

Pelacur itu terseok menerima ketidaksetaraan itu.

Ketidaksetaraan yang adalah hal remeh, namun sangat berdampak pada individu. Hal ini yang perlu dicamkan. Ketidakadilan yang berawal dari makna, bereaksi pada ketidakadilan lainnya. Entah itu sikap, bahkan dinasti sosial sudah mulai mencemooh.

Taburan kesetaraan ini, bukan hanya sekedar kata belaka. Kesetaraan ini akan memburu di tiap sikap dan situasi.

Satu lagi.

Menebarkan kesetaraan bukan berarti mengudeta, hanya manusia bermental tamak yang takut dengan ini.

Sedikit akhir kata.

Bukan berarti Pelacurmu hanya berlabel perempuan, bukan berarti Perempuanmu harus menjaga riasannya, bukan berarti hanya Ibumu yang harus bertekuk lutut.

Bukan berarti kamu pula harus mengindahkan ketidakadilan.

Got it?

(Bandung, 3 Maret 2017)

Ah sudah lama rasanya belum menulis, rindu mulai meluap.

--

--

V. Wenno
Nawalaprana

Pikiranku menetapkan ilusi belaka. Aku suka Kamu, Sunyi.