Liputan
Asimetris: Kerusakan Lingkungan, Korporasi, dan Tentang Diri Kita Sendiri
Pemutaran dan Diskusi Film Dokumenter Asimetris (2018)
Oleh: Fildzah Husna Amalina
Di sebuah sore tanggal dua puluh yang hangat, kalau tidak dibilang gerah, sekumpulan mahasiswa berjumlah tidak kurang dari seratus orang memadati Ruang Diskusi Lantai 2 Perpustakaan Fakultas Teknik UGM. Nekropolis bekerja sama dengan Social Movement Institute menggelar layar nonton bareng sekaligus diskusi film dokumenter karya Watchdoc terbaru: Asimetris.
Film yang berdurasi sekitar satu jam ini mengangkat isu konflik lahan sawit di Kalimantan dan Sumatera serta pencemaran lingkungan yang seolah menyertainya. Film ini tidak hanya menyoroti dampak perkebunan sawit dari dekat terhadap lingkungan dan warga setempat, namun juga pengaruh industri sawit di pemerintahan, media, bahkan di diri kita masing-masing dalam keseharian; di dapur, di kamar mandi, dan kendaraan. Menyoroti industri sawit tentu wajib mempertanyakan: “Siapa yang sesungguhnya paling diuntungkan darinya?”
Setelah pemutaran film, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi mengenai isu ini bersama Melki dari Social Movement Institute (menggantikan Eko Prasetyo yang berhalangan hadir), Adi dari Walhi Jogja, dan dimoderatori oleh Dzikri Rahmanda.
Meskipun disebutnya tidak ada kebaruan dalam film ini dan informasi yang disajikan cenderung dangkal, Melki dari SMI memuji dokumenter ini sebagai upaya menyebarkan pengetahuan mengenai isu sawit ini dengan cara yang lebih ringan dan populer dan upaya ini justru yang penting dari Asimetris. Pun sebagai aktivis pergerakan, Melki juga menyoroti kegiatan aktivisme mahasiswa kini yang cenderung hanya mengangkat hal tertentu.
“Pembukaan lahan sawit besar-besaran seperti memperkosa alam. Ini memperpendek masa bertahan kita di alam ini, dan merupakan ancaman serius. Fenomena ini membutuhkan bantuan dari kawan-kawan. Kawan-kawan (mahasiswa) ini seharusnya tidak eksklusif hanya memperjuangkan fenomena-fenomena tertentu.” — Melki
Sementara Adi dari Walhi Yogyakarta, mengingatkan kembali bahwa fenomena ini adalah konsekuensi Indonesia sebagai ‘negara berkembang’. Dimana hasil alam dan tenaga manusia diperas untuk kepentingan korporasi. Menambahkan Melki, ia juga menyatakan bahwa kampus dapat ikut melibatkan diri dalam gerakan-gerakan untuk merespons masalah lingkungan seperti ini.
“Perjuangan agraria tidak bisa diselesaikan dalam 1–2 tahun, hanya dengan aksi dan sebagainya, karena kenyataannya permasalahan ini sangat rumit. Perjuangan ini (isu agraria) adalah perjuangan dengan nafas yang sungguh panjang. Kita lah yang seharusnya menjaga nafas tersebut untuk mengawal perjuangan.” — Adi
Pada akhirnya, selain perlunya pengetahuan dan aksi langsung, salah satu peserta juga menekankan upaya yang juga penting yakni mengampanyekan gaya hidup ramah lingkungan. Fenomena industri sawit juga melibatkan kita sebagai konsumennya. Apalagi kalau bukan menciptakan demand yang makin besar. Karenanya, salah satu cara sederhana yang bisa kita lakukan adalah kembali kembali ke gaya hidup yang tidak merusak alam.
Pemutaran film ini didukung oleh 20 lembaga, yakni:
- BEM KM UGM 2018
- BEM KMFT UGM
- LEM FKT UGM
- Komunitas Catatan Kaki
- HMI Komisariat FISIPOL UGM
- HMI Komisariat Teknik UGM
- HMT PWK UGM
- MAPAGAMA
- Gadjah Mada Agrarian Movement
- Klub Fiagra
- LPKTA FT UGM
- Gema Pembebasan UGM
- KAMMI UGM
- Front Mahasiswa Nasional (FMN) UGM
- FPCI UGM
- SCCF UGM
- Bulaksumur UGM
- BPPM Balairung
- Clapeyron
- Entropi
Yang kepada semuanya kami ucapkan terima kasih.