Banalitas Feminisme di Ruang Kota

Gehitto
Nekropolis
Published in
4 min readNov 16, 2017
Jane Jacobs (kanan) dan Robert Moses (kiri). Sumber gambar: tautan

Suatu lelucon jika seseorang feminist, dalam diskusinya, tidak memperbolehkan laki-laki masuk untuk ikut dalam berdiskusi dalam sebuah panel festival sastra di Bali Oktober 2017 lalu. Sepertinya feminisme bukan lagi sebuah gerakan berbasis gender dan kemanusiaan, tetapi beberapa sudah melancong jauh bahkan ekstrem yang tidak berdasar.

Teman saya mengatakan feminisme kini bukan lagi sekedar gerakan, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Namun sayangnya hanya berputar ditataran diskusi yang itu-itu aja, pada prakteknya mereka tidak benar-benar menampilkan nilai-nilai tersebut, atau bahkan cenderung seksis dan salah langkah.

Artikel-artikel di media sosial belakangan juga selalu mengkaitkan sesuatu dengan gender. Mungkin karena dianggap mampu mendongkrak jumlah pembaca dan debatable. Dua tahun lalu saat Zaha Hadid membuat Stadion Al Warkah yang di bandingkan dengan bentuk vagina perempuan juga menjadi perdebatan yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Karena kebetulan Zaha Hadid adalah seorang perempuan, kemudian karyanya dianggap salah satu bentuk manifesto feminisme.

“Apakah semua yang saya buat berlubang selalu dikaitkan dengan vagina?” Tegas Zaha Hadid saat itu.

Mungkin kini memang feminisme sudah menjadi gaya hidup, bicara gender menjadi begitu seksi namun tidak berdasar di tengah kenyataan pahit masih banyaknya penindasan berbasis gender yang memang harus benar-benar dihapuskan adalah sesuatu yang tercela.

Tiga hari lalu dalam diskusi yang diadakan sebuah media publikasi diskusi independen Nekropolis dan Komunitas Merah Muda Memudar, membicarakan tentang hak-hak perempuan di dalam kehidupan kota. Hal ini berangkat dari kesadaran hegemoni maskulinitas di ruang publik kota itu benar adanya.

Diskusi ngalur ngidul, tidak ada benang merah yang jelas menyulitkan saya menangkap arah diskusi. Saya datang dengan keingintahuan akan pengaruh ruang kota dengan gender (dalam hal ini perempuan), namun saya tidak mendapatkannya. Pikiran saya terus dipenuhi pertanyaan yang tidak terjawab. Isu ini sudah banyak dibahas di jurnal-jurnal international sampai tataran pameran atau pertunjukan seni dan sastra dengan wacana gender sebagai topiknya. Namun saya tidak pernah benar-benar yakin bersuara mengenai bahasan gender dan ruang kota. Terlalu banyak bias dan hal yang harus saya pelajari sebelum membahas tentang topik ini.

Seperti hidup dalam paradoks di dalam paradoks. Saya sering bertanya-tanya, hubungan antara banyaknya perempuan dalam komposisi jurusan kampus saya yaitu Departemen Arsitektur dan Perencanaan. Dibandingkan dengan jurusan lain, di Fakultas Teknik, jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM memiliki komposisi jumlah mahasiswi yang lebih banyak dari jumlah mahasiswa. Perbandingannya bisa mencapai 1:3 dalam satu angakatan. Disisi lain, wacana tentang gender dan peran atau hak wanita di ruang perkotaan terus menjadi bahan perbincangan yang selalu ramai diminati.

Melihat seorang arsitek, perencana kota, politisi perempuan, Jane Jacobs, dengan bukunya yang berjudul The Death and Life of Great American Cities (1961) mungkin menjadi salah satu karya tulis tunggal yang paling terkenal dari seorang perempuan tentang desain sebuah kota. Dalam hal ini, profesi arsitek atau perencana kota masih di dominasi oleh laki-laki. Mungkin ini adalah sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa wanita tidak mampu memiliki gagasan besar atau sebuah dampak dari kenyataan kesalahan berpikir itu sendiri?

The Guardian dalam artikel berjudul “If Women Built Cities, What Would Our Urban Landscape Look Like?”, membahas hasil survey baru-baru ini di Inggris yang menemukan bahwa perempuan di perusahaan arsitektur turun dari 28% menjadi 21% antara tahun 2009–2011. Setiap arsitek, urbanist, perencana, atau insinyur telah merasakan bagaimana menjadi satu-satunya pekerja perempuan di ruangan itu. (Hal ini mengingatkan saya pada film Hidden Figures tentang peran seorang perempuan kulit hitam di NASA)

Lalu bagaimana dengan jurusan arsitektur dan perencanaan di kampus saya yang mayoritas diminati oleh kaum perempuan? Kemana mereka (para perempuan) setelah lulus? Tidakkah menjadi seorang arsitek yang menjejaki karir arsitek dengan karya-karyanya yang mendunia, atau seroang planner yang mampu menjadi pimpinan disebuah biro perencanaan? Apakah perempuan dalam hal ini hilang tertelan oleh dominansi laki-laki dengan sistem yang sudah terlanjur patriarki ini atau memang kurangnya representasi perempuan secara material mempengaruhi karirnya di bidang engineering? Apakah blok perumahan, jalan, dan gedung baru akan terlihat berbeda jika lebih banyak perempuan yang bertugas merancangnya? Pertanyaan-pertanyaan itu menghampiri saya tanpa dibahas di dalam diskusi yang sedang berlangsung saat itu.

Dalam tulisan ini saya tidak langsung mempertanyakan hak-hak perempuan di dalam kota atau sudahkah kota-kota dibangun sesuai dengan kebutuhan perempuan. Walaupun masih banyak dibagian dunia sana, perempuan tidak bisa keluar sendiri saat bekerja, pemerkosaan dan pelecehan dalam angkutan umum, kekerasan di jalan terjadi pada perempuan. Tetapi menurut saya, ada hal yang seharusnya lebih penting dilakukan lebih dahulu.

Feminist harus mencoba ikut membangun kota bukan sibuk mencari bagaimana kota bisa layak untuk perempuan. Karena dengan munculnya pernyataan-pernyataan paradoks seperti itu, menunjukkan perempuan merasa lemah di lingkungannya sendiri, yang berarti ia mengakui benar adanya kekuatan-kekuatan budaya patriarki. Paradoks lain seperti melakukan perlawanan terhadap gender secara tidak sadar berarti meyakini eksistensi kelas-kelas tersebut di dalam sistem masyarakat kita. Jika tidak menyadari adanya paradoks tersebut, perempuan akan terjebak oleh paradoks dan gerakan feminisme yang banal.

Jelas sangat sulit sekali bicara soal perencanaan kota atau ruang dengan gender.

Lalu pertanyaannya, apakah kota feminist atau kota yang berkepribadian mioritas itu ada? Jawabannya adalah tidak. Dimana ada tempat untuk perempuan, anak-anak, difable, orang tua dapat berkembang dan turut dalam proses pengambilan keputusan perencanaan kota memang belum terwujud dalam skala besar.

Jika ini terdengar utopis di tengah berjuta problematika yang menuntut untuk dibebaskan, maka teruskanlah argumen tentang menyusui ditempat umum, tentang kekhawatiran perempuan dalam transportasi umum yang lebih rentan terjadi korban pelecehan seksual, diskusi-diskusi mengenai ruang binaan terhadap perempuan. Tentu saja hal ini jauh lebih penting dari pada sibuk dengan keributan mengenai kemiripan Stadion Al Warkah untuk Piala Dunia Qatar 2023 karya arsitek perempuan, Zaha Hadid yang dianggap sebagai manifesto feminisme dan hindari membuat gerakan-gerakan feminisme ekstrim yang tidak berdasar. Hanya gaya hidup yang ikut-ikut-an bergaya.

Banal.

--

--