Source: Pinterest

Kalender Ikhtisar Pandemi

inez darmalia
Nekropolis

--

Januari 2020

‘Tahun 2030–2040 Indonesia akan memiliki bonus demografi”. Sebagai seorang pemuda di abad kedua hidupnya, saya yang merupakan tipikal generasi usia produktif memulai dekade baru dengan penuh harap dan asa. Membuka pintu masa dewasa, menyambut kemungkinan yang tak terbatas. Tahun ini akan menjadi anak tangga pertama karir dan hidup saya yang sesungguhnya.

“Ku dengar di belahan dunia lain ada petaka bernama COVID-19, namun semua akan baik-baik saja kan? Zaman sudah canggih dan kita bukan di abad pertengahan. Seseorang pasti akan menemukan solusinya dengan segera” ujar saya — dan para pelaksana urusan negara, tanpa menyadari bahwa pola pikir manusia tidak pernah berubah sejak abad pertengahan ataupun milenium sebelumnya.

April 2020

Setelah berkutat dengan penyangkalan sebagai satu bangsa, akhirnya bapak-ibu negara mengakui ke-muggle-an Indonesia dan menyatakan keterbatasannya terhadap virus. Hidup saya agak berbeda sekarang, rasanya otak sedikit kelabakan dengan pekerjaan yang harus diselesaikan, persediaan protokol kesehatan masker dan sanitizer yang harus dipenuhi, namun tubuh ini ruang geraknya terbatas. Tapi lumayan enak juga bekerja seperti ini, rasanya seperti quasi-holiday. “Dua-tiga bulan bisalah dilewati” pikirku kala itu.

Juli 2020

Memasuki bulan keempat di rumah saja, saya termasuk yang beruntung karena memiliki pekerjaan tetap dan kesehatan yang baik. Tentu tidak adil rasanya untuk mengeluh, justru seharusnya saya bersyukur dan menjadi semakin produktif karena waktu di tangan semakin banyak. Membuka sosial media, isinya dipenuhi dengan cara-cara beradaptasi dengan pandemi, tentu dengan tujuan agar menjadi lebih berguna dan profitabel. Saya mulai mencari-cari kegiatan yang sejak dulu menjadi angan-angan. Mulai dari belajar keahlian baru seperti berkebun, yoga, hingga berjualan online. Masih ada perasaan, entah sombong atau optimis, bahwa setelah semua ini berakhir, pribadi saya akan jauh berkembang.

Oktober 2020

Bulan kembali berganti dan sudah setengah tahun sejak saya terakhir mendatangi acara-acara diskusi di Blok M atau Menteng dan sekitarnya. Acara terakhir yang saya hadiri adalah diskusi tentang rasa aman di ruang publik — cek Suaka Warga Kota di Nekropolis ya!. Tanpa menyadari bahwa beberapa minggu setelahnya saya akan kehilangan akses terhadap ruang publik sama sekali. Namun tak apa, semua orang mengalami badai yang sama (meski dengan kapal yang berbeda-beda). Masih ada teman-teman untuk berbagi kesah, teman berkarya bersama, asal saya proaktif menghubungi mereka dan menanyakan kabarnya.

Januari 2021

Terlepas dari pandemi, tiga bulan terakhir merupakan bulan-bulan yang menyenangkan. Rasanya keisengan saya mencoba hal baru benar-benar memberikan pengalaman dan pelajaran yang berkesan. Bagaimana tidak, saya akhirnya kembali mencoba berjualan lagi setelah 16 tahun lamanya. Kali ini dengan ide yang benar-benar dari nol. Saya juga memiliki kegiatan yang saya nantikan tiap harinya; berkebun dan yoga. Ternyata banyak hal lain yang dapat kita lakukan selain bekerja. Bahkan yang saya akhirnya pahami juga bahwa identitas tidak melulu ditentukan oleh pekerjaan.

Sayangnya, keadaan di luar diri saya tidak baik-baik saja, bahkan cenderung memburuk. Kasus COVID-19 meningkat secara eksponensial. “Virus-virus” bangsa pun tidak terlihat hati nuraninya dan tak pernah berhenti membuat gondok. Bagaimana bisa dalam keadaan seperti ini, seorang menteri mencuri hak orang-orang terlemah di antara kita? Dan untuk apa? Dangdutan di Labuan Bajo?

April 2021

Rasanya setelah saya memasuki umur 20 dan mulai peduli dengan keadaan negara, hidup saya tak pernah lagi tenang. Kali ini perkara mudik lebaran. Memang tidak dapat dipungkiri, sulit untuk membatasi tradisi. Namun perlukah menjadi setidak-peka itu hingga dengan bangga melanggar pembatasan sosial demi tiga-empat hari bertemu dan berpotensi menularkan virus kepada sanak saudara?

Saya mungkin bukan orang yang paling tepat untuk memprotes karena nyatanya saya juga kembali ke kampung halaman, meski jauh sebelum musim mudik dimulai dan masih menetap hingga sekarang — tiga bulan setelahnya. Sepertinya ini merupakan bentuk lain refreshing bagi saya. Menjauh dari histeria ibukota. Saya menghabiskan hari-hari bersama keluarga kecil saya, lari pagi di pinggiran hutan Nongsa atau memancing di Selat Singapura. Tanpa saya duga, ini merupakan periode tenang sebelum badai menerjang.

Juli 2021 — Terakhir dan Tergetir

Sesuai prediksi, gelombang kedua COVID-19 terjadi persis setelah periode “mudik nakal” di bulan Mei. Indonesia memecahkan rekor kasus positif setiap harinya dengan angka yang bombastis. Sudah lebih dari satu tahun melewati pandemi, tapi rasa krisisnya masih sama saja dengan awal 2020 yang lalu. Bahkan lebih parah.

Rasanya setiap hari ada berita duka berlalu-lalang di sosial media. Bagi saya pribadi, virus ini seperti perlahan memasuki lingkaran ketiga, kedua, hingga kini lingkaran inti sosial saya. Lalu di pagi tanggal 22 Juni, bagai petir di siang bolong, saya mendapat kabar bahwa sahabat yang sudah saya kenal selama 19 tahun meninggal dunia karena virus ini. Rasa simpati yang sebelumnya saya rasakan selama beberapa detik saat melihat sosial media, kini menjadi kedukaan yang bertahan berhari-hari. Katanya ‘rindu adalah rasa yang muncul setelah lama tak bertemu’, namun saat itu, sesaat setelah mendengar kabar, rasa rindu yang begitu besar membanjiri batin. Membayangkan tak akan ada lagi ajakan diskusi tentang kota, tentang kampung halaman, dan tentang Nekropolis. Karya-karyanya yang dulu hanya saya lihat sekelebat pun kini rasanya sangat berharga dan ingin saya kunjungi berkali-kali.

Kejadian ini juga saya rasa tidak begitu merekatkan saya dengan teman yang lain. Justru ia menyadarkan betapa saya sudah menjauh dari teman-teman. Entah karena tidak ada lagi aktivitas yang dilakukan bersama, atau karena semua orang berjuang dengan perkaranya masing-masing. Sehingga yang sering terjadi adalah salah satu dari kami menanyakan kabar, lalu jawabannya seputar “biasa, bekerja, bersedih, marah terhadap berita konyol, dan berusaha melewati pandemi”.

Belum hilang kelu dan pilu, tanpa disangka saya juga mendapat giliran. Setengah dari bulan Juli saya dihabiskan di kasur melawan virus dan menguatkan mental. Jujur, selama dua bulan ini, tepatnya sepeninggalan sahabat, saya merasa kalah oleh pandemi. Segala pencapaian yang saya banggakan hanya beberapa bulan sebelumnya sirna dan rasanya sulit untuk memenuhi tuntutan pekerjaan. Rasa bersyukur yang saya pikir wajib dipanjatkan saat awal pandemi menjadi pernyataan naif yang kini begitu saya benci.

Saya tidak pernah bermaksud membandingkan pengalaman melewati pandemi ini dengan pengalaman siapa pun. Mohon maaf jika saat membaca ikhtisar ini, saya menyinggung anda karena insensitivitas atau mungkin hal lainnya yang tidak disengaja. Saya juga belum dapat menuliskan refleksi mengenai apa yang sebaiknya dirasakan dan tidak dirasakan, atau hikmah dari badai yang sedang kita lalui. Penghiburan dan harapan yang biasanya saya selipkan di tulisan saya, sepertinya belum pantas ada di catatan ini.

Terima kasih kepada Sidqi yang baik, senantiasa membantu menyempurnakan tulisan-tulisanku sejak dulu.

--

--