513 Hari

Mario Hartanto
Nekropolis
Published in
3 min readAug 17, 2021
Photo by Gabriella Clare Marino on Unsplash

Masih teringat jelas, 16 Maret 2020 yang lalu, ketika raga sedang bersama dengan teman-teman di kampus tercinta. Menikmati candaan, jajanan kantin, hingga memuaskan diri mengabadikan momen sebelum pulang ke daerah masing-masing. Masih teringat janji bahwa dalam jangka dua minggu kita akan bersama-sama lagi menikmati Ayam Lodho di kantin tercinta. Siapa sangka pembatasan yang awalnya diperkirakan hanya dua minggu menjadi hampir dua tahun berlalu?

Tidak akan berbohong, memang sulit menghadapi hari-hari ketidakpastian seperti sekarang ini. Semuanya berubah begitu cepat sebelum diri mampu menyadarinya. Ada banyak refleksi yang berhasil saya renungkan selama 513 hari di masa pandemi ini. Beberapa di antaranya, saya ceritakan dalam tulisan ini.

Privilese itu nyata

Dari sejak sibuk mengaduk Dalgona hingga kini berlomba mencetak Croffle, banyak dari kita mendengar kabar kehilangan yang menghantui. Mulai dari kehilangan mata pencaharian dan penghasilan, hingga orang tercinta yang dipanggil kembali kepada-Nya mendahului kita semua. Sulit membayangkan bagaimana dapat bertahan di situasi seperti mencengangkan ini. Privilese pun semakin terasa ketika hanya segelintir orang yang dapat menikmati akses tertentu. Bangun pagi di ruangan ber-AC, makan siang dengan nasi dan kari ayam, serta melakukan kegiatan tanpa halangan konektivitas merupakan hal yang seharusnya benar-benar disyukuri.

Sendiri tak berarti sepi

Seiring pembatasan jarak fisik yang menjadi kewajiban, kebutuhan emosional dengan sesama menjadi sulit terpenuhi. Kesulitan interaksi langsung dan dangkalnya interaksi daring membuat diri semakin merasa terisolasi. Di sisi lain, jauhnya jarak dengan individu lain nyatanya justru mentdekatkan jarak dengan diri sendiri. Waktu-waktu ini pun pada akhirnya banyak digunakan untuk berefleksi dan berdialog dengan diri sendiri. Selain itu, gerakan #DiRumahAja membuat kita sadar akan hal-hal yang lebih esensial seperti kesehatan mental diri sendiri, komunitas, bahkan lingkungan. Momen ini juga membuat kita belajar untuk lebih menghargai kehadiran orang-orang terdekat.

Struktur yang esensial

Kehidupan yang serba daring di masa pandemi ini membuat kita terlupa akan batasan-batasan yang seharusnya ada. Jika pada umumnya kita terbiasa dengan mobilitas yang menandakan batasan hari, sekarang mudah untuk merasa bahwa hari tidak ada habisnya. Batasan menjadi kabur. Keletihan emosional walaupun tubuh tidak banyak bergerak, muncul tak terhindari. Oleh karena itu dibutuhkan struktur dalam keseharian kita sebagai penanda bahwa manusia juga memiliki batasan. Membangun rutinitas seperti berolahraga di pagi hari, menerapkan conscious eating tanpa distraksi gawai, hingga merefleksikan perasaan di ujung hari. Menghadirkan struktur regulasi emosi pun menjadi mudah untuk bertahan di rutinitas ini.

Jangan terlena dengan media

Selain menghadapi bencana pandemi, saat ini kita juga menghadapi wabah infodemi, keadaan dimana persebaran informasi menjadi (terlampau) berlimpah [1]. Banyaknya terpaan informasi ini justru membahayakan,karena menimbulkan kekacauan seperti misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Hal-hal menjadi kabur seiring banyaknya paparan di media yang terus menghantui kita selama dua empat per tujuh.

Berbagai opini pun menghantui kita tanpa kita dapat mencerna sepenuhnya terlebih dahulu. Belum lagi harus menghadapi terpaan berita bohong dan menggiring ke arah substansi tertentu. Seperti jahe yang bisa menyembuhkan COVID-19, konspirasi bahwa pandemi ini hanyalah akal-akalan elit global, dan masih banyak lainnya. Maka dari itu, diperlukan sikap kritis dan tidak mudah terlena atas apa yang dipaparkan media. Memang bukan hal mudah, tetapi hal ini dapat dilatih dengan selalu bersikap ingin tahu terhadap informasi yang diterima.

Masih banyak lagi refleksi yang diamini selama 513 hari. Sampai tulisan ini dibuat, keadaan masih belum pasti. Pembatasan kegiatan masih terus diperpanjang, tingkat kasus harian masih tinggi, dan banyak orang memerlukan uluran bantuan.

Terlepas keadaan yang sedang dijalani, percaya akan adanya hari-hari baik ke depannya bukan hal yang terlalu naif untuk diyakini ‘kan?

Mario Hartanto, Kajian Media UI 2019

[1] Infodemi Covid-19 di media SOSIAL dan Tiga langkah untuk Menangkalnya. TularNalar. (2021, Juni 18). https://tularnalar.id/infodemi-covid-19-di-media-sosial-dan-tiga-langkah-untuk-menangkalnya/.

--

--

Mario Hartanto
Nekropolis

an ENFP and wondrous soul. I’d love to connect with new people and sharing some stories. Find me on Instagram! (@mariohartanto)