Bergerak: Hasrat Primordial yang Mengantar Peradaban

Fildzah Husna
Nekropolis
Published in
8 min readMar 10, 2019

Tulisan ini merupakan proses pemaknaan kembali tentang bagaimana manusia bergerak dan mengevolusi peradaban kita — ditambah sedikit komentar getir saya yang subjektif berkedok refleksi. Terkadang, kita sering lupa menengok ke belakang dan menyadari sejauh mana kita sudah berjalan.

“…pada hari di mana kalian berhenti berjalan, kalian akan lenyap seutuhnya.”
Mario Vargas Llosa, The Storyteller

01: Kaki-kaki dan Hasrat Primordial

Selayaknya saya menulis ini, manusia-manusia awal memahat batuan dan bercerita dengan gambar. Berkomunikasi adalah hasrat yang begitu purba; yang pula memberi tahu kita perihal hasrat purba lainnya: bermigrasi.

Bahkan, sebelum bisa disebut manusia, Homo Erectus ‘menyebar’ 2 juta tahun yang lalu. Homo Sapiens meninggalkan benua Afrika 60.000–70.000 tahun lalu. Sampat saat ini, kita masih terus bergerak: pengungsi bermigrasi mencari suaka, atau kita — manusia-manusia modern — terus menerus berusaha kabur dari rasa sakit dan depresi mental. Sebetulnya tidak banyak yang berubah, manusia-manusia awal berpindah karena makanan dan iklim; manusia-manusia modern berpindah untuk memberi makan egonya dan — barangkali dalam waktu dekat — bencana iklim.

Berpindah ke tempat yang lebih baik — apapun pemaknaan tempat itu sendiri — menjadi kehendak yang mendasar. Perjalanan ras manusia sepertinya sudah begitu panjang, bahkan sampai di titik berpindah menjadi sebuah gaya hidup, seperti seruan-seruan hijrah dewasa ini.

02: Kuda dan Kuasa

Dalam ingatan saya, kuda selalu melambangkan derita dan kepatuhan submisif terhadap dominasi. Saya terus menerus mengasosiasikan kuda dengan pengalaman bertatap dengan kuda penarik delman yang begitu kelelahan, mulutnya berbusa, dan terus menerus dicambuk pak kusir agar berjalan lebih cepat. Kuda adalah salah satu binatang yang menyadarkan akan dominasi kuasa manusia akan makhluk hidup lainnya. Tanpa sengaja, kuda memberitahu bahwa ada relasi yang membuat manusia bisa memperlakukan binatang dengan tidak seharusnya (paling tidak begitu menurut saya waktu itu). Sensitivitas yang sama masih saya gunakan untuk relasi-relasi di kehidupan modern: kini, bahkan sekelompok manusia bisa memperlakukan manusia lain seperti binatang.

Penjinakan atau domestifikasi kuda diperkirakan dimulai sejak 5.000 tahun lalu oleh suku Botai di Kazakhstan, menjadi titik amat penting dalam kehidupan panjang bermanusia kita. Kuda membuat manusia bisa bepergian jarak jauh; menyebarkan bahasa dan budaya sepanjang perjalannya. Pada abad pertama, sebelum tapal kuda yang kita kenal sekarang, Imperium Roma adalah yang diyakini membuat hipposandal (besi pelindung kaki kuda) pertama kali. Setelahnya, kuda dan manusia bisa bepergian lebih jauh lagi.

Penguasaan kuda-kuda oleh manusia mengantarkan mereka ke medan-medan perang tergelap dalam sejarah. Penggunaan kuda dalam peperangan memiliki sejarah panjang, pertama kali tercatat di Eurasia pada 4000 Sebelum Masehi, jauh hingga perang umat muslim, Perang Napoleon, Perang Sipil Amerika, hingga akhirnya tergantikan oleh tank-tank di Perang Dunia I. Sial betul memang nasib kuda, mereka dikuasai oleh sekelompok manusia yang bernafsu untuk menguasai manusia lainnya.

03: Roda dan Perulangan

Manusia meniru bagaimana alam bekerja untuk menghasilkan begitu banyak hasil reka, tetapi tidak dengan roda. Tidak pernah ada roda di alam, ia murni produk pemikiran manusia. Namun, penggunaan roda pertama kali bukanlah untuk transportasi, melainkan sebagai alat bantu membuat tembikar — 3500 SM di Mesopotamia — sampai 300 tahun kemudian digunakan untuk menarik kereta kuda.

Setelahnya, roda menjadi bagian penting peradaban. Kalau tidak pernah ada roda, tidak akan ada kereta kuda, tidak akan ada lokomotif uap, sepeda, dan mobil. Tapi mungkin saja kehidupan tanpa roda ada baiknya, setidaknya kita tidak akan berdebat soal apa pentingnya jalan tol; atau melarang-larang orang yang berbeda pandangan politik untuk menggunakannya. Memang, roda tidak selalu berputar maju; ia juga bisa mengakomodasi kemunduran. Bukan salah roda, tentu saja, tapi bagaimana cara kita menggunakannya.

Seperti peribahasa “bagai roda pedati, sekali ke atas, sekali ke bawah”, manusia selalu mengulang sejarah. Kadang roda-roda sejarah membawa kita ke tempat-tempat yang mengubah hidup, kadang ia hanya menggilas beberapa kelompok manusia yang naas. Mitos “hukuman” Sisyphus mungkin adalah alegori yang tepat, mungkin kita sedang mendorong “roda” ke atas bukit untuk digelindingkan kembali dan mengulanginya sampai keabadian.

04: Sepeda dan Pembebasan

I think [the bicycle] has done more to emancipate women than any one thing in the world. I rejoice every time I see a woman ride by on a bike. It gives her a feeling of self-reliance and independence the moment she takes her seat; and away she goes, the picture of untrammelled womanhood.
Susan B. Anthony

Bloomers, modifikasi pakaian perempuan untuk dapat menggunakan sepeda.

Hingga akhir 1880-an, sepeda merupakan dunia yang tidak pernah terpikirkan oleh perempuan. Pada masa itu, perempuan bersepeda dianggap tidak pantas dan menyalahi nilai-nilai sosial. Sepeda menjadi alat penting — dan juga simbol — bagi beberapa perempuan yang berani membebaskan dirinya. Tidak hanya mengenai berdaya untuk bisa melakukan perjalanan bersepeda itu sendiri, tetapi juga sedikit demi sedikit melepaskan kekang-kekang sistem sosial patriarkal pada masanya.

Setelah beberapa perempuan pertama yang bersepeda dilempari batu, sepeda membuat perempuan secara bertahap meninggalkan “pakaian wajib” yang tebal, rumit, dan berat. Sampai pada suatu masa, mereka mulai bercelana.

Bukan hanya soal mobilitas, sepeda memiliki peran penting dalam gerakan kesetaraan gender, salah satu yang terpenting adalah usaha mendapat hak pilih bagi perempuan. Perempuan-perempuan yang memilih tetap bersepeda meski dihambat cara berpikir patriarkis, perlahan mengikis laku-laku yang dianggap tidak pantas bagi mereka. Bukan hanya bagian dari sejarah, hingga kini bersepeda masih merupakan kegiatan yang membebaskan dan memberdayakan perempuan; dan bagi beberapa, menjadi satu-satunya opsi.

Sepeda memang pernah menjadi titik penting dalam linimasa emansipasi perempuan dan banyak hal yang berhasil kita ubah bersama setelahnya. Tetapi kini, ketimpangan relasi kuasa gender masih merupakan persoalan mengakar. Gender role nyatanya memengaruhi perilaku bepergian yang berbeda antara perempuan dan laki-laki — bukan hanya berbeda, tetapi tidak setara dalam kesempatan untuk melakukannya.

05: Kereta Api dan Modernitas

Salah satu cerita dalam Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude) — karya sastra alegori dari sejarah Kolombia karangan Gabriel Garcia Marquez yang mengisahkan kehidupan di kota rekaan Macondo melalui genealogi darah Aureliano — mengisahkan tentang rel kereta yang pertama kali diperkenalkan di kota itu oleh Aureliano Triste. Setelahnya, mobilitas yang difasilitasi oleh perjalanan kereta api menjadi simbol evolusi modernisasi (dan urbanisasi) di Macondo dengan membawa berbagai macam teknologi dan orang-orang baru. Tidak hanya listrik, bioskop, dan telepon — jalur kereta api itu pada akhirnya membawa pebisnis Tuan Herbert datang ke Macondo, yang kemudian terkesan dengan hasil panen pisang lokal, dan mendirikan pabrik pisang. Selayaknya kota-kota nyata — kemajuan juga membawa kekacauan di Macondo, rezim pabrik pisang yang represif pada akhirnya membawa mereka pada pembantaian pekerja secara besar-besaran. Semuanya, dimulai dari rel kereta api.

Perjalanan manusia sudah begitu panjang hingga penemuan rel kereta api mungkin sudah tidak relevan untuk membahas hal “seagung” modernitas. Bagi saya, apa yang kita sebut dengan kehidupan modern menyisakan imaji yang begitu mematri pada alam pikiran seakan menjadi citra kolektif yang fixed menjadi hal yang begitu mengganggu dan sering membuat saya cemas. Rel kereta api di Macondo adalah simbol bahwa hal-hal mutakhir yang luar biasa akan membunuh masyarakat yang kurang rasional dan kehilangan kemawasan diri. Seperti kata Habermas, modernitas perlu dilihat sebagai hal yang belum selesai. Giddens bahkan menganggap “pascamodernisme” sebetulnya hanyalah modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak; yang membuat saya terkadang semakin pesimis karena masyarakat kita seakan semakin jauh dari kondisi “berpikir”.

06: Mobil dan Kenikmatan Semu

Wondrous to tell instinct with spirit roll’ed
From place to place, around the blest abodes,
Self-moved, obedient to the beck of gods.
Homer, Iliad

Mobil dan gagasan akan otonomi perjalanan sudah ada mungkin lebih lama dari yang kita pikirkan. Leonardo da Vinci sudah memiliki gagasan akan kendaraan yang dapat bergerak sendiri sejak abad ke-14. Teknologi mobil sendiri merupakan proses panjang yang tidak dapat disimplifikasi menjadi satu kejadian. Mobil adalah manifestasi keinginan manusia untuk bergerak semakin cepat dan mudah.

Kini, diperkirakan lebih satu miliar kendaraan mobil berlalu-lalang di seluruh dunia. Pada 2016, lebih dari 70 juta mobil baru diproduksi dalam rentang satu tahun. Mobil dengan cepat menjadi “budaya” yang memengaruhi kehidupan masyarakat modern, menjadi jimat kemajuan yang meminta banyak tumbal. Penggunaan mobil sudah menjadi cara pikir dan menjadi keseharian yang normal. Prioritas untuk membangun lebih banyak jalan dibandingkan memperbaiki integrasi transportasi publik mengafirmasi hierarki kendaraan pribadi yang lebih superior dibanding kendaraan umum. Komentar nyinyir di media sosial soal pelican crossing yang membuat makin macet membuktikan bahwa menjadi pejalan kaki amat tidak populer bagi warga kota di Indonesia.

Bagi saya, mobil dan kendaraan adalah perlambang kemudahan dan kenyamanan yang sebetulnya adalah sel kanker bagi masyarakat. Sayangnya, kita semua terpaksa menjadi bagian dari penyakit itu. Tidak adanya regulasi preventif dan kebijakan sistemik yang memadukan perencanaan transportasi publik dan struktur tata ruang, membuat kita hanya bisa berusaha menunda kematian.

Mobil dan kendaraan pribadi bukan hanya soal jumlah dan dampak nyatanya, ia juga adalah sebuah simbol. Kendaraan pribadi melambangkan individualitas yang dibentuk seiring dengan modernitas. Bagi saya, menerima persepsi akan ruang-ruang sekitar menjadi amat berbeda dari kotak bergerak berjendela gelap. Kita sebagai ‘masyarakat mobil’ sudah tercerabut begitu jauh dari lingkungan sekitar. Dari dalam ‘mobil’, saya sering menyesali indra peraba kita yang sudah kehilangan sensitivitas terhadap tekstur berkehidupan. Pada akhirnya, mobil dan individualitas mungkin akan betul-betul mengantar kita pada kehancuran.

Memang, kenikmatan hampir selalu semu.

Ke manakah arah kemajuan yang sedang kita tuju?

Melalui tulisan ini, saya sedang mengingatkan diri sendiri mengenai proses evolusi kehidupan manusia dalam bergerak dan berpindah dengan melibatkan sejarah dan teknologi yang menjadi bagian penting, serta bagaimana saya memaknai ulang perjalanannya. Saya menyadari tulisan ini banyak cocoklogi-nya, dan memang tidak dimaksudkan menjadi tulisan yang ilmiah.

Artikel-artikel yang layak dibaca:

--

--