Hela

Sebuah Refleksi Pasca Terkena Covid-19

Rizkiana Sidqi
Nekropolis
3 min readAug 3, 2021

--

Photo by Ethan Hoover on Unsplash

Malam pertama saat persis dinyatakan positif mengidap Covid-19, saya merebahkan badan di atas peraduan. Meratapi nasib sambil menangis dan mengadu kepada Tuhan. Setelah mengabarkan informasi ini kepada orang-orang yang baru saja aku temui beberapa waktu terakhir, aku kira aku bisa langsung tidur dan sejenak melupakan semuanya.

Ternyata tidak. Nafasku tidak beraturan. Mudah sekali sesak, seperti ada yang menutup lubang hidung, tapi bukan dahak atau lendir. Aneh sekali penyakit ini. Berguling ke kanan, berguling ke kiri, tengkurap, tidak membantu. Sama saja. Seperti ada tombol sakelar yang dimainkan seenaknya. Seperti itulah bisa dan tidak bisanya aku bernapas di malam itu.

Melihat ke sekitar, dan menyadari satu langkah yang mungkin perlu aku lakukan: membuka jendela luar rumah. Agar sirkulasi udara dari kamar, ke ruang tengah, ke luar rumah, lebih lancar. Berharap aku bisa tidur nyenyak. Dan iya, pernapasanku jauh lebih ringan. Penghalang di hidungku entah kenapa tidak separah sebelum aku membuka jendela.

Pandemi kali ini menyadarkan kita semua betapa bernapas dan segala komponen pendukungnya teramat penting untuk kita upayakan optimalitasnya. Dari sirkulasi udara di rumah, posisi kamar dan ventilasi, perlunya hijauan untuk membersihkan udara, dan tentu saja kesehatan organ tubuh yang bertugas meregulasi masuk dan keluarnya udara.

Rumah yang aku kira baik-baik saja, ternyata masih kurang sehat sirkulasinya. Dengan indikasi saat tubuhku rentan, aku tidak bisa bernapas lega dari dalam kamar. Pun barangkali begitu juga yang kota rasakan saat ini. Kota dengan segala kemajuan, keindahan, fasilitas kelas atas, ternyata masih luput akan satu hal yang paling penting: memastikan semua orang bisa bernapas dengan sebenar-benarnya di setiap sudut kota.

Tidak semua sudut kota dipenuhi pohon dan taman yang rimbun, penyuplai oksigen terbaik dari alam. Banyak dari kita yang lebih mudah menemukan asap pembakaran sampah, kegiatan industri, dan kendaraan bermotor. Banyak pula dari kita yang lebih bisa menjelaskan dimana saja kita perlu mengenakan masker agar tidak terpapar polusi daripada menjawab dimana sebenarnya udara bersih itu ada dalam kota.

Satu yang kemudian aku syukuri saat pandemi ini, dalam waktu yang hanya sesekali aku menyusuri jalanan Ibu Kota Jawa Tengah, tempatku saat ini mengadu nasib: aku melihat banyak penambahan tumbuhan di jalanan. Di median jalan tepatnya. Aku melihat ini sebagai upaya agar warga kota bisa bernapas dengan lebih baik. Dampak baik pandemi sepertinya? Semoga saja demikian.

Pada akhirnya, pandemi yang kita jalani sudah jalan dua tahun ini akan menjadi sia-sia jika kita tidak belajar apapun. Tidak bergerak kemana-mana, tidak mengupayakan apa-apa. Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah menambah banyak produsen oksigen alami di sekitar rumah atau tempat tinggal kita. Atau jika ada rezeki berlebih, hasil introspeksi aliran udara di dalam rumah bisa kemudian dimasukkan ke dalam agenda renovasi. Jelas, yang kedua bukan apa yang saya lakukan. Hampir setiap akhir minggu, kami menambah jumlah anak-anak hijau di rumah kami. Ada yang kami tanam sejak biji, atau menumbuhkannya lewat stek, hingga yang sudah menjadi balita alias bibit. Semuanya dengan tujuan agar setidaknya taman kecil kami bisa menjadi sumber oksigen bagi kami penghuni rumah, dan siapapun yang turut lalu-lalang di sekitar rumah kami.

Dan teruntuk pemangku kepentingan yang mengelola dana kota, alangkah baiknya jika alokasi pengeluaran diarahkan untuk menghijaukan kota serta memperbanyak jalur dan ruang terbuka hijau, optimalisasi transportasi publik, penjaminan keselamatan bagi pejalan kaki dan pesepeda, serta mengendalikan pertumbuhan serta penggunaan kendaraan pribadi agar kita tidak dengan mudah semena-mena menambah beban polutan pada kota.

Dan kini setiap hari, aku memandang kota dari atap rumah. Menikmati semilir angin yang alam tiupkan secara perlahan. Mensyukuri setiap hela nafas yang Tuhan berikan. Dan senantiasa berdoa, agar setiap insan di kota ini bisa kembali bernapas lega, setiap detiknya.

Terima kasih banyak untuk Gehitto, atas masukan dan kritiknya dalam proses perbaikan artikel ini.

--

--

Rizkiana Sidqi
Nekropolis

Antara kota dan semesta, ada kita: debu yang senantiasa belajar bangkit dari patah hati.