Batam: ‘Atlantis’ di Perbatasan Indonesia dan Semenanjung Malaya

inez darmalia
Nekropolis
Published in
6 min readApr 1, 2018

Saya akan memulai dengan menceritakan ulang sejarah Batam berdasarkan yang telah dibaca, karena saya merasa cerita tentang kota ini sekarang merupakan kisah yang diawali pada tahun 1970-an. Ketika Batam menjadi benar-benar ‘Indonesia’.

Pulau Batang

Peta Kawasan Tanjong Pagar dengan inset Selat Singapura yang dipublikasikan oleh Verlag von Karl Baedeker di Leipzig tahun 1914

Sebelum tahun 1975, Pulau Batam — dahulu dinamakan ‘Batang’ merupakan pulau kecil yang pinggirannya ditinggali oleh nelayan yang hingga kini dianggap sebagai daerah penduduk asli kota tersebut. Mengutip tulisan Muhammad Natsir Tahar dalam artikel kompasiana,

Sejarah Batam terkubur oleh dinamika industrialisasi yang progresif. Hikayat, aksioma, sastra klasik bahkan mitologi sebagai anasir sejarah Batam yang tak terdokumentasi bersembunyi di kampung-kampung tua pesisir menjadi sebatas cerita dari mulut ke mulut. Sebagian lainnya menjadi enigma orang-orang kota. Sampai kemudian banyak khalayak menganggap: titik nol kilometer Pulau Batam bermula ketika keran industrialisasi modern dibuka, untuk tidak mengatakan sebelum itu Batam tidak pernah ada.

Belum ada museum daerah yang mengarsipkan dan menceritakan secara gamblang kehidupan para penduduk melayu sebelum abad ke-20. Saya ingat, ketika di sekolah dasar ada mata pelajaran Arab Melayu yang isinya menceritakan tentang hikayat Hang Tuah, Hang Lekiu, Nong Isa, dan pahlawan-pahlawan lokal lainnya, serta cerita Pak Pandir dan Mak Andeh yang lebih kepada dongeng anak. Dalam pelajaran Kebudayaan Melayu diajarkan juga berbagai permainan serta seni seperti Makjong dan Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji. Namun seperti hal-hal lainnya yang bersifat pragmatis, cerita-cerita tersebut hanya menjadi bahan ujian di akhir semester dan tidak pernah diangkat kembali dalam kehidupan sehari-hari.

Namun untungnya, gambaran dan narasi akan kehidupan di Tanah Melayu belum sepenuhnya hilang. Di Singapore National Museum, banyak artefak-artefak yang diabadikan dan menjadi bukti bahwa peradaban melayu yang maju pernah ada. Berdasarkan beberapa paparan yang pernah dibaca, saya memiliki asumsi tentang kehidupan di daerah Batang (nama asli Batam), Temasik (nama asli Singapura), dan Malaya yang memiliki karakteristik hampir identik.

Beberapa foto di National Museum of Singapore yang menceritakan tentang Singapura sebelum abad ke-20

Sepertinya benar apa yang diungkapkan oleh Natsir Tahar tentang peradaban yang menjadi enigma. Karena ketika ditanya “Dulu Batam itu awalnya bagaimana?”, kebanyakan dari kami para pendatang akan menjawab ‘Pulau Kosong’. Padahal, Raja Isa atau yang disebut Nong Isa — kini menjadi nama salah satu kecamatan di Batam yaitu Nongsa, pernah merencanakan morfologi pengembangan Pulau Batam, bahkan ialah yang pertama merencanakan pengembangan infrastruktur dan kawasan kota. Setelah beliau wafat pada tahun 1831, meskipun untuk beberapa saat pulau ini masih berjalan sesuai hasil tangannya, pada tahun 1970-an Batam diproklamirkan oleh pemerintah Indonesia sebagai kawasan industri modern.

Kemunculan Batam

Sekitar tahun 1970-an, pemerintah Indonesia melihat potensi Batam dan menetapkannya sebagai kawasan perbatasan strategis industri dan perdagangan. Dalam Keputusan Presiden No.74 tahun 1971 tentang Pembangunan Pulau Batam disebutkan bahwa Batam ditetapkan sebagai kawasan industri. Selain itu, sebuah mandat untuk menjalankan tiga tugas besar diberikan kepada suatu badan khusus bernama Otorita Batam, yaitu:

  1. Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam
  2. Mengembangkan dan mengendalikan pengalihkapalan di Batam
  3. Menjamin agar tata cara perizinan dan pemberian jasa-jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Batam dapat berjalan lancar dan tertib.

Ketiga tugas utama ini bertujuan untuk menumbuhkan minat pengusaha untuk menanamkan modal di Batam. Semua ini dilakukan tanpa adanya negosiasi dengan penduduk setempat atau yang dipertuakan, karena memang pada waktu itu Batam belum memiliki pemerintahan daerah yang legal.

Jika berprasangka positif, mungkin perencanaan partisipatif dan bottom-up memang belum dikenal secara luas, serta sistem pembangunan masih bersifat terpusat. Tetapi, Indonesia yang seharusnya bisa lebih menyadari keberadaan penduduk lokal, justru tidak acuh dan tanpa proses pengenalan langsung menetapkan Batam sebagai kawasan strategis industri. Pemerintah pusat dari Jakarta datang, memanfaatkan tanah kosong yang memiliki lokasi ‘emas’, lalu membawa kembali hasil kekayaan ke pusat. Segalanya dilakukan tanpa usaha untuk mengenal penduduk asli dan membantu preservasi budayanya.

Pekerja-pekerja pun didatangkan dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri. Ayah saya mungkin salah satunya, beliau datang dari Jakarta di akhir tahun 80-an, yang akhirnya membawa serta keluarganya pada tahun 1997 tepat setahun setelah saya dilahirkan. Dari ceritanya, Batam yang ia kenal adalah pabrik, tanah tandus, dan rawa. Tidak ada pengenalan budaya apalagi identitas. Pekerja-pekerja membangun Batam versi mereka sendiri yang pada akhirnya memunculkan kawasan kumuh buruh, prostitusi, dan perjudian. Dampak dari industrialisasi tanpa identitas, tanpa nilai luhur.

Tanpa romantisme yang biasanya ada di kota-kota di Jawa seperti Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Batam seperti mengalami krisis identitas dan tenggelam dalam moralitas negatif. Persoalan tersebut kini sepertinya cenderung kian membaik, namun terkadang masih melekat dalam citra Batam tentang prostitusi, dunia malam, dan barang ilegal. Sampai sekarang pun masih belum ada kaum cendekiawan dan seniman yang ambil peran untuk ‘menghidupkan’ kota. Saya pribadi merasa Batam masih perlu menemukan identitasnya. Tidak dengan memaksakan para pendatang untuk menjadi ‘melayu’, melainkan dengan bangga menceritakan sejarah dan memamerkannya melalui artefak-artefak dan museum.

Baca juga mengenai Pulau Galang.

Batam, tempat tinggal atau tempat bekerja?

Saya merupakan salah satu dari mungkin hampir 95 persen penduduk Batam yang merupakan pendatang. Namun yang saya baru sadari setelah 4 tahun berkuliah di Jogja, Batam tidak seperti kota yang memiliki atmosfer ‘rumah’. Warga Batam lebih seperti seseorang yang ‘ngekos’ karena tempat kerjanya berada di Batam, saya pun merasa hal ini merupakan jawaban dari pertanyaan “Batam dekat dengan Singapura, tapi kenapa jauh berbeda?”.

Berdasarkan pengamatan saya, seseorang datang ke Batam dengan harapan untuk mencari pekerjaan di industri-industri besar, sehingga permukiman yang terbentuk bukan berdasarkan asas guyub dan gotong-royong sehingga keinginan untuk secara inisiatif membentuk Batam menjadi lebih layak dihuni pun cenderung minim. Apalagi ditambah dengan penghapusan budaya dan identitas secara tidak sengaja oleh pemerintah Indonesia di tahun 70-an, yang seakan menambah kekosongan identitas sebagai warga Kota Batam bagi para pendatang tersebut.

Citra Batam yang progresif menjadi benar, secara pendapatan. Namun hal tersebut bukan berarti memberikan dampak yang baik terhadap lingkungan kotanya. Tanah Batam bagai dimanfaatkan oleh pendatang, lalu diterima saja mentah-mentah dampak dari gaya hidup yang hampa tersebut. Batam selalu dielu-elukan sebagai penyumbang pendapatan negara dan tempat untuk mendulang harta, tapi tidak pernah didorong untuk menjadi lebih daripada sebuah kota ‘sementara’.

Terkadang pertanyaan yang sering terbesit dalam diri saya mengenai identitas dan nasionalisme penduduk yang tinggal di pulau ini — dan saya sendiri, adalah “Apakah kami bangga akan Pulau Batam karena Batamnya, atau karena kedekatannya dengan Singapura yang membentuk citra semu bagi masyarakat dari luar kota Batam?”. Membaca apa yang telah saya tulis sebelumnya, jelas terlihat telah ditetapkan jawabannya sejak pertama pertanyaan tersebut muncul dalam benak. Terkait dengan maksud saya mengenai citra yang diterima orang luar Batam mengenai kota-pulau ini adalah, bagaimana orang membayangkan kehidupan yang mewah ketika mendengar nama kota ini, namun mereka tidak tahu bahwa seringkali kami hanyalah buruh yang tergesa-gesa.

Oleh karena itu, metafora ‘Atlantis’ yang digunakan pada judul tulisan ini merujuk pada identitas dan kebudayaan yang hilang dan tergantikan oleh generasi baru yang tidak pernah mengenal rumahnya.

Namun saya pribadi tidak melihat hal ini sebagai akhir, melainkan semacam penyadaran bahwa kita membutuhkan alasan untuk berada di sini selain dari menyambung hidup. Dibutuhkan lebih banyak riset akan histori kota ini, juga lebih banyak penggalian jati diri. Agar kita memiliki pegangan budaya, pegangan luhur untuk menjaga Tanah Batam di Bumi Melayu.

Referensi:

Biantoro, Sugih. 2012. Industrialisasi dan Identitas Masyarakat Kota Batam. Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies “Unity, Diversity, and Future”. hlm 853–863

Tahar, Natsir. (2016, 5 Januari). Batam dalam Enigma Kaum Urban. Diperoleh 10 Maret 2018, dari https://www.kompasiana.com/mntahar/batam-dalam-enigma-kaum-urban_54f7c62aa33311747a8b4d26

--

--